GEROKGAK – Para petani garam di sentral produksi garam di Desa Pejarakan, Gerokgak kini tengah mengurangi produksi garam mereka.
Keputusan mereka mengurangi produksi lantaran daya beli masyarakat ditengah pandemi Covid-19 saat ini tengah turun.
“Terasa melemahnya daya beli masyarakat sejak bulan April,” kata Ketut Parima, petani garam asal Dusun Marga Garuda, Desa Pejarakan, Gerokgak.
Menurutnya, tahun ini memang agak sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya. Meski pasokan garam begitu melimpah, namun daya beli masyarakat sangat rendah.
Kondisi ini berdampak dengan penyerapan hasil produksi petani yang tidak maksimal. “Dengan melimpahnya pasokan garam, beberapa petani mulai mengurangi produksi garam.
Saya saja sekarang masih tersisa 50 ton garam belum laku terjual. Belum lagi dipengepul masih ada sisa garam yang tidak laku terjual,” ungkap Ketut Parima.
Disamping daya beli masyarakat yang rendah, harga garam jual mengalami penurunan. Harga jual kini mencapai Rp 400 perkilogram.
Hal senada juga disampaikan Wayan Kican, petani garam. Dia mengaku pengaruh virus corona ini sangat terasa dengan keberlanjutan usaha garam miliknya.
Pasalnya selain daya beli masyarakat yang melemah, produksi garam tak bisa dipasarkan ke desa-desa setelah ada beberapa desa di Buleleng melarang penduduk luar masuk desa.
“Kami sebagai petani garam tak bisa berbuat banyak setelah virus corona merebak,” ungkap Ketut Kican lagi.
Wayan Kican menambahkan, rata-rata setiap kali panen mampu menghasilkan 5 ton garam setiap 12 hari sekali panen.
Saat ini persediaan garam masih menumpuk di gudang. Sehingga terpaksa beberapa petani garam harus mengurangi jumlah produksi.
“Kami berharap kondisi ini cepat berlalu agar para petani garam bisa produksi garam secara normal,” pungkasnya.