SINGARAJA – Pandemi Covid-19 yang berlangsung sekarang ini diduga turut menyumbang meningkatnya angka perceraian di Buleleng, Bali. Kondisi ekonomi yang terpuruk menyebabkan beberapa usaha gulung tikar. Sehingga melakukan pemutusan hubungan kerja kepada karyawan mereka. Hal ini berdampak pada perselisihan dalam biduk rumah tangga karena impitan faktor ekonomi.
Di Kabupaten Buleleng angka perceraian di tengah pandemi Covid-19 tergolong meningkat. Setiap bulannya ada saja masyarakat yang mengajukan perceraian ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja.
Berdasarkan data dari PN Singaraja tahun 2020 sejak Januari-Juli adanya sekitar 423 kasus gugatan perceraian yang ditangani. Sementara dibanding pada tahun 2019 sebelumnya dengan bulan yang sama Januari-Juli ada sekitar 328 kasus perceraian. Dengan demikian naik sebesar 28,96 persen.
Humas/Juru Bicara Pengadilan Negeri Singaraja I Nyoman Dipa Rudiana menyatakan gugatan perceraian di Singaraja meningkat tinggi di tengah wabah Covid-19. Bahkan Buleleng masuk urutan kedua angka perceraian tertinggi setelah Kota Denpasar.
“Kami rata-rata menerima pengajuan gugatan perceraian 50-80 kasus setiap bulannya,” bebernya saat ditemui di ruangan kerjanya pada Selasa (4/8/2020).
Meningkat angka perceraian di Singaraja tahun ini melebihi angka kasus perceraian tahun lalu. Secara umum banyak faktor yang menyebabkan seseorang berumah tangga melayangkan gugatan cerai. Yakni adanya zina, adanya pasangan yang meninggalkan istrinya berturut selama dua tahun tanpa izin, cerai karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), cerai karena alasan hukuman penjara pasangannya, menggugat cerai dengan alasan cacat badan tidak dapat melayani pasangan secara puas saat berhubungan badan, masalah ekonomi, percekcokan terus menerus dan karena alasan adanya pria atau wanita idaman lain dalam rumah.
“Namun di Buleleng peningkatan angka perceraian dominan karena faktor masalah ekonomi keluarga, adanya pria dan wanita idaman lainnya dalam rumah tangga,” ungkapnya.
Antara perempuan (istri) dan laki-laki (suami) berimbang melakukan gugatan perceraian. Pihak istri menggugat cerai suaminya karena masalah ekonomi lantaran tidak memberikan nafkah setiap harinya. Sementara pihak lelaki atau suami menggugat cerai istrinya karena sang istri memiliki hubungan dengan pria idaman lain.
Diakui pria yang juga hakim PN Singaraja, ini memang sulit menuju proses damai kedua belah pihak, karena ini menyangkut pilihan hati. Beda hal dengan perbuatan melawan hukum bisa diselesaikan secara damai. Terkecuali kedua belah pihak melihat dampak perceraian dengan korban masa depan anak mereka.
“Dari 423 kasus perceraian telah diputus dalam sidang 100 persen memilih bercerai tidak ada memilih rujuk (damai). Kendati kedua belah pihak telah dipertemukan dan dimediasi oleh hakim,” pungkasnya.
Angka perceraian yang disampaikan PN Singaraja ini belum mencakup keseluruhan kasus perceraian di Buleleng. Sebab, untuk warga beragama Islam, proses cerainya di Pengadilan Agama. Pengadilan Negeri hanya memproses perceraian bagi warga yang bukan beragama Islam. Yakni Hindu, Buddha, Kristen Katolik, Kristen Protestan, dan Konghucu.