SINGARAJA – Sebanyak delapan desa di Buleleng, terpaksa harus menunda pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Pandemi memaksa desa mengalihkan anggaran mereka untuk kegiatan lain. Penyertaan modal pembentukan BUMDes termasuk salah satu anggaran yang terpaksa dialihkan.
Mengacu data di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Buleleng, hingga akhir tahun 2019 memang ada delapan desa yang belum memiliki BUMDes.
Desa-desa yang belum memiliki BUMDes yakni Desa Banyupoh di Kecamatan Gerokgak, Desa Gunungsari di Kecamatan Seririt, Desa Busungbiu dan Desa Pelapuan di Kecamatan Busungbiu,
Desa Kaliasem dan Desa Gesing di Kecamatan Banjar, Desa Gitgit di Kecamatan Sukasada, dan Desa Suwug di Kecamatan Sawan.
Kepala Dinas PMD Buleleng Nyoman Agus Jaya Sumpena mengatakan, sejak setahun lalu pemerintah sudah berupaya mendorong agar seluruh desa membentuk BUMDes.
Sebab badan usaha tersebut akan mendongkrak pendapatan desa, meski jumlahnya tak banyak. Selain itu BUMDes juga bisa membantu pengentasan masalah sosial di masyarakat, sebab BUMDes juga wajib menyisihkan keuntungannya untuk dana sosial.
“Memang sudah ada dana desa. Tapi BUMDes ini juga kan penting untuk mengoptimalkan potensi desa. Jadi paradigma desa membangun dan kemandirian desa itu bisa lebih cepat tercapai,” kata Jaya Sumpena.
Lebih lanjut Jaya Sumpena mengatakan, tadinya desa-desa yang belum memiliki BUMDes, berencana membentuk BUMDes pada tahun ini.
Anggaran penyertaan modal pun sudah tercantum dalam APBDes. Rata-rata tiap desa memberikan penyertaan modal antara Rp 35 juta hingga Rp 50 juta.
Hanya saja pandemi keburu terjadi. Sehingga desa harus melakukan refocusing anggaran. “Ada yang dialihkan untuk bencana, ada yang dialihkan untuk BLT juga.
Jadi ya mereka terpaksa menunda pembentukan BUMDes. Karena situasinya begini, kami tidak bisa memaksa. Tapi kami tetap mendorong agar mereka menganggarkan kembali tahun depan,” imbuhnya.