Pandemi Covid-19 tak membuat aktivitas Ketut Sudana berkurang. Bukan marwah sebagai wakil rakyat yang menyita waktu Mantan Kepala Bidang Pembinaan SD Disdikpora Kota Denpasar itu. Melainkan ikan lele. Seperti apa?
KADEK SURYA KENCANA, Denpasar
PULUHAN tahun terbiasa hidup disiplin sebagai PNS, anggota Komisi IV DPRD Kota Denpasar Ketut Sudana merasa aneh memulai rutinitas jam 10 pagi.
Oleh sebab itu, sejak Januari 2020, pria sederhana itu memilih semakin akrab dengan lele.“Saya buat kolam lele karena ingin mengelola waktu dengan efektif.
Pagi sebelum tugas ke kantor, saya punya waktu 3 jam untuk beraktivitas. Kedua, saya ingin memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar.
Kalau kita ingin hidup mandiri, khususnya di masa pandemi ini lele pilihan tepat. Sangat cocok memelihara lele saat work from home karena dapat menghasilkan untuk pribadi maupun keluarga.
Ketiga, kalau kita mau hidup mandiri mari berinovasi; berkreasi,” ucap Sudana sembari menyebut punya 15 kolam. Terdiri atas 5 kolam bioflok (terpal, red) dan 10 kolam beton.
Ketut Sudana yang kini duduk di Komisi IV DPRD Kota Denpasar mengaku memilih lele karena bisa dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Lele juga bisa dipelihara di mana saja dan relatif mudah dirawat asalkan ditunjang air bersih. “Mengatur waktu bergantung komitmen saja.
Sejak menjadi birokrat saya sudah biasa ikut acara DPRD. Jadi ketika kini terjun langsung ya rasanya biasa-biasa saja,” tandasnya.
Memelihara lele, imbuh Sudana, murni program pribadi untuk mengisi waktu luang sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat yang karena corona banyak nganggur alias tak bekerja.
Diakui Sudana, lele membuatnya sadar bahwa bekerja di rumah dan menghasilkan bukanlah teori semata.
“Masyarakat Denpasar Utara yang mau belajar bersama cara beternak lele bisa datang ke kolam saya. Khususntya generasi muda yang mau berinovasi, saya pasti bantu.
Datang ke Jalan Cekomaria Gang Cakra Mahkota, Banjar Dinas Kedua, Desa Peguyangan Kangin,” bujuknya.
Menarik disimak, Sudana mengaku pandai memelihara lele berkat panduan dari Goggle. Setelah baca teori, praktik dilakukan dibarengi dengan evaluasi.
“Terutama soal penyakit dan cuaca. Lele juga ada penyakitnya kalau kolam tidak sehat dan cuaca tak mendukung, khususnya hujan.
Saya juga datangkan beberapa peternak lele di sekitar seni” jelasnya sembari menyebut ketika curah hujan tinggi beberapa bulan lalu, satu kolam lele miliknya terbawa arus air.
Terkait modal awal, Sudana menekankan bahwa bibit lele relatif murah. Harganya berkisar antara Rp 200- Rp 500 rupiah per ekor.
Pakan yang dihabiskan 1.000 ekor lele sebanyak 4 sak sampai panen, yakni sekitar usia dua setengah bulan.
“1 sak isinya 30 kg. Kalau lele normal, sehat, pasti untung. Lele mati 10% dari jumlah total pun masih untung,” ungkapnya optimis.
Sudana memilih pakan jadi. Sebelum pakai pelet, ia sempat memanfaatkan limbah. Memang lebih murah, namun ada dampak yang ditimbulkan.
Selain bau kurang sedap, misalnya jika memberikan pakan usus ayam atau kepala ikan, Sudana juga mengaku jadi sangat repot.
“Kalau pakai limbah harus direbus dulu di samping pengambilannya berat. Saya pernah coba pakai limbah, sibuk jadinya. Saya sibuk, anak sibuk,” tutup kader Partai Gerindra Denpasar Utara itu. (*)