25.4 C
Jakarta
25 November 2024, 7:07 AM WIB

Soekarno; Rasialisme AS dan Politik SARA Indonesia

“Bagaimana dapat engkau berkata bahwa engkau berpihak pada persaudaraan, perdamaian, persatuan, kemajuan, kalau engkau tidak pernah mendengarkan saya, kalau engkau tidak tinggal di perkampungan ini, kalau engkau tidak tahu apa artinya menjadi orang hitam?”  Maurice Friedman

 

JOAQUIM ROHI, Moskow

George Floyd, seorang Africa-America tewas di tangan polisi di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS).

Kerusuhan rasial meluas di tengah keterpurukan ekonomi AS akibat pandemi ini, nyaris bersamaan dengan peringatan Hari Pancasila, ketika banyak orang Indonesia mengenang dan menampilkan pemikiran Bung Karno.

Presiden pertama Indonesia itu pernah secara terang-terangan menolak demokrasi ala Amerika Serikat.

Ia melihat bahwa dalam perjalanan demokrasi di Amerika Serikat, saat mana kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan dijunjung tinggi dalam konstitusi, penindasan tetap berlangsung dan terlindungi.

Demokrasi yang ganjil ini, oleh Soekarno disebut sebagai Demokrasi Anti Sosial, sebab tidak menyejahterakan dan melindungi segenap rakyat.

Dengan menggunakan pendekatan Marxis, Bung Karno memimpikan hak politik yang harus diikuti oleh hak ekonomi yang sama, tanpa itu, Indonesia tidak akan menghasilkan sistem demokrasi yang sejati.

Di Amerika Serikat, saat declaration of independence 1776 dikumandangkan, di saat yang sama ‘kaum negro’ ditangkap, dijadikan budak.

Meski pada prosesnya, terminologi Negro berubah menjadi Black American, hingga menjadi African American, namun pada praktiknya, rasialisme tak pernah surut.

AS yang dibanggakan oleh pemikir Indonesia pasca Seokarno, sebagai sokoguru demokrasi, menunjukkan watak rasis yang cukup vulgar ketika politik rasial mampu mengantarkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45.

Jika demokrasi di AS adalah Demokrasi Anti Sosial, bagaimana komparasinya dengan praktek dan prospek demokrasi di Indonesia?

 

Perspektif Partai dan Pemilu

Tulisan ini hendak melihat perjalanan demokrasi di Indonesia dari perspektif pemilihan umum dan partai politik. 

 

Pertama. Sebelum Kudeta terhadap Soekarno, ilmu pengetahuan termasuk pandangan politik sangat beragam, dipengaruhi oleh banyak pemikiran dan budaya. 

Namun, sejak 1966, ilmu pengetahuan dan perkembangan ekonomi politik Indonesia mengikuti kacamata tunggal, dengan USA sebagai menaranya.

Para lulusannya kemudian mendapat julukan Mafia Berkeley. Indonesia saat itu menganggap USA sebagai sokoguru demokrasi, meski praktik rasialis tidak pernah terbukti surut di negeri Paman Sam itu.

 

Kedua. Tidak pernah ada demokrasi di Indonesia selama Orde Baru berkuasa, meski ada praktek pemilihan umum (pemilu) dengan 2 (dua) partai dan 1 (satu) golongan sebagai peserta pemilu.

Secara teoritik, negara totaliter hanya mengenal sistem kepartaian tunggal. Di era Soeharto, di atas kertas tak mengenal sistem kepartaian tunggal; ada pemilu, ada partai politik, tapi pelaksanaannya adalah praktik otoritarianisme.

Siapa yang hendak menjadi Elite Partai harus mendapat restu dari Pembina. Siapa yang hendak menjadi pejabat publik, sampai tingkat paling rendah, harus melewati proses bersih diri dari militer.

Kontrol dilakukan sangat ketat. Pembina partai politik adalah pejabat publik yang afiliasi politiknya adalah Golongan Karya (Golkar) dan biasanya berlatar belakang tentara.

ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Birokrasi, dan Golkar (ABG) adalah tiga pilar utama pendukung rejim Orde Baru. Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar, dengan PPP dan PDI sebagai pelengkap penderita.

 

Ketiga. Baru ada demokrasi sejak reformasi. Jika ukurannya adalah Pemilu, maka tidak lebih baik dari 1955. Mengapa? Pemilu di jaman Soekarno diikuti oleh banyak partai dari banyak ideologi.

Multi partai multi ideologi. Sejak reformasi, meski ada banyak partai, namun praktis hanya ada 2 (dua) ideologi: Nasionalis dan Relijius. Ideologi lain dimusuhi.

Dalam prakteknya, hingga beberapa kali pemihan legislatif dan pemilihan eksekutif, tidak ada jenis kelamin ideologi yang jelas di antara partai-partai yang ada, nyaris tak ada perbedaan secara praktek antara satu partai politik dengan lainnya.

