DENPASAR – Sidang eksepsi kasus pencemaran nama baik dengan terdakwa front man Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias JRX yang digelar secara online kemarin menjadi panggung bagi terdakwa.
Bersama dengan kuasa hukumnya, JRX SID memblejeti dakwaan jaksa penuntut umum yang disusun tim JPU gabungan Kejari Denpasar dan Kejati Bali yang dikomandoi Otong Hendra Rahayu.
Tim kuasa hukum juga “menelanjangi” Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali sebagai pelapor.
Salah satu kuasa hukum JRX, Agus Suparman menegaskan, melihat surat dakwaan JPU yang dibuat dengan sedemikian singkat,
surat dakwaan tersebut disusun dengan cacat formil, penuh ketidakcermatan, ketidakjelasan, dan ketidaklengkapan.
Sehingga surat dakwaan menjadi kabur atau obscuur libel. “JPU juga terlihat serampangan menyusun surat dakwaan, sehingga pengetahuan penyusunan surat dakwaan yang fundamental tidak dapat diterapkan,” tukas Agus Suparman.
Di mana, dakwaan yang fundamental yakni mengenai bentuk surat dakwaan yang disusun dengan dakwaan alternatif, tapi surat dakwaan
tidak mampu memenuhi kualifikasi dakwaan alternative, karena antara dakwaan pertama dan dakwaan kedua tidak ada yang saling mengecualikan.
Poin pertama yaitu dakwaan JPU tidak dapat diterima karena dakwaan tidak memenuhi kualifikasi syarat pembuatan dakwaan.
Di dalam surat dakwaan a quo, telah terdapat kekeliruan dan kesalahan JPU menyusun bentuk dakwaan, sehingga dakwaan yang diajukan tidak memenuhi kualifikasi syarat pembuatan dakwaan.
JPU juga dinilai tidak memahami karakteristik dakwaan alternative. Dalam dakwaan ini, JPU sama sekali tidak menjelaskan apa unsur yang saling
mengecualikan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengakibatkan JPU menggunakan dakwaan alternatif.
Sedangkan kedua pasal dakwaan ini sama sekali tidak saling mengecualikan. “JPU pada dakwaan pertama menggunakan
uraian yang sama sekali tidak dialternatifkan dengan dakwaan kedua bahkan cenderung copy paste,” bebernya.
Poin kedua, lanjut pengacara, dakwaan JPU kabur (obscuur libel). Ini karena tidak jelas siapa yang dimaksud oleh JPU sebagai korban di dalam surat dakwaan.
Yang dimaksud oleh Jaksa JPU dalam surat dakwaannya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Bali.
Tentu ini harus dicermati mengingat bahwa laporan polisi nomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tertanggal 16 Juni 2020 yang dinyatakan sebagai korban adalah Ikatan Dokter Indonesia.
Yang dimaksud sebagai IDI adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang berkedudukan hukum di Jakarta.
Adapun dr. I Gede Putera Suteja yang bertindak dalam kapasitasnya baik sebagai seorang dokter maupun sebagai ketua IDI wilayah Bali dalam perkara aquo sebagai pelapor mendalilkan diri mendapat kuasa dari PB IDI.
Dalil JPU yang menyatakan bahwa yang menjadi korban dari perbuatan terdakwa adalah IDI Wilayah Bali, maka uraian dalam surat dakwaan aquo sesungguhnya merupakan uraian yang keliru.
Sehingga sudah senyatanya hal tersebut membuat surat dakwaan menjadi cacat hukum dan sepantasnya Surat Dakwaan dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak diterima.
Poin ketiga, pengaduan dan kedudukan hukum/legal standing pengadu tidak sah secara hukum.
Dijelaskan Manik, jika IDI dikualifikasi sebagai korban, maka yang wajib hadir adalah representasi hukum dari IDI, yakni Ketua Umum PB IDI sebagai korban langsung.
Sebab, postingan Jerinx tidak ada satupun ditujukan kepada IDI Wilayah Bali. Karena pengaduan bukan oleh korban, maka dasar surat dakwaan tidak didasari oleh pengaduan dari orang yang tepat.
Poin keempat, surat kuasa pengaduan cacat hukum sehingga tidak sah hukum. Dokter Suteja selaku pengadu hanya mencantumkan tanda tangan dari pemberi kuasa.
Tidak ada mencantumkan tanda tangan penerima kuasa. Tidak ditandatanganinya surat kuasa oleh penerima kuasa menunjukan surat kuasa yang digunakan oleh Suteja cacat formil.
Poin kelima, surat dakwaan JPU hanya berdasarkan asumsi bukan berdasarkan fakta hukum. Baik dalam dakwaan pertama ataupun dalam dakwaan kedua,
JPU menyebutkan, terdakwa dengan sengaja membuat postingan pada media instagram melalui akun IG @jrxsid karena terdakwa
mengetahui postingan tersebut akan mendapatkan perhatian dari masyarakat banyak dan menjadi ramai di media sosial serta memperoleh komentar yang beragam.
Hal itu dianggap adalah asumsi dari JPU sendiri. “Tidakkah uraian itu halusinasi dari Jaksa JPU? Hal tersebut memperlihatkan
secara nyata JPU dalam membuat dakwaan berdasar asumsi bukan berdasar fakta-fakta hukum,” terang Sedana Yasa.
Poin keenam, JPU mencampuradukan unsur-unsur yang didakwakan. Poin ketujuh, JPU keliru memuat kerugian materiil dan immateriil dan gagal menguraikan kerugian materiil dan immateriil yang ditimbulkan akibat perbuatan terdakwa.
Poin kedelapan, dakwaan keliru karena kerugian immateriil tidak dikenal dalam hukum pidana.
Surat dakwaan tidak menjelaskan besaran kerugian yang dialami secara nyata oleh pengadu dan/atau korban. Surat dakwaan tidak jelas menguraikan pihak yang dirugikan dan perbuatan terdakwa.
Poin kesembilan, JPU tidak menjelaskan alat yang digunakan untuk membuat dan mengunggah postingan. Poin kesepuluh, surat dakwaan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Sugeng kemudian membacakan bagian penutup yang memuat permohonan eksepsi. Tim kuasa hukum Jerinx meminta majelis hakim menerima nota keberatan,
menyatakan surat dakwaan JPU dengan register perkara nomor PDM-0637/Denpa/KTB-TPUL/08/2020, tertanggal 26 Agustus 2020 batal demi hukum.
“Atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan JPU tidak dapat diterima atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan
harus dibatalkan,” kata Sugeng sembari menyebut membebankan biaya perkara kepada negara. Sidang ditunda Kamis 1 Oktober 2020.