Pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa. Hampir segala lini terkena dampak dari virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok, ini. Dampak paling parah dirasakan masyarakat ekonomi bawah. Tapi, tidak bagi pedagang sate pepes keliling Nyoman Narta.
WAYAN PUTRA, Amlapura
19 tahun sudah Wayan Narta menjadi pedagang sate pepes keliling. Setiap hari warga Dusun Timbrah, Desa Pertima, Karangasem ini keliling desa ke desa untuk menjajakan dagangannya.
Sasaran utamanya adalah Kota Amlapura. Target utamanya adalah perkantoran di area Pemkab Karangasem.
“Cukup menyenangkan (jualan sate pepes keliling),” ujar Narta. Narta merasa perlu bersyukur lantaran dari jualan sate pepes keliling bisa membiayai sekolah anak-anaknya.
Awalnya sebelum jualan sate pepes keliling, Wayan Narta mengaku sempat menjadi kuli bangunan. Saat itu proyek tidak menentu sehingga penghasilanya juga tidak tentu.
Sehingga kerap kali dia nganggur. Sekitar tahun 2001 dia mendapat support dari kerabatnya agar berjualan keliling ketimabng bengong.
“Daripada bengong lebih baik jualan keliling,” ujar Narta menirukan ucapan salah satu kerabatnya. Saran ini pun dia lakoni dengan tujuan awal hanya untuk coba-coba.
“Saat itu bibi saya yang suruh jualan malah langsung dikasih modal,” bebernya sambil melayani pembeli di pusat perkantoran Pemkab Karangasem.
Modal yang diberikan waktu itu sekitar Rp 700 ribu. Apakah pandemic Covid-19 berpengaruh dengan pendapatan sehari-hari?
Narta mengaku tidak terlalu berpengaruh. Jualannya tetap normal. Pelanggannya cukup ramai untuk membeli sate pepes.
“Penjualan saya saat Corona ini tetap stabil,” ujar Narta. Dia mengaku berhasil meraup uang Rp 800 ribu setiap hari.
Dengan modal Rp 300 ribu tiap hari, keuntungan bersih yang dia dapat Rp 500 ribu. “Modal habis untuk beli ikan dan bumbu. Saya belinya di pelanggan,” tandasnya.
Narta malah mengatakan, masa cukup sulit sempat dialami yakni saat erupsi Gunung Agung tahun 2017 lalu.
Saat itu dagangannya sepi lantaran mayoritas warga Karangasem mengungsi. Kantor pemerintah juga tutup saat itu.
“Saya nyaris tutup saat itu,” imbuh Narta. Kegiatan perkantoran saat itu memang pindah dan fokus ke Posko Induk di Tanah Ampo Manggis.
Kota Amlapura, Karangasem, saat itu sepi seperti kota mati. Sementara untuk jualan sampai ke Manggis juga tidak memungkinkan karena jaraknya cukup jauh.
“Benar benar pukulan berat buat saya saat Gunung Agung erupsi,” papar Narta. Namun, seiring normalnya kondisi Gunung Agung dan aktivitas perkantoran pulih, aktivitas jualannya berangsur normal. “Saya bersyukur bisa bertahan jualan sate pepes sampai sekarang,” pungkasnya. (*)