33.5 C
Jakarta
21 November 2024, 14:41 PM WIB

JRX Dipenjara, Aktivis 98: Hukum Jadi Instrumen Bungkam Suara Kritis

DENPASAR – Aktivis 98 di Bali, Roberto Hutabarat menilai bahwa penangkapan front man Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias JRX SID oleh Polda Bali adalah bentuk pembungkaman yang lebih canggih.

Menurut Roberto Hutabarat, aparat menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis masyarakat seperti yang dilakukan oleh JRX SID.

Hal itu dikatakan Roberto dalam diskusi publik bertajuk Kebebasan Berpendapat Adalah Hak Setiap Warga Negara Serta Bahaya Pasal Pidana UU ITE yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Sabtu (4/9) sore kemarin. 

Menurut Roberto, aksi pembungkaman ini memang tidak se-brutal yang terjadi saat zaman Orde Baru. Di mana saat itu pemerintah dengan mudahnya menangkap dan memperkarakan masyarakat sipil maupun aktivis tanpa proses di pengadilan.

“Sekarang pembungkaman itu lebih canggih menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis,” katanya. 

Pembungkaman ini, menurut Roberto, sangat berbahaya bagi penguatan dan keberadaan demokrasi di Indonesia.

“Kita memang bukan demokrasi liberal. Tapi, ingat bahwa demokrasi itu berdasarkan konstitusi. Dan sudah diatur dan dilindungi di pasal 28 UUD 45.

Dan, perlu diingat bahwa kondisi sekarang ini, demokratisasi bahkan sistem pemilu sekarang ini adalah kontribusi dari angkatan 98,

Reformasi 98. Karena kita dulu menumbangkan sistem politik yang korup yang didominasi oleh Orde Baru,” tegas Roberto. 

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UHN Sugriwa, Dewi Bunga, menjelaskan bahwa pasal 27 dan 28 yang menjerat JRX saat ini memang termuat di dalam UU ITE.

“Artinya memang kalau dari segi pembuat undang-undang, pasal 27 ayat 3 itu melindungi kepentingan orang, artinya perbuatan yang menyerang martabat.

Kemudian di pasal 28 ayat 2, kalau itu di baca di naskah akademinya berangkat dari banyaknya perselisihan SARA di Indonesia.

Nah, itu sebenarnya ide dari pembuat UU. Hanya saja dalam putusan Mahkamah Kosntitusi (MK) memperluas frasa dari antara golongan itu.

Bahkan, partai politik masuk di antara golongan itu. Secara normatif diartikan seperti itu,” terang Dewi Bunga.

Sedangkan terkait apakah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali masuk dalam kategori golongan atau tidak, Bunga menjelaskan bahwa dirinya bukan pakar hukum untuk membuktikan itu.

Begitu pula dengan kata “kacung” yang akhirnya dipersoalkan oleh IDI. Kata Bunga, untuk menafsirkan arti kata kacung, sejatinya bisa ditanyakan kepada ahli bahasa.

Meski begitu, menurut dia ada hal yang perlu dilihat dalam proses komunikasi dan bahasa yang dilontarkan seseorang tersebut.

Seperti halnya dengan JRX. Maksudnya bahwa kata yang bisa digunakan seseorang bisa dipengaruhi dari latar belakang sosialnya. 

“Misalnya orang dalam pendidikan atau pekerjaan seperti apa bisa berpengaruh terhadap gaya bicaranya.

Sehingga yang menjadi persoalan apakah dengan gaya bicara seperti itu apakah itu merupakan penghinaan atau tidak,” tandasnya. 

DENPASAR – Aktivis 98 di Bali, Roberto Hutabarat menilai bahwa penangkapan front man Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias JRX SID oleh Polda Bali adalah bentuk pembungkaman yang lebih canggih.

Menurut Roberto Hutabarat, aparat menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis masyarakat seperti yang dilakukan oleh JRX SID.

Hal itu dikatakan Roberto dalam diskusi publik bertajuk Kebebasan Berpendapat Adalah Hak Setiap Warga Negara Serta Bahaya Pasal Pidana UU ITE yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Sabtu (4/9) sore kemarin. 

Menurut Roberto, aksi pembungkaman ini memang tidak se-brutal yang terjadi saat zaman Orde Baru. Di mana saat itu pemerintah dengan mudahnya menangkap dan memperkarakan masyarakat sipil maupun aktivis tanpa proses di pengadilan.

“Sekarang pembungkaman itu lebih canggih menggunakan instrumen hukum untuk membungkam suara kritis,” katanya. 

Pembungkaman ini, menurut Roberto, sangat berbahaya bagi penguatan dan keberadaan demokrasi di Indonesia.

“Kita memang bukan demokrasi liberal. Tapi, ingat bahwa demokrasi itu berdasarkan konstitusi. Dan sudah diatur dan dilindungi di pasal 28 UUD 45.

Dan, perlu diingat bahwa kondisi sekarang ini, demokratisasi bahkan sistem pemilu sekarang ini adalah kontribusi dari angkatan 98,

Reformasi 98. Karena kita dulu menumbangkan sistem politik yang korup yang didominasi oleh Orde Baru,” tegas Roberto. 

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum UHN Sugriwa, Dewi Bunga, menjelaskan bahwa pasal 27 dan 28 yang menjerat JRX saat ini memang termuat di dalam UU ITE.

“Artinya memang kalau dari segi pembuat undang-undang, pasal 27 ayat 3 itu melindungi kepentingan orang, artinya perbuatan yang menyerang martabat.

Kemudian di pasal 28 ayat 2, kalau itu di baca di naskah akademinya berangkat dari banyaknya perselisihan SARA di Indonesia.

Nah, itu sebenarnya ide dari pembuat UU. Hanya saja dalam putusan Mahkamah Kosntitusi (MK) memperluas frasa dari antara golongan itu.

Bahkan, partai politik masuk di antara golongan itu. Secara normatif diartikan seperti itu,” terang Dewi Bunga.

Sedangkan terkait apakah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali masuk dalam kategori golongan atau tidak, Bunga menjelaskan bahwa dirinya bukan pakar hukum untuk membuktikan itu.

Begitu pula dengan kata “kacung” yang akhirnya dipersoalkan oleh IDI. Kata Bunga, untuk menafsirkan arti kata kacung, sejatinya bisa ditanyakan kepada ahli bahasa.

Meski begitu, menurut dia ada hal yang perlu dilihat dalam proses komunikasi dan bahasa yang dilontarkan seseorang tersebut.

Seperti halnya dengan JRX. Maksudnya bahwa kata yang bisa digunakan seseorang bisa dipengaruhi dari latar belakang sosialnya. 

“Misalnya orang dalam pendidikan atau pekerjaan seperti apa bisa berpengaruh terhadap gaya bicaranya.

Sehingga yang menjadi persoalan apakah dengan gaya bicara seperti itu apakah itu merupakan penghinaan atau tidak,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/