SINGARAJA – Sengketa kepemilikan sempadan pantai yang diklaim kepemilikan dan pemanfaatannya antara warga negara asing (WNA) Belanda bernama Ernet Bourt, 85, dengan Desa Adat Anturan, akhirnya menemukan titik terang.
Kedua pihak akhirnya sepakat mengakhiri polemik yang terjadi sejak 2015 itu dengan melakukan pengukuran ulang batas-batas kepemilikan tanah masing-masing.
Polemik saling klaim sempadan pantai ini berawal dari pihak Ernest Bourt warga negara Belanda yang membeli lahan seluas 1,5 hektare di Banjar Dinas Munduk, Desa Anturan yang menjurus ke laut.
Dengan mengklaim bahwa tanah yang berada di sebelah utara menjurus ke laut utara Bali termasuk sempadan pantai didalamnya adalah hak miliknya dan berhak atas pengelolaan.
Demikian pula pihak Desa Adat Anturan mengklaim sebagai wewidangan desa Adat. Bahwa setiap sempadan pantai berhak dilakukan pengelolaan oleh desa adat setempat.
Ernest Bourt pun memagari lahannya sampai menjurus ke laut agar warga desa tak dapat lalu lalang di sempadan pantai.
Nelayan desa pun dilarang beraktivitas agar tak menaruh sampan di depan kediaman Ernest yang persis menghadap pantai.
Demikian pula dengan desa adat Anturan yang memasang plang atas sempadan pantai merupakan lahan wewidangan desa Adat Anturan.
Polemik ini akhirnya terselesaikan setelah kedua belah pihak dimediasi oleh DPC Garda Tipikor Indonesia (GTI) Buleleng dengan melakukan pengukuran ulang atas lahan tersebut.
Pantauan Jawa Pos Radar Bali, Perbekel Desa Anturan dan Desa Adat, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, Polres Buleleng
dan anggota DPC GTI Buleleng turun ke lokasi untuk melakukan pengukuran ulang tapal batas atas tanah dibeli oleh Ernest.
Klian Desa Adat Anturan Ketut Mangku mengaku persoalan polemik saling klaim sempadan pantai antara desa adat dengan WNA Ernest Bourt memang sudah lama terjadi.
Namun kali ini sudah ada kesepakatan. Setelah pihaknya bersama Ernest Bourt lakukan pengukuran ulang tapal batas.
Karena selama ini masalah yang muncul atas sempadan pantai warga dilarang beraktivitas. Begitu pula para nelayan di desa anturan padahal ini milik desa adat.
Mangku menegaskan, sepadan pantai itu merupakan wewidangan desa adat Anturan. Sesuai Perda No. 4 tahun 2019, desa adat diberikan pengelolaan.
“Jadi sudah ada pengukuran, jelas mana batas masing-masing. Sekarang sudah tidak ada masalah lagi,” ujar Mangku.
Dengan kesepakatan ini, diharapkan secara bersama-sama bisa memanfaatkan pengelolaan sempadan pantai ini. Termasuk para nelayan bisa memanfaatkan.
Hal senada juga dikatakan Perbekel Desa Anturan, Ketut Soka. Menurut Soka, pihaknya hanya berupaya mengamankan pantai di desa Anturan. Dengan mediasi, jadi sudah jelas semua.
“Kami hanya mengamankan pantai ini. Kedepan akan kami lestarikan lahan sepadan pantai ini, dengan menanam pohon,” jelas Perbekel Soka.
Sementara Ernest Bourt mengaku, sudah menerima kesepakatan tersebut. Ernest pun sangat terbuka kepada masyarakat, untuk jadikan sempadan pantai tersebut sebagai area publik.
“Sangat terbuka untuk area publik. Saya happy (senang) dan sangat welcome. Dengan catatan tidak merusak,” pungkas Ernest Bourt.