Karena itulah, party id lemah, warga merasa tak punya ikatan kuat dengan partai politik. Politik Charity lebih kuat daripada Politik Visi -Misi. Orang tak memilih karena program yang ditawarkan, tapi karena sejumlah imbalan.

Itu juga yang menjelaskan mengapa koalisi antar partai pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) cenderung bercampur baur antar partai yang di tingkat pusat terlihat bersitegang.

Juga menjelaskan mengapa perpindahan anggota partai bisa terjadi di antara semua partai, berideologi apa saja.

 

Keempat. Kecenderungan demokrasi kita masih merupakan pesta elit, pemilihan di antara kaum berduit, dengan biaya demokrasi yang tinggi.

Banyaknya praktik korupsi terjadi di level ini, antara para pejabat terpilih, salah satunya akibat demokrasi berbiaya mahal.

Kondisi ini menghasilkan produk konstitusi yang tidak berpihak kepada kaum miskin, hukum yang selalu tajam ke bawah tumpul ke atas, dan praktek anti demokrasi lainnya.

Berkaca dari 4 (empat) hal di atas, maka, kita bisa menelaah mengapa praktik rasisme (termasuk di dalamnya Politik SARA) di Indonesia masih kuat, bahkan kini Indonesia menjadi cenderung intoleran.

Akhir-akhir ini Politik SARA seakan lazim digunakan, di beberapa daerah, kandidat dimenangkan dengan praktik rasial paling telanjang.

Aksi kekerasan atas nama agama cenderung dibiarkan oleh aparat, sementara aktivitas intelektual yang mengangkat tema Marxisme, Sosialisme, pasti diberangus.

Mengapa? Sebab, wacana sosial politik masih terus dikuasai militer dan teknokrat yang berkiblat ke Barat (USA), karena itu wacana sosial politik tandingan, seperti sejarah Soekarno dan Genosida 1965 ditolak, bahkan diancam.

Dalam Demokrasi Anti Sosial seperti itu, tak heran jika aksi warga miskin cenderung diabaikan, jarang didengar dan dimenangkan.

Aksi kekerasan juga hampir selalu diterima oleh masyarakat Papua, Tionghoa, dan kalangan dari agama minoritas lainnya, tanpa perlindungan kuat negara.

Indonesia, sebagaimana praktik demokrasi di AS, juga menyimpan api yang sama. Api ketidakpuasan akan keadilan, api kesenjangan ekonomi, dan api pembiaran akan praktek kesewenang-wenangan pelaku SARA.  

Sampai seberapa kuat negara menjaga api itu tak menjadi bara menyala, jika tak ada perubahan signifikan terhadap praktek demokrasi?

“Bagaimana dapat engkau berkata bahwa engkau berpihak pada persaudaraan, perdamaian, persatuan, kemajuan, kalau engkau tidak pernah mendengarkan saya, kalau engkau tidak tinggal di perkampungan ini, kalau engkau tidak tahu apa artinya menjadi orang hitam?”  Maurice Friedman

 

JOAQUIM ROHI, Moskow

George Floyd, seorang Africa-America tewas di tangan polisi di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat (AS).

Kerusuhan rasial meluas di tengah keterpurukan ekonomi AS akibat pandemi ini, nyaris bersamaan dengan peringatan Hari Pancasila, ketika banyak orang Indonesia mengenang dan menampilkan pemikiran Bung Karno.

Presiden pertama Indonesia itu pernah secara terang-terangan menolak demokrasi ala Amerika Serikat.

Ia melihat bahwa dalam perjalanan demokrasi di Amerika Serikat, saat mana kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan dijunjung tinggi dalam konstitusi, penindasan tetap berlangsung dan terlindungi.

Demokrasi yang ganjil ini, oleh Soekarno disebut sebagai Demokrasi Anti Sosial, sebab tidak menyejahterakan dan melindungi segenap rakyat.

Dengan menggunakan pendekatan Marxis, Bung Karno memimpikan hak politik yang harus diikuti oleh hak ekonomi yang sama, tanpa itu, Indonesia tidak akan menghasilkan sistem demokrasi yang sejati.

Di Amerika Serikat, saat declaration of independence 1776 dikumandangkan, di saat yang sama ‘kaum negro’ ditangkap, dijadikan budak.

Meski pada prosesnya, terminologi Negro berubah menjadi Black American, hingga menjadi African American, namun pada praktiknya, rasialisme tak pernah surut.

AS yang dibanggakan oleh pemikir Indonesia pasca Seokarno, sebagai sokoguru demokrasi, menunjukkan watak rasis yang cukup vulgar ketika politik rasial mampu mengantarkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45.

Jika demokrasi di AS adalah Demokrasi Anti Sosial, bagaimana komparasinya dengan praktek dan prospek demokrasi di Indonesia?

 

Perspektif Partai dan Pemilu

Tulisan ini hendak melihat perjalanan demokrasi di Indonesia dari perspektif pemilihan umum dan partai politik. 

 

Pertama. Sebelum Kudeta terhadap Soekarno, ilmu pengetahuan termasuk pandangan politik sangat beragam, dipengaruhi oleh banyak pemikiran dan budaya. 

