AMLAPURA – Masyarakat Desa Adat Padangbai, Manggis, Karangasem turun ke jalan menggelar aksi demo menolak upaya pensertifikatan tanah yang dilakukan ASDP Pelabuhan Padangbai, kemarin.
Ditengah aksi demo, masyarakat malah menyenggol sosok anggota DPD RI dapil Bali Arya Wedakarna alias AWK.
Prajuru Desa Adat Padangbai malah menilai kehadiran AWK ditengah konflik antara warga dengan ASDP justru memperkeruh suasana.
Karena sebelum kedatangan AWK sebenrnya sudah ada pertemuan antara desa adat dengan PT ASDP. Namun belakangan ini malah dilakukan pengukuran secara diam – diam oleh ASDP.
“Kami menilai kedadatangan AWK bukan memediasi malah memperkeruh suasana,” ujar Bendesa Adat Padangbai Komang Nuariada yang juga dibenarkan Penyerikan Desa adat I Gede Eka Parimawata kepada wartawan di Pura Pesamuhan Padangbai kemarin.
Eka juga mempertanyakan sikap AWK yang mengaku sebagai mediator namun terkesan malah sebagai panglima perang ASDP atau pengacara ASDP.
Mestinya kalau sebagai mediator harus netral dan bisa menjembatani kepentingan kedua belah pihak, tidak malah memperkeruh suasana.
Soal surat yang disampaikan AWK ke Jro Bendesa adat Padangbai juga bukan undangan langsung untuk Bendesa Adat Padangbai. Namun hanya ditembuskan saja.
Surat tersebut diperuntukan ke lembaga lain, hanya ditembuskan ke bendesa adat agar hadir. Karena alasan tersebut Bendesa Adat Padangbai tidak hadir saat itu.
Selaian itu dalam surat juga disebutkan kalau pertemuan akan dilakukan di Kantor Kejaksaan Negeri Karangasem.
Namun ternyata pertemuan tersebut tidak dilaksanakan di Kantor Kejaksaan melainkan di Kantor Camat Karangasem. “Hal ini juga sudah tidak sesuai dengan surat tersebut,” ujar Eka.
Soal peran AWK sebagai mediator, pihak desa adat sendiri mengaku tidak tahu menahu dan bukan juga permintaan desa adat.
Desa Adat Padangbai juga merasa tidak pernah diajak rembug pihak AWK. “Ya, tiba tiba saja mengaku sebagai mediator,” ujarnya.
Pihak Desa Adat juga menyayangkan sikap AWK. “Katanya mau memediasi namun tidak pernah berkomunikasi dengan kami pihak Desa adat,” tambahnya.
Mestinya yang namanya mediator besikap netral, namun melah terkesan seperti pengacara ASDP atau panglima perang ASDP.
Menurut Nuriada, ASDP sendiri sudah lama menggunakan asset desa tersebut, namun selama ini tidak dipermasalahkan.
“Mestinya kami dibiarkan memperoses sertiikat terlebih dulu, nanti bisa buat MoU, kalau mengajukan hal guna pakai kami siap,” ujarnya.
Soal kepentingan Negara, bukan ASDP saja yang bisa berjuang untuk kepentingan negara, desa adat juga bisa karena bagian dari itu.
Menurut Nuriada, saat ini sejatinya dengan dua Darmaga sudah cukup efektif kalau pemeliharaan darmaga tersebut bagus. Karena yang penting adalah pemeliharaan dan pengawasan.
Jika pihak ASDP ngotot bahwa asset tersebut adalah miliknya Desa adat siap berjuang untuk itu. “Kami akan berjuang terus sampai benar benar apa yang menjadi hak desa adat bisa kembali,” tembahnya.
Kalau ASDP mengaku memiliki asset tersebut pihak Desa adat mempersilakan ASDP untuk menggugat dengan menyertakan bukti bukti kepemilikan.
Pasalnya, selama ini desa adat telah berbesar hati karena aset desa selama ini dipakai tanpa perjanjian apapun.
Soal adanya klain kalau Perbekel dan Kelian Banjar sudah mendukung ASDP untuk menyertifikatkan asset tersebut adalah tidak benar.
Buktinya tokoh tokoh tersebut telah membutuhkan tanda tangan kalau menolak penyertifikatan lahan atau asset desa adat tersebut.
Desa adat mengaku punya bukti kalau tanah tersebut sesuai klasiran tahun 1930 merupakan klasiran Sema (kuburan red).
Ini bisa dibuktikan dengn adanya Pura Dalem dekat areal tersebut. Di Padangbai menurut Desa Adat tidak ada tanah negara.
Bukti lainya adalah sesuai dengan awig awig desa adat jelas disebut batas Desa adat Padangbai. Yakni batas selatan adalah lautan, timur Banjar Labuhan, Barat Banjar Pengalon dan Utara Banjar Tengading.
Asset tersebut ada 3,3 haktare, saat ini baru sebatas SPPT atas nama ASDP dan ini bukan merupakan bukti kepemilikan.