Semua penduduk Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Jepara tahu peran Mbah Datuk Singorojo, yang punya nama lain Gurnadi alias Ida Gurnadi.
Ada yang menyebut Gusti Gurnadi adalah ulama besar bahkan disebut sebagai waliyullah atau wali.
HARI PUSPITA, Jepara
MESKIPUN ada makamnya, tapi keterangan rinci tidak mudah didapat. Sumber dari warga desa setempat, Mbah Fauzan, yang bertugas sebagai pengurus makam hanya tahu sedikit tentang masa lalu Mbah Datuk.
Sekadar tahu bahwa dia berasal dari Bali . Bahwa dia seorang ulama, seorang wali, dan berasal dari tanah Bali.
“Ngertos kulo nggih almarhum saking Mbali. Duko saking Buleleng, duko saking pundi, kulo mboten ngertos. Wong kulo nggih mboten ngertos Mbali
(saya hanya tahu bahwa almarhum berasal dari Bali . Entah dari Buleleng atau dari daerah mana, saya tidak paham. Karena saya juga tidak paham Bali),” imbuhnya, masih dalam bahasa Jawa halus.
Kalau ditanya pakai Bahasa Indonesia sebetulnya bisa. Tapi, tampak kesulitan menjawab. Meski bisa, tapi ngomongnya tidak begitu lancar.
Hanya, setelah sebelumnya mendapatkan sejumlah bahan cerita dari penelusuran di dunia maya dan beberapa buku, koran ini terus berusaha mengecek kebenarannya.
Seperti tentang asal muasal Mbah Singorojo, nama asli, atau nama aliasnya. Atau hal lain yang terkait dengannya. Ada yang mendapat kepastian, ada yang masih butuh waktu untuk penelusuran lagi.
Seperti halnya tentang nama atau sebutan lain dari Mbah Datuk Singorojo yang punya nama sebutan Datuk Gurnadi.
Ada yang menyebut Gusti Gurnadi juga Ida Gurnadi. Salah satu yang paham tentang ini adalah almarhum Habib Ali. Salah seorang ulama setempat. Sayangnya, sudah meninggal.
Gurnadi sendiri juga nama sesinglon atau nama samaran. Gurnadi disebut-sebut sebagai kependekan dari “guru nadi”.
Arti guru nadi adalah guru keutamaan. Pengajar kebajikan. Sebagaimana kedudukannya yang diyakini sebagai seorang wali. Manusia kekasih Tuhan.
Jawa Pos Radar Bali akhirnya dapat rujukan untuk konfirmasi kepada menantu Habib Ali, yang dikenal dekat dengan almarhum.
Pria keturunan Arab itu adalah Habib Abdullah. Akhirnya, mengonfirmasikan kepadanya. “Beliau memang punya sebutan Datuk Gurnadi,” jawabnya.
Dia juga menegaskan bahwa Datuk Gurnadi atau Ida Gurnadi adalah seorang wali yang diakui kewaliannya dari zaman ke zaman.
“Beliau itu ulama yang berjasa besar untuk kemajuan Mayong, Pecangaan, Kedung, atau di Jepara ini,” jelasnya.
Tak hanya dikenal sebagai orang yang menguasai ilmu bela diri, kesaktian, dan spiritual, sebagaimana figur tokoh masa silam, dia juga diyakini menguasai banyak ilmu pengetahuan.
Termasuk ilmu pengetahuan duniawi. Yakni, tentang kewirausahaan. Seperti kerajinan tenun dan gerabah, yang diajarkan di Mayong Lor (Mayong Utara) dan Troso, Pecangaan.
Ida Gurnadi atau Mbah Datuk Singorojo ini di wilayah Mayong dikenal sebagai penakluk kawanan pengacau keamanan, pengikut Arya Penangsang.
Sekitar akhir periode 1.500-an silam atau awal tahun 1.600-an. Arya Penangsang atau Arya Jipang ini setelah terbunuh oleh Danang Sutowijoyo,
yang lantas bergelar Panembahan Senapati, sebagai sultan di Kerajaan Mataram, sebagian sisa-sisa pengikutnya bikin kerusuhan di wilayah Jepara dan Pati.