Namun, sejak 1966, ilmu pengetahuan dan perkembangan ekonomi politik Indonesia mengikuti kacamata tunggal, dengan USA sebagai menaranya.

Para lulusannya kemudian mendapat julukan Mafia Berkeley. Indonesia saat itu menganggap USA sebagai sokoguru demokrasi, meski praktik rasialis tidak pernah terbukti surut di negeri Paman Sam itu.

 

Kedua. Tidak pernah ada demokrasi di Indonesia selama Orde Baru berkuasa, meski ada praktek pemilihan umum (pemilu) dengan 2 (dua) partai dan 1 (satu) golongan sebagai peserta pemilu.

Secara teoritik, negara totaliter hanya mengenal sistem kepartaian tunggal. Di era Soeharto, di atas kertas tak mengenal sistem kepartaian tunggal; ada pemilu, ada partai politik, tapi pelaksanaannya adalah praktik otoritarianisme.

Siapa yang hendak menjadi Elite Partai harus mendapat restu dari Pembina. Siapa yang hendak menjadi pejabat publik, sampai tingkat paling rendah, harus melewati proses bersih diri dari militer.

Kontrol dilakukan sangat ketat. Pembina partai politik adalah pejabat publik yang afiliasi politiknya adalah Golongan Karya (Golkar) dan biasanya berlatar belakang tentara.

ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Birokrasi, dan Golkar (ABG) adalah tiga pilar utama pendukung rejim Orde Baru. Pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar, dengan PPP dan PDI sebagai pelengkap penderita.

 

Ketiga. Baru ada demokrasi sejak reformasi. Jika ukurannya adalah Pemilu, maka tidak lebih baik dari 1955. Mengapa? Pemilu di jaman Soekarno diikuti oleh banyak partai dari banyak ideologi.

Multi partai multi ideologi. Sejak reformasi, meski ada banyak partai, namun praktis hanya ada 2 (dua) ideologi: Nasionalis dan Relijius. Ideologi lain dimusuhi.

Dalam prakteknya, hingga beberapa kali pemihan legislatif dan pemilihan eksekutif, tidak ada jenis kelamin ideologi yang jelas di antara partai-partai yang ada, nyaris tak ada perbedaan secara praktek antara satu partai politik dengan lainnya.

Karena itulah, party id lemah, warga merasa tak punya ikatan kuat dengan partai politik. Politik Charity lebih kuat daripada Politik Visi -Misi. Orang tak memilih karena program yang ditawarkan, tapi karena sejumlah imbalan.

Itu juga yang menjelaskan mengapa koalisi antar partai pada Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) cenderung bercampur baur antar partai yang di tingkat pusat terlihat bersitegang.

Juga menjelaskan mengapa perpindahan anggota partai bisa terjadi di antara semua partai, berideologi apa saja.

 

Keempat. Kecenderungan demokrasi kita masih merupakan pesta elit, pemilihan di antara kaum berduit, dengan biaya demokrasi yang tinggi.

Banyaknya praktik korupsi terjadi di level ini, antara para pejabat terpilih, salah satunya akibat demokrasi berbiaya mahal.

Kondisi ini menghasilkan produk konstitusi yang tidak berpihak kepada kaum miskin, hukum yang selalu tajam ke bawah tumpul ke atas, dan praktek anti demokrasi lainnya.

Berkaca dari 4 (empat) hal di atas, maka, kita bisa menelaah mengapa praktik rasisme (termasuk di dalamnya Politik SARA) di Indonesia masih kuat, bahkan kini Indonesia menjadi cenderung intoleran.

Akhir-akhir ini Politik SARA seakan lazim digunakan, di beberapa daerah, kandidat dimenangkan dengan praktik rasial paling telanjang.

Aksi kekerasan atas nama agama cenderung dibiarkan oleh aparat, sementara aktivitas intelektual yang mengangkat tema Marxisme, Sosialisme, pasti diberangus.

Mengapa? Sebab, wacana sosial politik masih terus dikuasai militer dan teknokrat yang berkiblat ke Barat (USA), karena itu wacana sosial politik tandingan, seperti sejarah Soekarno dan Genosida 1965 ditolak, bahkan diancam.

Dalam Demokrasi Anti Sosial seperti itu, tak heran jika aksi warga miskin cenderung diabaikan, jarang didengar dan dimenangkan.

Aksi kekerasan juga hampir selalu diterima oleh masyarakat Papua, Tionghoa, dan kalangan dari agama minoritas lainnya, tanpa perlindungan kuat negara.

Indonesia, sebagaimana praktik demokrasi di AS, juga menyimpan api yang sama. Api ketidakpuasan akan keadilan, api kesenjangan ekonomi, dan api pembiaran akan praktek kesewenang-wenangan pelaku SARA.  

Sampai seberapa kuat negara menjaga api itu tak menjadi bara menyala, jika tak ada perubahan signifikan terhadap praktek demokrasi?

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/