Nyoman Yasa, 55, asal Desa Timuhun, Kecamatan Banjarangkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sudah akrab dengan yang namanya ular.
Bahkan ular menjadi sumber penghasilannya untuk menjalani hidup hingga saat ini. Sayang sejak virus corona mewabah, bisnis jual-beli ularnya tidak jalan.
DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura
DI Klungung nama Yasa sudah terkenal sebagai juragan ular. Nama besarnya itu sudah dibangun sejak puluhan tahun lalu.
Kini dia tinggal menikmati hasilnya. Namun, sejak pandemic Covid-19 datang, bisnis jual beli ular yang dia jalankan macet.
Karena kondisi itu, dia terpaksa melepasliarkan puluhan ular yang sudah dibelinya lantaran tidak sanggup memberi makan.
Nyoman Yasa yang ditemui ketika sedang duduk santai di teras rumahnya, menuturkan, sudah biasa menangkap ular sejak duduk di bangku SD.
Kemampuan menangkap ular itu didapatnya secara alami sebab tidak satu pun dari keluarganya, bahkan orang tuanya yang akrab dengan salah satu kelompok reptil itu.
“Waktu SD itu saya tangkap ular untuk mainan. Tidak ada yang pernah mengajarkan saya menangkap ular. Saya menangkap ular tidak pernah pakai alat bantuan. Saya tangkap dengan tangan kosong,” katanya.
Hobi bermain dengan ular itu pun akhirnya menjadi sumber penghasilannya sejak SD setelah bertemu dengan seorang pengepul ular asal Kabupaten Banyuangi, Jawa Timur.
Ular yang biasa dia tangkap untuk dijual ke Jawa adalah ular sanca dengan nama latin pythonidae. Di Jawa, ular-ular itu dikuliti dan kulitnya digunakan untuk bahan membuat tas, pakaian dan lainnya.
Untuk satu kali pemesanan, pengepul bisa membeli 30-50 ekor ular dengan kisaran harga Rp 220 ribu lebih per ekornya.
“Ular-ular yang saya jual itu tidak hanya hasil saya menangkap sendiri, ada juga dari warga yang menjual ke saya.
Kalau tangkap sendiri, biasanya saya cari di sekitar sungai. Kadang saya sampai harus menyelam karena ularnya masuk ke aliran sungai,” beber ayah satu orang anak itu.
Sejak menekuni bisnis jual-beli ular itu, dia mengaku sudah berkali-kali digigit ular. Namun tidak sekali pun dia pernah ke rumah sakit untuk berobat.
Dia mengaku memiliki kemampuan menyembuhkan gigitan ular dengan ramuan yang dia racik sendiri. Bahkan, dia kerap didatangi warga yang digigit ular untuk berobat.
“Saya juga pernah diminta RS Klungkung untuk bekerja sama dalam menyembuhkan pasien yang digigit ular. Tapi saya tidak mau. Biarkan warga saja yang ke sini,” ujarnya.
Seiring waktu, dia akhirnya tidak hanya sekedar bisnis jual-beli ular. Sejak beberapa tahun terakhir ini, dia mulai membantu mengobati warga yang sakit dengan memanfaatkan ular.
Seperti gatal-gatal dan lainnya. Tidak hanya warga Bali, warga negara asing pun juga kerap datang ke rumahnya untuk membeli ular yang akan digunakan sebagai obat.
“Biasanya empedu ular yang dimanfaatkan untuk obat,” terangnya. Hanya saja sejak virus corona mewabah, ular-ularnya tidak bisa dikirim ke Jawa.
Alhasil ular yang sudah dia tangkap sendiri dan dia beli dari warga pun akhirnya dilepas liarkan di sebuah sungai.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah ular yang dia lepas liarkan kurang lebih mencapai 70 ekor. “Kalau dipelihara, tidak sanggup kasih makannya. Makannya ayam,” jelasnya.
Sehingga sejak corona mewabah, dia hanya fokus untuk mengobati orang yang digigit ular dan juga menderita penyakit lainnya.
“Tapi untuk bule, saya tidak kasi ke sini dulu. Banyak bule yang minta ke sini untuk cari ular tapi saya minta jangan datang dulu,” tandasnya. (*)