25.4 C
Jakarta
25 November 2024, 8:03 AM WIB

Ekspor Buah dari Bali Masih Terbebani Mahalnya Ongkos Kirim

SINGARAJA – Harapan melakukan ekspor terhadap produk pertanian di Bali, utamanya komoditas buah, agaknya belum menemui titik terang. Perusahaan yang melakukan ekspor komoditi buah, hingga kini belum mendapatkan harga yang sesuai untuk pasar ekspor. Padahal peluang untuk memasarkan produk ke luar negeri masih terbuka lebar.

Salah satu perusahaan yang concern di bidang ekspor impor komoditi buah adalah PT. Bali Organik Subak (BOS). Perusahaan ini biasa mengirim buah ke luar negeri dalam hitungan ton. Namun pada masa pandemi ini, mereka terpaksa membatasi volume pengiriman buah. Penyebabnya ialah biaya pengiriman yang terbilang mahal.

Pekan lalu perusahaan tercatat mengirim 700 kilogram buah ke Eropa. Sebanyak 450 kilogram di antaranya merupakan buah naga yang diproduksi petani dari Desa Bulian, 200 kilogram lainnya buah mangga yang diproduksi petani Desa Tembok, dan 50 kilogram sisanya adalah buah salak produksi petani di Desa Sibetan.

CEO PT. BOS A.A. Gede Agung Wedhatama mengungkapkan biaya pengiriman cargo untuk komoditas pertanian saat ini masih terbilang mahal. Saat ini pengusaha dikenakan biaya pengiriman sebesar Rp60 ribu per kilogram. Itu artinya bila mengirim produk sebanyak 1 ton, pengusaha harus merogoh biaya sebanyak Rp60 juta.

“Biaya pengirimannya belum masuk. Kalau mau murah harus mengirim via laut. Tapi kalau mengirim barang ke Eropa via laut itu butuh 21 hari. Untuk kirim produk pertanian itu belum bisa dalam waktu selama itu,” kata pria yang akrab disapa Gung Weda itu.

Menurutnya biaya pengiriman itu terbilang sangat mahal. Nyaris 5 kali lipat dari harga normal. Biasanya untuk pengiriman ke Benua Eropa, Gung Weda mengaku hanya merogoh biaya sebanyak Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per kilogram.

Lantaran biaya pengiriman yang terlalu besar itu, pengusaha ekspor impor yang bergerak di bidang komoditas produk pertanian relatif tak bisa bergerak banyak. Khusus untuk produk buah, mereka terkendala dengan komoditas dari Uganda dan Thailand. Khusus di pasar Thailand, pemerintah setempat memberikan subsidi biaya kargo. Ditambah penerbangan ke luar negeri juga masih tersedia.

“Kalau kita di sini kan biaya kargo sudah mahal, tidak ada subsidi. Ditambah lagi penerbangan belum reguler buka. Ini sangat menghambat sebenarnya,” imbuhnya.

Meski demikian ia mengaku optimistis masih bisa menembus pasar ekspor. Utamanya di Eropa dan Timur Tengah. Sebab permintaan masih cukup tinggi. Terlebih lagi di Eropa kini jelang memasuki musim dingin. Sehingga warga mulai menyimpan pasokan makanan. Termasuk buah-buahan.

“Kami optimistis saja sih bisa mengirim. Tapi belum bisa banyak. Sebenarnya uang itu kan ada di luar (negeri) sekarang. Kalau kita bicara Bali, (perputaran) uangnya sudah habis. Kami harap ada semacam jalan keluar terkait ini, supaya uang dari luar biasa masuk,” tandas Gung Weda.

SINGARAJA – Harapan melakukan ekspor terhadap produk pertanian di Bali, utamanya komoditas buah, agaknya belum menemui titik terang. Perusahaan yang melakukan ekspor komoditi buah, hingga kini belum mendapatkan harga yang sesuai untuk pasar ekspor. Padahal peluang untuk memasarkan produk ke luar negeri masih terbuka lebar.

Salah satu perusahaan yang concern di bidang ekspor impor komoditi buah adalah PT. Bali Organik Subak (BOS). Perusahaan ini biasa mengirim buah ke luar negeri dalam hitungan ton. Namun pada masa pandemi ini, mereka terpaksa membatasi volume pengiriman buah. Penyebabnya ialah biaya pengiriman yang terbilang mahal.

Pekan lalu perusahaan tercatat mengirim 700 kilogram buah ke Eropa. Sebanyak 450 kilogram di antaranya merupakan buah naga yang diproduksi petani dari Desa Bulian, 200 kilogram lainnya buah mangga yang diproduksi petani Desa Tembok, dan 50 kilogram sisanya adalah buah salak produksi petani di Desa Sibetan.

CEO PT. BOS A.A. Gede Agung Wedhatama mengungkapkan biaya pengiriman cargo untuk komoditas pertanian saat ini masih terbilang mahal. Saat ini pengusaha dikenakan biaya pengiriman sebesar Rp60 ribu per kilogram. Itu artinya bila mengirim produk sebanyak 1 ton, pengusaha harus merogoh biaya sebanyak Rp60 juta.

“Biaya pengirimannya belum masuk. Kalau mau murah harus mengirim via laut. Tapi kalau mengirim barang ke Eropa via laut itu butuh 21 hari. Untuk kirim produk pertanian itu belum bisa dalam waktu selama itu,” kata pria yang akrab disapa Gung Weda itu.

Menurutnya biaya pengiriman itu terbilang sangat mahal. Nyaris 5 kali lipat dari harga normal. Biasanya untuk pengiriman ke Benua Eropa, Gung Weda mengaku hanya merogoh biaya sebanyak Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per kilogram.

Lantaran biaya pengiriman yang terlalu besar itu, pengusaha ekspor impor yang bergerak di bidang komoditas produk pertanian relatif tak bisa bergerak banyak. Khusus untuk produk buah, mereka terkendala dengan komoditas dari Uganda dan Thailand. Khusus di pasar Thailand, pemerintah setempat memberikan subsidi biaya kargo. Ditambah penerbangan ke luar negeri juga masih tersedia.

“Kalau kita di sini kan biaya kargo sudah mahal, tidak ada subsidi. Ditambah lagi penerbangan belum reguler buka. Ini sangat menghambat sebenarnya,” imbuhnya.

Meski demikian ia mengaku optimistis masih bisa menembus pasar ekspor. Utamanya di Eropa dan Timur Tengah. Sebab permintaan masih cukup tinggi. Terlebih lagi di Eropa kini jelang memasuki musim dingin. Sehingga warga mulai menyimpan pasokan makanan. Termasuk buah-buahan.

“Kami optimistis saja sih bisa mengirim. Tapi belum bisa banyak. Sebenarnya uang itu kan ada di luar (negeri) sekarang. Kalau kita bicara Bali, (perputaran) uangnya sudah habis. Kami harap ada semacam jalan keluar terkait ini, supaya uang dari luar biasa masuk,” tandas Gung Weda.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/