Pandemi memaksa sejumlah usaha stagnan. Bahkan, terpaksa gulung tikar. Di Desa Munduk Bestala, Kecamatan Seririt, salah satu usaha rumahan yang bergerak
di bidang kerajinan masih terus bergerak. Produk tetap berjalan, karena celah untuk pemasaran masih tetap ada.
EKA PRASETYA, Seririt
MATAHARI siang kemarin (4/10) sedang terik. Sayup-sayup terdengar nyanyian selamat ulang tahun dari sebuah rumah yang ada di Desa Munduk Bestala, Kecamatan Seririt.
Rumah itu terletak tepat di prasasti selamat datang di Desa Munduk Bestala. Tak lama kemudian seorang wanita tampak datang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.
Wanita itu adalah Ni Made Ayu Susanti, 37, pemilik rumah kerajinan Kartika Bali. “Mari masuk. Kebetulan habis tiup lilin. Ibu saya pas hari ini ulang tahun,” sambutnya ramah.
Kartika Bali merupakan sebuah usaha kerajinan rumahan yang baru dirintis pada bulan Mei lalu. Saat usaha-usaha tengah rontok dan berusaha bertahan, Ayu berusaha membuka peluang baru.
Ia melihat celah pasar masih terbuka. Bermodal nekat dan ketekunan, ia memulai usaha kerajinan berbahan dasar upih atau pelepah pohon pinang.
Pelepah pinang dibersihkan lalu dicetak menggunakan alat pres. Pelepah itu kemudian berubah bentuk menjadi piring maupun cawan.
Piring itu bisa menjadi alternatif bahan pengganti styrofoam atau gabus sintetik yang selama ini dijadikan wadah makanan.
Ide usaha itu sebenarnya bermula sejak beberapa tahun lalu. Tatkala itu Ayu masih bekerja pada salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan.
Di organisasi itu ia bertemu dengan beberapa pegiat lingkungan. Salah satu rekannya berasal dari Fiji – sebuah negara kepulauan di selatan Samudra Pasifik.
Rekannya kemudian mengenalkan alat makan berbahan dasar pelepah pinang. Dari sana ia tertarik mengembangkannya di Indonesia.
“Teman saya ini kebetulan punya keluarga di India juga. Jadi menurut dia, orang-orang di India sudah biasa makan menggunakan piring dari upih ini.
Makanya saya tertarik mengembangkan. Ini juga nggak jauh-jauh dari profesi saya yang terdahulu,” jelas Ayu.
Pada 2019 ia mencoba memesan alat pres itu. Akhirnya ia mendapati alat itu dari salah seorang importir di India.
Alat itu diimpor langsung dari negara tersebut. Karena proses impor, ditambah lagi kendala pandemi pada awal tahun, pengiriman alat menjadi tertunda.
Alat akhirnya baru datang pada Mei 2020. Saat itu pandemi sudah berjalan selama dua bulan. Ekonomi pun mulai melemah. Banyak karyawan yang mulai dirumahkan.
Awalnya Ayu sempat ragu-ragu meneruskan rencana usaha tersebut. Bermodalkan nekat, konsistensi, serta relasi, ia memutuskan tetap menjalankan usaha tersebut.
Bahan dasar pelapah pinang ia cari di sekitar rumahnya. Karena bahan baku terbatas, ia pun memperluas area pencarian bahan baku hingga ke Desa Pedawa dan Desa Panji.
Selembar pelepah pinang biasanya ia beli dengan harga seribu rupiah. Itu pun bila pelepah dalam kondisi bagus.
Pelepah kemudian dipotong-potong. Selanjutnya dibersihkan menggunakan soda kue dan cuka. Kemudian dijemur hingga tingkat kekeringan tertentu.
Baru kemudian dicetak menggunakan mesin pres yang digerakkan dengan tenaga listrik. Pelepah yang tak terpakai kemudian dicacah dan dijadikan pupuk organik.
Setidaknya sudah ada 5 buah produk yang dihasilkan. Yakni piring dengan diameter 25 centimeter dan 15 centimeter, sebuah lunch box dengan tutupnya, serta sebuah cawan.
Untuk satu produk ia jual seharga Rp 6.500 hingga Rp 7.500 per buah. Tergantung ukuran. Ayu mengklaim produk-produk itu tahan panas.
