25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:27 AM WIB

Dua Kubu Saling Nge-Gas, Begini Kerasnya Sidang JRX di PN Denpasar

DENPASAR – Sidang kasus dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik dengan terdakwa I Gede Aryastina, 43, alias JRX SID berlangsung panas.

Sidang yang berlangsung selama enam jam itu nyaris tidak pernah berjalan dengan tensi rendah. Kedua kubu saling nge-gas saat memberi pernyataan.

Pasalnya, tim penasihat hukum JRX yang dimotori I Wayan “Gendo” Suardana berusaha keras mencecar ketiga saksi yang hadir.

Sebaliknya, saksi yang hadir juga tak kalah keras. Terutama saksi pelapor Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Bali, dr. I Gede Putra Suteja.

Selama 2,5 jam bersaksi, Suteja melayani semua pertanyaan dan tudingan tim pengacara JRX. Walhasil, suasana sidang tak ubahnya ajang debat.

Saat tim pengacara berbicara dengan nada tinggi, Suteja ikut bicara dengan nada tinggi. Begitu juga saat berhadapan dengan JRX, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung itu tidak kendor.

Ia menjawab pertanyaan tim pengacara, terdakwa, dan JPU. Dijelaskan Suteja, dokter yang tergabung dalam IDI merasa terganggu

dengan postingan terdakwa yang menyebut IDI adalah kacung WHO dan ada konspirasi busuk seolah dokter meninggal akibat Covid-19.

Akibat postingan tersebut semangat dokter dalam menangani Covid-19 menurun. “Postingan (terdakwa) menyinggung dan meresahkan masyarakat.

Postingan tersebut juga menurunkan semangat dokter yang bertugas di lapangan. Para dokter juga melemahkan kami yang di lapangan,” kata Suteja.

Belum lagi adanya komentar warganet yang menyudutkan para dokter. “Sudah berjam-jam memakai APD dan berhari-hari

tidak ketemu keluarga karena bertugas, melihat postingan tersebut sangat menggangu,” cetusnya dengan nada menggebu-gebu.

Dijelaskan Suteja, setelah muncul postingan terdakwa, di grup Whats App (WA) IDI pusat muncul polemik.

Semua menanyakan sikap Suteja sebagai IDI wilayah Bali. Selanjutnya Suteja mengumpulkan pengurus IDI cabang kabupaten/kota se-Bali.

“Dari sembilan pengurus IDI cabang yang hadir, semua memberikan dukungan untuk melapor. Termasuk IDI pusat. Saya melapor mewakili pengurus besar IDI dan dokter lain,” beber pria asal Mengwitani, Badung, itu.

Gendo lantas menanyakan siapa yang dimaksud anggota IDI. Suteja menjawab sesuai AD/ART, anggota IDI adalah semua dokter yang ada di Indonesia.

Menurut Suteja, para dokter tidak diterima IDI disebut kacung WHO. Sebab, IDI tidak tunduk dan secara struktural tidak ada hubungan dengan WHO. 

JPU kemudian menanyakan apakah ada dokter yang meninggal akibat Covid-19, dengan mantap Suteja menjawab ada.

“Per hari ini (kemarin, Red) secara nasional ada 132 dokter yang meninggal karena Covid-19. Di Bali ada lima dokter yang meninggal, karena Covid-19, bukan karena yang lain,” bebernya.

JPU kemudian bertanya postingan terdakwa yang menyebut adanya konspirasi busuk yang mendramatisir dokter meninggal baru tahun ini. Hal itu langsung disangkal Suteja.

“Dokter melaksanakan tugas berdasarkan sumpah Hippocrates dan kode etik. Kami tidak membeda-bedakan, profesional, dan mandiri,” ketusnya.  

Melihat saksi di atas angin, Gendo memprotes kualifikasi saksi. Katanya, yang dihadirkan di persidangan semestinya saksi korban dari postingan JRX. Yakni PB IDI pusat. Sementara  Suteja bukanlah anggota PB IDI pusat.

“Ini (Suteja) pelapor bukan korban,” seru Gendo sambil menuding Suteja. Tak pelak, suasana kembali memanas.

Suteja yang dituding juga tak kalah keras. “Saya kan ada surat kuasa, makanya saya melapor,” sahut Suteja berapi-api.

Gendo pun tidak terima. Gendo pun ditegur hakim. “Marilah kita jaga marwah persidangan,” tutur hakim anggota I Made Psaek menenangkan para pihak.

Gendo kembali memprotes legal standing Suteja sebagai pelapor. Terutama surat kuasa dari PB IDI yang diterima pada tanggal 15 Juni oleh Suteja lewat kantor pos.

Sedangkan Suteja mengaku baru melapor secara lisan pada 15 Juni atau di hari yang sama. Gendo melihat hal itu tidak masuk akal.

Terutama bagaimana mungkin mendapat balasan surat lewat pos dalam tempo sehari. “Saya tidak tahu itu karena sudah ada surat di sekretariat,” jawab Suteja.

Gendo kemudian mencecar Suteja, kenapa IDI tidak menjawab pertanyaan terdakwa ketika meminta penjelasan sebelum memosting “kacung WHO”.

