28.2 C
Jakarta
21 November 2024, 20:35 PM WIB

Politisasi Bansos? Bawaslu Bali; Kalau Nekat Paslon Bisa Dicoret

DENPASAR – Alokasi dana bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan pemerintah pusat untuk penanganan Covid-19 terbilang sangat besar, yakni Rp 695,2 triliun.

Pilkada 2020 yang tinggal beberapa bulan lagi membuat penyalurannya rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Lebih-lebih, persaingan kontestasi antarbakal calon kepala daerah, khususnya di Bali mulai gencar dilakukan.

Buktinya, di tengah masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19, para kontestan tetap perang pencitraan. Bila tak diawasi, bansos bisa diselewengkan peruntukkannya untuk menggaet simpati calon pemilih.

Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, ada sebagian bakal calon petahana yang mengajukan alokasi anggaran penanganan Covid-19 cukup tinggi.

 Padahal jumlah kasus corona di wilayah yang dipimpinnya rendah. Temuan ini menegaskan bansos rentan dipolitisasi.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bali dan jajarannya dituntut jeli. Dan memberikan bukti kepada masyarakat bahwa Bawaslu Bali akan bertidak tegas; tidak meloloskan pelanggaran yang terang-terangan terjadi.

I Ketut Sunadra, Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Bali menegaskan, bakal pasangan calon petahana perlu membaca ulang larangan Pasal 71 UU 10 Tahun 2016.

Larangan dalam ayat (1) berbunyi pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur ASN, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain Lurah dilarang membuat keputusan dan atau menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Ayat 2 berbunyi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Ayat (3) berbunyi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan

salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

“Bila melanggar ayat (2) dan (3), petahana dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon,” ucap Sunadra, Jumat (24/7).

Bawaslu Bali dan jajarannya, terang Sunadra, mengimbau dan mengingatkan bakal paslon petahana tak menggunakan kewenangan program kegiatan untuk kepentingan politik dalam pilkada 2020.

“Kami sekaligus mengajak masyarakat berpartisipasi aktif untuk ikut mencegah dan mengawasi jalannya pesta demokrasi sesuai ketentuan hukum pilkada, UU 10/2020 atau UU 23/2014 tentang Pemda.

Jangan ada pihak-pihak manapun yang mengarahkan bantuan sosial yang bersumber dari refokusing dan realokasi APBD dan mengklaim untuk penggiringan kepentingan politik kelompok.

Itu murni program pemerintah dan pemerintah daerah untuk membantu kelompok masyarakat yang rentan akibat penerapan protokol cegah Covid-19. 

Kepala Desa itu seyogianya berlaku netral sebagaimana ketentuan UU Desa dan larangan Pasal 71 (1) UU 10/2016,” rinci Sunadra.

Idealnya, imbuh Sunadra penyaluran dana bansos harus jelas, tepat sasaran, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penggunaan anggaran itu tidak untuk di luar misi kemanusiaan, apalagi untuk kampanye pilkada. Bakal calon kepala daerah harus mulai menyetop memoles pencitraan dengan memanfaatkan dana penanggulangan Covid-19. 

DENPASAR – Alokasi dana bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan pemerintah pusat untuk penanganan Covid-19 terbilang sangat besar, yakni Rp 695,2 triliun.

Pilkada 2020 yang tinggal beberapa bulan lagi membuat penyalurannya rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Lebih-lebih, persaingan kontestasi antarbakal calon kepala daerah, khususnya di Bali mulai gencar dilakukan.

Buktinya, di tengah masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19, para kontestan tetap perang pencitraan. Bila tak diawasi, bansos bisa diselewengkan peruntukkannya untuk menggaet simpati calon pemilih.

Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, ada sebagian bakal calon petahana yang mengajukan alokasi anggaran penanganan Covid-19 cukup tinggi.

 Padahal jumlah kasus corona di wilayah yang dipimpinnya rendah. Temuan ini menegaskan bansos rentan dipolitisasi.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bali dan jajarannya dituntut jeli. Dan memberikan bukti kepada masyarakat bahwa Bawaslu Bali akan bertidak tegas; tidak meloloskan pelanggaran yang terang-terangan terjadi.

I Ketut Sunadra, Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Bali menegaskan, bakal pasangan calon petahana perlu membaca ulang larangan Pasal 71 UU 10 Tahun 2016.

Larangan dalam ayat (1) berbunyi pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur ASN, anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau sebutan lain Lurah dilarang membuat keputusan dan atau menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Ayat 2 berbunyi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Ayat (3) berbunyi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan

salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

“Bila melanggar ayat (2) dan (3), petahana dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon,” ucap Sunadra, Jumat (24/7).

Bawaslu Bali dan jajarannya, terang Sunadra, mengimbau dan mengingatkan bakal paslon petahana tak menggunakan kewenangan program kegiatan untuk kepentingan politik dalam pilkada 2020.

“Kami sekaligus mengajak masyarakat berpartisipasi aktif untuk ikut mencegah dan mengawasi jalannya pesta demokrasi sesuai ketentuan hukum pilkada, UU 10/2020 atau UU 23/2014 tentang Pemda.

Jangan ada pihak-pihak manapun yang mengarahkan bantuan sosial yang bersumber dari refokusing dan realokasi APBD dan mengklaim untuk penggiringan kepentingan politik kelompok.

Itu murni program pemerintah dan pemerintah daerah untuk membantu kelompok masyarakat yang rentan akibat penerapan protokol cegah Covid-19. 

Kepala Desa itu seyogianya berlaku netral sebagaimana ketentuan UU Desa dan larangan Pasal 71 (1) UU 10/2016,” rinci Sunadra.

Idealnya, imbuh Sunadra penyaluran dana bansos harus jelas, tepat sasaran, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Penggunaan anggaran itu tidak untuk di luar misi kemanusiaan, apalagi untuk kampanye pilkada. Bakal calon kepala daerah harus mulai menyetop memoles pencitraan dengan memanfaatkan dana penanggulangan Covid-19. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/