Juga bisa digunakan berkali-kali. Ia merekomendasikan pemakaian berulang hanya sebanyak tiga kali.
“Saya sudah pernah pakai langsung. Untuk sayur dengan kuah, sayur yang ditumis, dalam kondisi panas saya langsung tuang ke piring ini, tahan kok.
Memang ada aroma tertentu yang keluar. Tapi tidak mengubah rasa. Bisa dipakai ulang beberapa kali,” ungkapnya.
Awalnya hasil produksi itu ia pasarkan di sekitar rumah dan relasinya. Kemudian ia terlibat pada beberapa ajang eksebisi di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Produknya pun makin dikenal. Pembelinya kini banyak berasal dari Jakarta, Kalimantan, dan Sumatera. Ayu juga sempat mengirim produknya ke Singapura, Hongkong, dan Australia.
“Kalau ke negara-negara itu baru ngirim contoh produk. Masih menunggu konfirmasi dari calon buyer (pembeli). kalau yang sudah jalan itu ke Amerika Serikat.
Sementara saya kirim pakai Pos Indonesia, biar beban ongkos kirimnya tidak terlalu besar,” imbuh wanita yang juga sempat menggeluti pekerjaan sebagai manajemen band itu.
Lebih lanjut Ayu menuturkan, saat ini ia masih konsentrasi berproduksi dengan bahan dasar pelepah pinang. Sebenarnya ada bahan alternatif lain.
Seperti daun pisang dan daun kakao. Hanya saja bahan dasar itu terlalu tipis. Ayu juga sempat berusaha membuat produk berbahan dasar pelepah pisang.
Namun tekstur produk tidak sesuai. Karena relatif tidak tahan panas. Kini kapasitas produksi di rumah kerajinan Kartika Bali hanya sekitar 500 buah produk per bulan.
Dalam sebulan biasanya ia menggunakan bahan baku sebanyak 270 lembar pelepah pinang. Ayu mengaku terkendala dengan pasar yang terbatas selama masa pandemi.
Sehingga ia produksi pun ikut terbatas. Sementara ia hanya mempekerjakan 2 orang tenaga kerja, yang kebetulan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan dirinya.
Sementara ini ia masih fokus melakukan pemasaran melalui ajang eksebisi dan memanfaatkan media sosial. Selain itu ia juga bersiap masuk ke pasar digital.
Kendati pasar masih terbatas, Ayu mengaku tetap optimistis produknya bisa diserap pasar. Ia menyebut ada celah yang masih bisa digarap lebih serius.
“Masa pandemi ini orang kan berusaha hidup lebih sehat. Cari makanan dan produk juga yang lebih sehat. Saya yakin dengan perubahan gaya hidup itu,
orang juga akan berusaha mengurangi penggunana plastik. Mencari bahan-bahan yang alami dan lebih sehat. Ada peluang di sana,” ujarnya optimistis.
Salah satu konsumen yang menyerap produk dari Rumah Kerajinan Kartika Bali itu ialah Dina Widiawan.
Wanita yang bermukim di wilayah Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada itu, mengaku pertama kali melihat produk tersebut lewat media sosial.
Dina langsung tertarik dan mendatangi lokasi perajin di Munduk Bestala, untuk melihat langsung proses produksi. Saat pertama mengunjungi lokasi itu, ia langsung membeli puluhan produk.
“Beberapa saya mau pakai di rumah. Beberapa lagi nanti bisa jadi alat makan di koperasi,” ujar wanita yang juga bergelut di Koperasi Pangan Bali Utara itu.
Sementara itu, Camat Seririt Nyoman Agus Tri Kartikayuda yang dikonfirmasi secara terpisah mengungkapkan, pihaknya berjanji akan memfasilitasi masalah-masalah yang dihadapi oleh UMKM.
Termasuk masalah pasar yang selama ini dikeluhkan oleh UMKM, terlebih pada masa pandemi. “Kami akan komunikasikan dengan Dinas Koperasi dan UMKM.
Biar produk-produk ini dilibatkan dalam pameran. Sehingga peluang pasarnya lebih terbuka. Kalau kami lihat produknya sangat menarik dan unik. Ini bisa jadi solusi pengurangan penggunaan plastik sekali pakai,” ujarnya. (*)