Pendapatan Pemkab Badung tergolong tinggi. Bahkan, mendapat predikat kabupaten terkaya di Bali. Tapi masih juga ada warga Badung yang memerlukan uluran tangan.
Seperti dua bersaudara Made Widiantara, 19, dan Ni Komang Sukma Dewi, 11, asal Banjar Dinas Pupuan, Banjar Panca Dharma, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, ini.
Mereka harus berjuang mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan untuk biaya sekolah saja mereka masih menunggak.
MADE DWIJA PUTRA, Mangupura
CERITA dua bersaudara ini sangat menyedihkan. Mereka harus bekerja dan hidup mandiri lantaran ayahnya I Putu Sudiana sudah meninggal dunia sekitar tahun 2013.
Sementara ibunya Ni Wayan Diana telah memiliki kehidupan sendiri dengan keluarga barunya. Akhir cerita, mereka tinggal berdua di rumah sederhana peninggalan sang ayah.
Beruntung mereka masih memiliki saudara yang selama ini telah banyak membantu. “Jadi, sekarang hanya tinggal berdua.
Punya kakak tapi mengalami gangguan jiwa dan sekarang harus keluar masuk rumah sakit jiwa,” jelas Kelian Dinas Pupuan I Made Sunarta kepada Jawa Pos Radar Bali.
Kini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Made Widiantara yang masih berstatus pelajar kelas XII di SMA Widia Brata Mengwi harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Dia kerjanya bantu membersihkan warung, kerjanya dari sore setelah pulang sekolah. Namun penghasilannya tak menentu, kadang sebulan Rp 500 ribu,” bebernya.
Sementara adiknya Ni Komang Sukma Dewi masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) juga ikut membantu tetangganya membuat canang untuk dijual.
Setiap membantu membuat canang dia diberi upah Rp 10 ribu, cukup untuk kebutuhannya termasuk bekal sekolah.
“Kalau untuk masalah makan sehari-hari bisa lah dari penghasilannya sendiri bekerja, termasuk ada juga bantuan dari kerabat dan dari desa,” jelasnya.
Namun, yang menjadi masalah sekarang untuk biaya sekolah yang terus terang belum ada jalan keluar. Sebab masih menunggak sekitar dua tahun.
Karena biaya sekolah sebesar Rp 400 ribu per bulan, dikali 24 bulan (2 tahun), maka sebesar Rp 9.600.000 tunggakan sekolah yang harus dibayar.
“Pihak sekolah sebetulnya sudah memberikan dispensasi walau sudah nunggak dua tahun. Tapi bagaimanapun kan tetap harus dibayar. Kami harapkan pihak terkait, dari pemerintah atau dari dari manapun untuk bisa membantu,” harapnya.
Made Widiantara mengaku tak memiliki cukup uang untuk membayar tunggakan biaya sekolah tersebut. Upahnya bekerja di salah satu warung, sebagai tukang bersih-bersih, tidak cukup untuk membayar.
Upah yang diterima rata-rata Rp 500 ribu per bulan hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. “Kalau untuk makan saja cukup, tapi kalau untuk sekolah tidak ada,” pungkasnya. (*)