Nah, peredam kerusuhan itu adalah Mbah Datuk Singorojo. “Beliau bisa dikatakan sebagai pencerah untuk wilayah ini. Karena selain sebagai ustadz, ulama, pengajar kebajikan,
juga mengajari warga untuk bekerja dan belajar wirausaha. Seperti tenun di Pecangaan dan kerajinan gerabah di Mayong Lor,” ujar Habib Abdullah, yang biasa dipanggil Bib Dullah, ini.
Hal senada juga dikatakan Haji Sunarto, pengurus masjid Datuk Ampel Troso, Pecangaan. Masjid ini adalah masjid peninggalan Datuk Singorojo.
Tempat ibadah itu saat ini sudah direhab beberapa kali dan tampak begitu megah. “Masjid ini adalah bukti bahwa Mbah Datuk itu seorang ulama yang memang bekerja keras untuk kemajuan wilayah ini,” terangnya.
Selain megah, masjid dengan 12 pilar besar itu tampak bersih dan terawat. Dua orang merbot atau penjaga masjid selalu siaga bersih-bersih.
Mereka adalah Kastari, 60, dan Sayuti, 62. Kepada Radar Bali, keduanya mengaku senang menjalani aktivitas sebagai marbot tersebut.
Dari 12 pilar masjid itu, 4 di antaranya adalah pilar asli yang sekarang sudah dibalut beton cor semen. Pilar atau tiang atau soko guru penyangga itu disebut-sebut berbahan kayu jati yang terpotong-potong jadi semacam tatal, kemudian disusun ulang.
Jadi, semacam kayu utuh yang dirangkai menyerupai puzzle dengan bangun simetris pengunci. Mirip tiang penyangga Masjid Agung Demak, peninggalan para wali.
“Tenang dan damai rasanya bisa membantu bersih-bersih masjid di sini,” ujar Kastari. “Kalau bagian membersihkan menara biasanya saya yang memanjat. Termasuk membersihkan dari sarang laba-laba,” timpal Sayuti.
Para penyumbang masjid juga berlimpah. Pantauan Jawa Pos Radar Bali di papan pengumuman masjid itu tertera saldo terakhir mencapai Rp 633.402.800. Ada lebih dari enam ratus juta rupiah.
Seperti apa gambaran wajah Mbah Datuk? Sampai hari ini sama sekali tidak ada gambar sosok wali yang sangat dihormati tersebut.
Tidak seperti gambar Wali Songo atau Sembilan Wali di Jawa, yang banyak beredar gambar wajahnya.
Hanya saja, menurut keterangan sejumlah sumber, Mbah Datuk sosoknya menyerupai para wali di Jawa.
“Saya pernah ketemu lewat mimpi, beliau memakai jubah hijau dengan dikawal harimau,” tutur Sayuti, menceritakan pengalaman pertemuannya dengan Mbah Datuk lewat mimpi.
Penggambaran sosoknya memang hanya cerita dari mulut ke mulut saja. Tidak ada bukti otentiknya.
Tapi, penggambaran seperti itulah yang beredar di masyarakat Jepara, khususnya di wilayah tiga Kecamatan Mayong, Pecangaan, dan Kedung.
Penuturan yang disampaikan Bib Dullah juga mengisahkan ilustrasi serupa. “Ya, kalau menurut cerita dari mulut ke mulut memang seperti itu.
Katanya beliau punya pengawal harimau. Tapi, sepertinya bukan harimau biasa. Mungkin semacam pengawal gaibnya,” tutur Habib Dullah membenarkan.
Jadi, boleh percaya, boleh tidak, tentang penggambaran kisah masa lalunya itu. Boleh disebut sebagai mitos, imajinasi, khayalan, atau kenyataan, atau apalah namanya.
Sebagian dari mereka percaya bahwa dari Ida Gurnadi itulah kerajinan kain tenun Troso bisa maju dan berkembang seperti sekarang ini. Itu juga karena dulu didoakan oleh Ida Gurnadi alias Mbah Datuk Singorojo.
Seorang wali yang diyakini manjur, makbul, dan terkabul doa-doanya kelak di kemudian hari. Karena seperti diketahui, budaya tulis untuk sejarah Nusantara memang teramat miskin. S
ebagian kalau menelusuri malah mencari catatan asing dari Tiongkok, Portugis, Spanyol, Arab. Budaya Nusantara lebih banyak pada cerita lisan.
Dari mulut ke mulut. Yang sudah barang tentu sulit dibuktikan keotentikannya secara keseluruhan. Meskipun sebagian peninggalannya masih ada sampai sekarang. [*]