DENPASAR – Respons masyarakat terhadap upaya percepatan penanganan Covid-19 beragam.
Khususnya terkait disiplin; pakai masker, jaga jarak (physical distancing), dan cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.
Sebab, masih ada warga ogah mematuhinya. Namun, ada yang istimewa, penulis menjumpai satu keluarga muda, tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tetap berusaha menjaga disiplin di tengah pandemik Covid-19.
Buktinya, mereka naik ambulans dari Jakarta ke Surabaya bersama bayi dan anak balita, yang baru menjalani operasi karena kanker darah.
Mereka adalah pasangan suami istri Tubagus Rakhmad Zulfikar Zulmi (Ficky) dan Novelinda Nurul Firdaus (Linda) bersama dua buah hatinya.
Masing-masing; Tubagus Rakhmad Taqy Atharizz (Taqy) berusia 3,5 tahun, dan adiknya, Yumna Khayra Asshabira (Yumna) berusia 6 bulan.
Taqy baru saja jalani tindakan medis, karena kanker darah. Bagaimana mereka kok naik ambulans dari Jakarta ke Surabaya? Berikut wawancara penulis dengan Ficky:
1). Naik ambulans dari mana ke mana?
Perjalanan darurat dari Jakarta menuju Surabaya dengan lampiran rujukan RS Harapan Kita Jakarta ke dr Ugrasena di Surabaya, untuk kemoterapi.
2). Berapa orang yang naik?
Ada 6 orang. Driver membawa co-driver di depan. Lalu pasien 1 orang (Taqy) didampingi kedua orang tua (Tubagus Rakhmad Zulfikar Zulmi- Novelinda Nurul Firdaus) yang juga membawa bayi (Yumna Khayra Asshabira).
3). Berapa ongkosnya?
Ambulans merupakan bantuan dari kolega mertua yang bekerja di PT Taspen, proses administrasi mengikuti proses admin kantor. Untuk driver, biaya bensin, tol, dan konsumsi perjalanan, sekitar Rp 3 juta pulang-pergi.
4). Berapa lama perjalanannya?
Berangkat dari Jakarta Sabtu, 6 Juni 2020 sekitar pukul 09.00 pagi, dan tiba di Surabaya pukul 22.00 di hari yang sama. Sekitar 13 jam, sudah termasuk istirahat beberapa kali di rest area.
5). Bagaimana pengalaman selama perjalanan?
Berangkat dari Jakarta cukup lancar, langsung masuk tol dan tidak ada pos pemeriksaan untuk warga yang keluar Jakarta.
Kendala sedikit di saldo e-money yang belum diisi untuk perjalanan jauh (sekitar Rp 700 ribu sampai Surabaya). Sehingga, harus mencari rest area dahulu, sekaligus istirahat Sholat Duhur.
Kemudian melanjutkan perjalanan sampai Semarang sorenya, dan sempat berputar-putar di dalam kota, karena driver bingung mencari persambungan jalan menuju tol selanjutnya.
Maghrib sempat beristirahat di rest area Semarang, anak (Taqy) meminta makan juga. Lalu melanjutkan perjalanan malam, melewati tol Ngawi-Madiun, yang gelap gulita dan sepi kendaraan, karena pandemi Covid-19.
Rasa haru muncul, ketika telah memasuki tol Surabaya; Alhamdulillah, kami dapat mencapainya tanpa hambatan.
Bahkan, keluar tol, tampak Pos Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sepi petugas dan tidak ada pemeriksaan. Mungkin karena sudah malam. Sehingga, kami dapat mencapai rumah dengan lancar.
6). Mengapa pilih naik ambulans?
Ambulans menjadi opsi terakhir yang tidak disangka-sangka. Juga datangnya bantuan. Karena kami masih berusaha melengkapi persyaratan terbang di masa pandemik yang cukup rumit.
Terutama, dokumen Surat Izin Keluar atau Masuk (SIKM) Jakarta. Ambulans menawarkan kemudahan perjalanan yang sesuai dengan kondisi pasien dan prioritas akses di jalan.
Namun, dengan risiko durasi perjalanan yang tidak tentu. Sekali lagi, ambulans ini, bagi kami adalah given, adalah bantuan tak terduga dari Allah SWT,
di kala kebingungan mencari opsi moda transportasi dan berencana naik pesawat maupun carter mobil.
7). Taqy sakit apa?
Sempat memiliki keluhan gejala anemia, seperti; pucat pada kulit dan bibir, dan beberapa kali transfusi darah merah dan trombosit, sejak masuk IGD.
Tapi, hasil sampel imunofenothyping darah yang dikirim ke RS Kanker Dharmais menunjukkan arah ke leukemia / kanker darah tipe ALL L1.
Saat proses kemoterapi minggu pertama di RS Harapan Kita, juga dilakukan pengambilan sampel BMP/sumsum tulang belakang untuk dianalisa di Dharmais.
