33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:45 PM WIB

Usai Ombak Besar, Tiga Minggu Petani Garam Kusumba Tak Produksi Garam

SEMARAPURA – Lebih dari tiga minggu lamanya Dewa Ketut Candra, 75, salah seorang petani garam di wilayah Pantai Karang Dadi, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung tidak bisa memproduksi garam tradisional Kusamba.

Sejak tempat penggaramannya dihantam ombak besar, Rabu (27/5), hingga saat ini dia belum mampu membuat tempat penggaraman yang baru.

Lantaran lokasi penggaramannya yang baru masih dipenuhi batang pohon besar yang sulit dievakuasi secara manual.

Dewa Ketut Candra saat ditemui di tempat penggaramannya tampak sedang memindahkan batang pohon yang beberapa hari lalu ditebangnya.

Hanya dia yang belum bisa memproduksi garam sejak ombak besar menghantam sejumlah tempat penggaraman milik petani garam di Pantai Karang Dadi, Rabu lalu (27/5).

Menurutnya, petani garam lainnya masih memiliki lahan untuk menyiram air laut sebagai awal dari produksi garam.

Sementara lahan yang dia miliki untuk menyiram air laut sudah habis tergerus abrasi. “Sudah tidak ada lahan. Sehingga saya haru pindahkan kubu produksi garam saya lebih ke utara,” katanya.

Hanya saja lahan yang dia miliki untuk nantinya digunakan sebagai tempat produksi garam selanjutnya banyak ditumbuhi pohon berukuran besar.

Menggunakan uang bantuan dari Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta sebesar Rp 3 juta, dia akhirnya bisa mempekerjakan tukang potong pohon untuk menebang pohon-pohon itu.

“Upah tukang sensor itu Rp 1 juta per hari,” ungkapnya. Yang kini menjadi masalah, dia tidak mampu memindahkan batang pohon berukuran besar itu.

Menurutnya, untuk membersihkan batang kayu tersebut dan meratakan pasir sehingga tempat itu bisa digunakan untuk tempat penggaraman, membutuhkan alat berat.

Dia pun sudah memohon dengan aparat desa dan juga camat setempat agar bisa mendatangkan alat berat ke tempat penggaramannya.

Oleh camat, dia mengaku diminta untuk menunggu. “Katanya ada alat berat di PU. Saya diminta untuk tunggu dulu,” terang Candra.

Selama tidak bisa memproduksi garam, dia mengaku menjual stok garam yang masih tersisa. Hanya saja di tengah wabah seperti ini, penjualannya mengalami penurunan cukup signifikan.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia akhirnya terpaksa berutang. “Kalau masih bisa produksi garam, masih ada kabar (air dari proses produksi garam) yang

bisa dijual setiap minggunya. Satu jerigen kabar itu harganya Rp 90 ribu. Kabar itu biasanya digunakan untuk proses pembuatan tahu,” jelasnya.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, dia berharap alat berat bisa segera datang. Sehingga dia bisa kembali memiliki tempat penggaraman. “Kalau bisa produksi garam, tentunya bisa bayar utang,” tandasnya. 

SEMARAPURA – Lebih dari tiga minggu lamanya Dewa Ketut Candra, 75, salah seorang petani garam di wilayah Pantai Karang Dadi, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung tidak bisa memproduksi garam tradisional Kusamba.

Sejak tempat penggaramannya dihantam ombak besar, Rabu (27/5), hingga saat ini dia belum mampu membuat tempat penggaraman yang baru.

Lantaran lokasi penggaramannya yang baru masih dipenuhi batang pohon besar yang sulit dievakuasi secara manual.

Dewa Ketut Candra saat ditemui di tempat penggaramannya tampak sedang memindahkan batang pohon yang beberapa hari lalu ditebangnya.

Hanya dia yang belum bisa memproduksi garam sejak ombak besar menghantam sejumlah tempat penggaraman milik petani garam di Pantai Karang Dadi, Rabu lalu (27/5).

Menurutnya, petani garam lainnya masih memiliki lahan untuk menyiram air laut sebagai awal dari produksi garam.

Sementara lahan yang dia miliki untuk menyiram air laut sudah habis tergerus abrasi. “Sudah tidak ada lahan. Sehingga saya haru pindahkan kubu produksi garam saya lebih ke utara,” katanya.

Hanya saja lahan yang dia miliki untuk nantinya digunakan sebagai tempat produksi garam selanjutnya banyak ditumbuhi pohon berukuran besar.

Menggunakan uang bantuan dari Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta sebesar Rp 3 juta, dia akhirnya bisa mempekerjakan tukang potong pohon untuk menebang pohon-pohon itu.

“Upah tukang sensor itu Rp 1 juta per hari,” ungkapnya. Yang kini menjadi masalah, dia tidak mampu memindahkan batang pohon berukuran besar itu.

Menurutnya, untuk membersihkan batang kayu tersebut dan meratakan pasir sehingga tempat itu bisa digunakan untuk tempat penggaraman, membutuhkan alat berat.

Dia pun sudah memohon dengan aparat desa dan juga camat setempat agar bisa mendatangkan alat berat ke tempat penggaramannya.

Oleh camat, dia mengaku diminta untuk menunggu. “Katanya ada alat berat di PU. Saya diminta untuk tunggu dulu,” terang Candra.

Selama tidak bisa memproduksi garam, dia mengaku menjual stok garam yang masih tersisa. Hanya saja di tengah wabah seperti ini, penjualannya mengalami penurunan cukup signifikan.

Sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia akhirnya terpaksa berutang. “Kalau masih bisa produksi garam, masih ada kabar (air dari proses produksi garam) yang

bisa dijual setiap minggunya. Satu jerigen kabar itu harganya Rp 90 ribu. Kabar itu biasanya digunakan untuk proses pembuatan tahu,” jelasnya.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, dia berharap alat berat bisa segera datang. Sehingga dia bisa kembali memiliki tempat penggaraman. “Kalau bisa produksi garam, tentunya bisa bayar utang,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/