DENPASAR – Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Badung I Made Badra yang menyebut akses ke pantai hanya diberikan kepada wisatawan asing yang ingin surfing atau berselancar lantaran mereka stres dipertanyakan banyak pihak.
Pemerhati sosial sekaligus dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISPOL) Wira Bhakti Denpasar, Dr. Anak Agung Putu Sugiantiningsih
menilai pemerintah memiliki kapasitas untuk membuat kebijakan publik, namun hal itu idealnya mempertimbangkan rasa keadilan.
“Tidak hanya turis asing yang mengalami stres dan depresi. Kami, masyarakat lokal pun stres harus diam di rumah, kehilangan pekerjaan, diuber tagihan, dan lain-lain,” ucap wanita yang akrab disapa Gek Tin, Rabu (3/6).
Pembukaan akses masuk ke sejumlah pantai di Kabupaten Badung sejak Senin (1/6) tandasnya harus menjadi kabar bahagia bagi semua pihak.
Baik turis maupun warga lokal idealnya diizinkan masuk. Yang penting memperhatikan protokol kesehatan pencegahan penyebarluasan Covid-19.
Gek Tin menekankan dibukanya sejumlah pantai di daerah Badung untuk turis asing merupakan hal yang wajar.
Pemerintah memiliki hak untuk menentukan kebijakan publik di wilayahnya masing-masing. “Teori kebijakan publik menurut Easton (1969) menyatakan kebijakan publik
sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu
tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Akan tetapi kembali lagi kita harus melihat situasi dan kondisi yang membuat kebijakan tersebut diambil,” ucapnya.
Sayangnya, kebijakan yang diambil mendiskreditkan warga lokal selaku tuan rumah. Hanya turis asing yang boleh mengunjungi pantai. Apakah hal itu bentuk rasisme?
Gek Tin menjawab cenderung mengarah pada diskriminasi. “Diskriminasi merupakan perlakuan tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan perorangan atau kelompok
berdasar sesuatu. Biasanya bersifat kategorikal atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial,” ungkapnya.
“Dapat dikatakan perlakuan tidak adil karena hanya menganggap warga negara asing yang tinggal di Bali saja mengalami depresi dan stres.
Padahal warga lokal pun mengalami hal yang sama akibat pandemi ini. Hal ini otomatis termasuk tindakan yang mengandung nilai diskriminasi,” sambungnya.
Gek Tin berharap pemerintah lebih peka. Warga lokal pun mengalami tekanan yang sama dengan warga asing. Bedanya warga lokal memiliki sanak saudara yang masih bisa dimintai pertolongan.
Menghadapi era new normal, Gek Tin mengajak masyarakat untuk tidak campah alias menyepelekan pandemi Covid-19. Lebih-lebih dalam kurun tiga hari terakhir ada dua kasus kematian baru akibat virus corona.
“Masih banyak protokol kesehatan yang diabaikan bahkan dilanggar oleh masyarakat Saya harap pemerintah sigap menentukan langkah menghadapi new normal.
Bila salah kita menentukan langkah, lengah kita dalam menghadapi Covid-19 ini, dampaknya akan sangat fatal bagi kita semua,” terang Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda Panca Marga Provinsi Bali itu.