UPAYA pemulihan ekonomi nasional merupakan program prioritas dan paling dinanti-nanti di tengah pandemi.
Dikutip dari katadata.co.id, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga 23 September 2020 melaporkan realisasi anggaran
program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) telah mencapai Rp 268,3 triliun (38,59 persen) dari total anggaran Rp 695,2 triliun.
Ditinjau dari klaster skema PC-PEN diperoleh gambaran bahwa alokasi untuk perlindungan sosial telah direalisasikan dengan anggaran paling tinggi yaitu mencapai Rp 136,41 triliun rupiah.
Dalam jangka pendek, pemulihan ekonomi diarahkan untuk mendongkrak stabilitas daya beli masyarakat dengan harapan bahwa ketika daya beli stabil maka roda perekonomian akan berputar dan ekonomi perlahan bangkit.
Pertimbangan tersebut didasari oleh struktur Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran yang dirilis oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan II 2020 didominasi oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (57,85 persen).
Konsumsi rumah tangga menjadi salah satu tumpuan asa untuk memutus mata rantai melesunya ekonomi.
BPS merilis indikator pekembangan harga di bulan September 2020 mengalami deflasi sebesar 0,05 persen dan komponen inti mengalami inflasi sebesar 0,13 persen.
Siaran Pers Bank Indonesia No.22/73/Dkom menjelaskan bahwa perkembangan harga beberapa kelompok komoditas di bulan September tersebut diakibatkan
oleh rendahnya inflasi inti serta deflasi yang terjadi pada kelompok penyusun inflasi non inti yaitu volatile food dan administered prices.
Inflasi inti dapat dipertimbangkan sebagai refleksi korelasi antara harga barang dan jasa dengan pendapatan konsumen.
Bank Indonesia mendefeinisikan inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental
seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eskternal seperti nilai tukar, harga komoditi internasional, termasuk inflasi mitra dagang, dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Sejak pandemi Covid-19 dinyatakan masuk ke Indonesia di bulan Maret 2020, inflasi inti terus mengalami kecenderungan
tren menurun meskipun sempat bangkit di bulan Agustus 2020, inflasi inti kembali merosot di bulan September 2020.
Inflasi inti yang tetap rendah selama beberapa bulan terakhir diduga sebagai sinyal dari pasar domestik yang masih rentan.
Dilansir dari investor.id, pernyataan senada juga disampaikan oleh Kepala BPS Suhariyanto yang menjelaskan bahwa secara kuantitas dari sisi penawaran di pasar cukup, namun dari sisi permintaan nampaknya daya beli masyarakat masih rendah.
Inflasi inti yang mengalami kenaikan adalah uang kuliah akademi dan perguruan tinggi dan tercatat menyumbang sebesar 0,03 persen kepada inflasi.
Bulan September merupakan bulan dimulainya kalender akademik perkuliahan sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa
pengeluaran untuk membayar biaya pendidikan tinggi menjadi salah satu penarik inflasi dengan kontribusi yang cukup besar di bulan September 2020.
Kelompok pengeluaran perawatan pribadi dan jasa lainnya juga turut berkontribusi sebesar 0,02 persen terhadap inflasi akibat mengalami kenaikan harga sebesar 0,25 persen.
Fluktuasi perekonomian akibat pandemi belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. Pemerintah dengan segala daya mengupayakan pemulihan stabilitas ekonomi nasional dengan berbagai skema PC-PEN.
Perlu dipahami bahwa masa sulit ini tidak hanya dialami oleh Indonesia sendiri namun hampir di seluruh negara-negara di dunia.
Ekonom Gregory Mankiw dalam teorinya Principle of Economics menyebutkan bahwa orang akan berpikir rasional pada keuntungan sekaligus memberikan respon positif akan insentif.
Namun sayangnya pada situasi pandemi masyarakat menghadapi pilihan yang kompleks dengan sumber daya yang terbatas bahkan hilang seperti sumber penghasilan.
Pilihan rasional dari masyarakat adalah mengorbankan kepuasan setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar
agar dapat bertahan lebih lama dibandingkan mempertahankan peta kepuasan marjinal tiap individu seperti sebelum pandemi.
Selain tidak memungkinkan akibat berkurangnya pendapatan akibat pandemi, pilihan mempertahankan pola konsumsi seperti sebelum pandemi menjadi tidak rasional di situasi yang tidak pasti.
Fenomena tersebutlah yang mengakibatkan daya beli masyarakat relatif rendah. Respon terhadap stok yang berlimpah (excess supply) tidak serta merta dapat dilakukan dengan jumlah permintaan yang optimal.
Inflasi inti yang rendah menjadi salah satu sinyal bahwa meskipun harga barang dan jasa tidak mengalami peningkatan yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan
peningkatan pendapatan konsumen atau bahkan mengalami kecenderungan menurun maka situasi demikian diperkirakan sebagai situasi daya beli masyarakat cenderung rendah.
Pada akhirnya di masa sulit seperti saat ini perlu upaya dari semua pihak untuk dapat bertahan dan keluar dari jebakan jurang pandemi.
Pemerintah melalui berbagi instrumen kebijakan telah menyusun skema pemulihan ekonomi nasional tentunya dengan prioritas protokol kesehatan.
Di sisi lain masyrakat dapat mengelola pundi-pundi pendapatan yang tersisa dengan cermat dari skema bantuan sosial serta melakukan diversifikasi usaha untuk bertahan setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Pilihan untuk kembali ke bidang pertanian subsisten baik urban maupun family farming bukan tidak mungkin menjadi salah satu jalan keluar dari jebakan dampak pandemi.
Saat ini fokus kita bersama adalah bagaimana memulihkan kesehatan demi bangkitnya ekonomi dan berakhirnya pandemi. (I Gede Heprin Prayasta/Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Udayana)