Dan hasil lab memperkuat analisa sebelumnya, bahwa ini adalah Leukemia ALL L1. Penyakit kanker darah ini, umumnya menyerang anak-anak di Indonesia, dengan prosedur pengobatan yang cukup lama dan berat.
Melibatkan berbagai tindakan kemoterapi sesuai Protokol Nasional Leukemia Limfoblastik Akut Tahun 2018, dan dengan tingkat kesembuhan sekitar 80-90 % secara statistik.
Namun, karena sifat dari kemo itu sendiri yang selain menghancurkan sel kanker juga menyerang sel baik, maka peningkatan kondisi fisik dan psikis anak lewat
support keluarga dan juga suplemen alternatif juga sangat dianjurkan untuk menunjang proses kesembuhan total.
8). Dirawat di mana?
Perawatan pertama ketika kondisi darurat adalah menuju ke IGD RS Hermina Kemayoran, dengan pertimbangan dekat dan terbiasa memakai asuransi kantor di sana.
Sayangnya, selama dua hari di IGD, masih belum dapat rujukan kamar yang sesuai diagnosis awal.
Kemudian tengah malam, datanglah kabar, dapat kamar di RS Hermina Bekasi (mungkin pertimbangan satu grup RS maupun asuransi, selain karena ketersediaan kamar).
Akhirnya, kami dibawa dengan ambulans di tengah malam, dari Jakarta menuju Bekasi.
Di Bekasi pun kami diterima di IGD dan setelah mengurus administrasi, pasien anak dibawa menuju ke ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit).
Mengapa masuk di sana? Selain karena butuh perawatan intensif untuk pemulihan kondisi darah, juga ada diagnosis penyerta.
Yaitu, hasil rontgen thorax menunjukkan ada masalah di paru-paru. Sehingga, tindakan preventif RS adalah isolasi sampai hasil swab 2x dinyatakan negatif, meskipun rapid sudah non-reaktif di awal.
Semua karena prosedur preventif di masa pandemik Covid-19 saja. Setelah selesai dari perawatan PICU, anak kami kemudian ditangani oleh dr Adrieanta Sp.A., dokter anak yang memiliki sub spesialis hematologi.
Dan dari situ kami kemudian mulai mempelajari apa itu leukemia. Setelah pulang dari Hermina Bekasi, beberapa hari kemudian, kami menuju RS Harapan Kita Jakarta, untuk memulai kemoterapi anak.
Yang kabarnya memang sebagai pusat perawatan anak dengan leukemia terbaik di Indonesia dan jadi rujukan berbagai RS dari daerah.
9). Mengapa harus dibawa pulang ke Surabaya?
Semua bermula saat kami menuju ke RS Harapan Kita Jakarta, untuk memulai tahapan kemoterapi pertama.
Di Polihematologi, tujuan kami adalah bertemu dr. Dina. Namun, di ruangan ada dokter senior yang kemudian tiba-tiba menasihati kami yang masih awam ini.
Ternyata, proses pengobatan kemoterapi dari kakaknya (Taqy) cukup berbahaya efek sampingnya terhadap orang di sekitar.
Biasanya, dalam 2 x 24 jam, ada racun yang dikeluarkan dari tubuh pasien via keringat, urine, feses, maupun muntahan.
Namun, utamanya pada bayi sehat ditegaskan, bahwa, selama 2 tahun adiknya (Yumna) dilarang dekat-dekat dengan kakaknya.
Ibunya (Linda) yang masih masa menyusui pun tidak boleh memegang kakaknya, jika ingin tetap menyusui adiknya.
Lalu, Taqy menjalani proses kemoterapi minggu pertama. Dengan pendampingan anak hanya dari saya sendiri, ibu dan adiknya pulang ke rumah.
Cukup berat dijalani dan juga proses rawat inapnya bertambah lama dikarenakan kondisi anak yang belum stabil.
Dari situ muncul pertimbangan, karena situasi saat itu saya sudah tiga minggu tidak masuk kantor (PT Angkasa Pura I (Persero) Project Management Airport Development Officer), dan takut akan berdampak terhadap keberlangsungan pekerjaan.
Karena saat ini, hanya itulah sumber pemasukan satu-satunya bagi keluarga kami.
Sementara, juga tidak mungkin ibu dan bayi ikut menjaga pasien, dan tidak ada keluarga lagi di Jakarta yang dapat dimintakan pertolongan.
Akhirnya, kami putuskan menghubungi keluarga di Surabaya untuk mempersiapkan kedatangan kami ke sana dan melanjutkan perawatan anak di sana.
Dan saya sendiri pun dapat kembali ke Jakarta untuk melanjutkan pekerjaan mencari nafkah.
Perjuangan masih panjang bagi kami, dan akan terus belajar untuk ikhlas dan selalu berdoa kepada Allah SWT demi kesembuhan total anak kami. Sekian. (djoko heru setiyawan)