Selama pandemi Covid-19, hasil penjualan kelapa yang digeluti I Wayan Sudarma, 53, anjlok. Itu karena upacara keagamaan dibatasi.
Kini Sudarma mengandalkan menjual serabut kelapa. Untuk keperluan manggang. Namun hasilnya tak begitu banyak.
IB INDRA PRASETIA, Gianyar
KIOS milik I Wayan Sudarma di Banjar Peninjoan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati dihiasai pot berbahan kelapa gantung. Tampak serabut kelapa berserakan namun tertata di depan kios.
Sudarma yang menggeluti usaha sejak 2015 lalu dikenal menjual buah kelapa. Melalui keterampilannya, buah kelapa tidak dijual utuh begitu saja.
Melainkan diolah menjadi beragam benda berguna dan benda seni. Sebelum Covid-19 melanda, buah kelapa berupa batok utuh biasanya menjadi bahan daksina untuk upacara keagamaan.
Selanjutnya, kulit kelapa dibuat pot tempat anggrek. Begitu juga dengan isi di dalam kelapa diolah menjadi minyak kelapa tradisional.
Sayangnya, selama pandemi Covid-19 permintaan buah kelapa menurun drastis. Terlebih, aktivitas keagamaan dibatasi. Sehingga keperluan upacara dari bahan kelapa pun minim peminat.
“Sebelum Covid-19, pendapatan per hari bisa sekitar Rp 350.000. Sekarang turun,” ujar pria yang akrab disapa Suala itu.
Beberapa bulan terakhir saat pandemi, pendapatannya mencapai Rp 50 ribu per hari. Meski merasakan betul dampak Covid-19, namun Sudarma masih bersyukur.
Ternyata di saat pandemi, banyak masyarakat beraktivitas di rumah masing-masing. Masyarakat justru mencari serabut kelapa. “Serabutnya dipakai untuk manggang,” jelasnya.
Harga serabut dijual Rp 5.000 per renteng. Biasanya, satu orang minimal membeli dua hingga tiga renteng untuk keperluan memanggang.
“Bisa pakai manggang ikan, daging, banyak bisa pakai sate juga,” jelasnya. Selain serabut, batok kelapa tak kalah laris. Batok bisa diolah menjadi arang. Juga untuk keperluan manggang.
Sayangnya, dia itu belum bisa mengolah air kelapa. “Airnya saja yang terbuang. Selebihnya bisa dimanfaatkan,” terangnya.
Selain menjual kelapa bijian, serabut, dan arang, Suala juga mengolah kelapa menjadi minyak tandusan atau minyak kelapa tradisional.
“Istri saya juga mengolah dengan membuat pesan klengis (pepes kelapa, red),” ujar suami dari Ni Ketut Jariani itu.
Disamping itu, banyak masyarakat menggandrungi pujer atau bonsai dari bibit kelapa. Penghobi bonsai kelapa membeli bibit kelapa dengan harga beragam.
Dari Rp 15 ribu hingga Rp 150 ribu. “Paling langka yang ini. Pujer Nyuh Bulan kembar. Dari seribu kelapa belum tentu ada yang seperti ini,” ujarnya sembari menunjukkan bibit dengan tangkai kembar. (*)