GIANYAR – Sembilan petani penggarap di pondokan Sengkulung, Banjar Selasih, Desa Puhu, Payangan Gianyar dikejutkan dengan datangnya sebuah surat yang dibawa satpam perusahaan, Rabu (6/5).
Surat berkop M. Syawal & Partners Advocates & Legal Consultants itu dikirim kepada pada petani Selasih, Gianyar.
Salah satu petani yang enggan namanya untuk ditulis, kepada Radarbali.id, memperlihatkan surat tersebut dengan perihal
surat bertulis larangan menggunakan/memanfaatkan lahan HGB seluas 17,2 Ha milik PT URDD (Ubud Resort Duta Development).
“Surat datang dibawa oleh semua satpam PT dan diberikan kepada petani penggarap,” ujar petani Selasih kemarin siang.
Isi surat dari PT URDD pada intinya memperingati para petani karena masih menggarap dan mengambil hasil tanaman yang di klaim milik PT URDD.
“Kami kembali ingatkan kepada saudara sesuai kesepakatan dalam rangka pengembangan lahan tersebut, maka sejak bulan Mei 2019, PT URDD berencana akan mengembangkan lahan tersebut menjadi daerah tujuan wisata,” tulisnya.
“Maka PT URDD telah membersihkan sebagian lahannya yaitu seluas 17,2 Ha yang akan diproyeksikan untuk pengembangan daerah wisata,” lanjutnya dalam surat.
Surat tersebut tentu mengejutkan para petani yang telah menggarap lahan tersebut sejak puluhan tahun lamanya. Saat diminta untuk menandatangani surat itu, jelas petani menolaknya.
“Semua petani disuruh untuk tandatangan tapi tidak ada yang mau. Kami tak mau tanda tangan penerimaan surat dan persetujuan atas surat tersebut,” tegas petani penggarap.
Petani Selasih pun mengaku akan tetap mempertahankan tanah yang sudah digarapnya dari beberapa keturunan itu.
Diketahui sebelumnya, konflik agraria antara PT URDD dengan Petani di Banjar Selasih memang cukup alot dan belum ada solusi yang tepat.
Awalnya tanah yang dikuasai Puri Payangan dan kemudian diserahkan kepada para warga untuk digarap dan menjadi lahan pertanian.
Tanah yang diserahkan ke warga itu sudah berlangsung sejak zaman kerajaan dulu. Entah apa yang terjadi, tahun 1997 PT URDD datang dan mengklaim memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) di lahan tersebut.
Desas desusnya, pihak Puri Payangan telah menjual tanah tersebut tanpa sepengetahuan warga penggarap yang notabene sudah menduduki atau diserahkan tanah tersebut kepada warga sejak zaman kerajaan oleh sang raja kala itu.
Disini, konflik pun dimulai. Meski diklaim tanah tersebut oleh perusahaan sejak 1997, namun tidak pernah ada aktivitas oleh perusahaan.
Baru-baru inilah pihak PT URDD muncul atau 22 tahun lamanya tanpa aktivitas, kini perusahaan ingin menggarap para petani.