Suteja lagi-lagi menjawab santai. “Saya tidak ada kewajiban menjawab,” ujar Suteja.Gendo kemudian menaikkan tempo bicaranya saat menyinggung rapid test.

Gendo bertanya, apakah rapid test tepat digunakan untuk mengetahui seseorang terkena Covid-19. Menurut Gendo rapid test ini menjadi alasan terdakwa membuat postingan.

Sebab, banyak laporan yang diterima terdakwa, terutama ibu hamil sudah pecah ketuban tapi tidak langsung mendapat pelayanan sebelum rapid test.

“Apakah rapid test ini tepat?!” tanya Gendo dengan nada meninggi. Suteja juga menjawab dengan nada tinggi. Keduanya sama-sama keras.

“Rapid test untuk screening, ya (tepat). Tapi untuk diagnosa tidak tepat. Karena itu, jika hasil rapid positif akan diswab,” tandas Suteja. 

DENPASAR – Sidang kasus dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik dengan terdakwa I Gede Aryastina, 43, alias JRX SID berlangsung panas.

Sidang yang berlangsung selama enam jam itu nyaris tidak pernah berjalan dengan tensi rendah. Kedua kubu saling nge-gas saat memberi pernyataan.

Pasalnya, tim penasihat hukum JRX yang dimotori I Wayan “Gendo” Suardana berusaha keras mencecar ketiga saksi yang hadir.

Sebaliknya, saksi yang hadir juga tak kalah keras. Terutama saksi pelapor Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Bali, dr. I Gede Putra Suteja.

Selama 2,5 jam bersaksi, Suteja melayani semua pertanyaan dan tudingan tim pengacara JRX. Walhasil, suasana sidang tak ubahnya ajang debat.

Saat tim pengacara berbicara dengan nada tinggi, Suteja ikut bicara dengan nada tinggi. Begitu juga saat berhadapan dengan JRX, mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Badung itu tidak kendor.

Ia menjawab pertanyaan tim pengacara, terdakwa, dan JPU. Dijelaskan Suteja, dokter yang tergabung dalam IDI merasa terganggu

dengan postingan terdakwa yang menyebut IDI adalah kacung WHO dan ada konspirasi busuk seolah dokter meninggal akibat Covid-19.

Akibat postingan tersebut semangat dokter dalam menangani Covid-19 menurun. “Postingan (terdakwa) menyinggung dan meresahkan masyarakat.

Postingan tersebut juga menurunkan semangat dokter yang bertugas di lapangan. Para dokter juga melemahkan kami yang di lapangan,” kata Suteja.

Belum lagi adanya komentar warganet yang menyudutkan para dokter. “Sudah berjam-jam memakai APD dan berhari-hari

tidak ketemu keluarga karena bertugas, melihat postingan tersebut sangat menggangu,” cetusnya dengan nada menggebu-gebu.

Dijelaskan Suteja, setelah muncul postingan terdakwa, di grup Whats App (WA) IDI pusat muncul polemik.

Semua menanyakan sikap Suteja sebagai IDI wilayah Bali. Selanjutnya Suteja mengumpulkan pengurus IDI cabang kabupaten/kota se-Bali.

“Dari sembilan pengurus IDI cabang yang hadir, semua memberikan dukungan untuk melapor. Termasuk IDI pusat. Saya melapor mewakili pengurus besar IDI dan dokter lain,” beber pria asal Mengwitani, Badung, itu.

Gendo lantas menanyakan siapa yang dimaksud anggota IDI. Suteja menjawab sesuai AD/ART, anggota IDI adalah semua dokter yang ada di Indonesia.

Menurut Suteja, para dokter tidak diterima IDI disebut kacung WHO. Sebab, IDI tidak tunduk dan secara struktural tidak ada hubungan dengan WHO. 

JPU kemudian menanyakan apakah ada dokter yang meninggal akibat Covid-19, dengan mantap Suteja menjawab ada.

“Per hari ini (kemarin, Red) secara nasional ada 132 dokter yang meninggal karena Covid-19. Di Bali ada lima dokter yang meninggal, karena Covid-19, bukan karena yang lain,” bebernya.

JPU kemudian bertanya postingan terdakwa yang menyebut adanya konspirasi busuk yang mendramatisir dokter meninggal baru tahun ini. Hal itu langsung disangkal Suteja.

“Dokter melaksanakan tugas berdasarkan sumpah Hippocrates dan kode etik. Kami tidak membeda-bedakan, profesional, dan mandiri,” ketusnya.  

Melihat saksi di atas angin, Gendo memprotes kualifikasi saksi. Katanya, yang dihadirkan di persidangan semestinya saksi korban dari postingan JRX. Yakni PB IDI pusat. Sementara  Suteja bukanlah anggota PB IDI pusat.

“Ini (Suteja) pelapor bukan korban,” seru Gendo sambil menuding Suteja. Tak pelak, suasana kembali memanas.

Suteja yang dituding juga tak kalah keras. “Saya kan ada surat kuasa, makanya saya melapor,” sahut Suteja berapi-api.

Gendo pun tidak terima. Gendo pun ditegur hakim. “Marilah kita jaga marwah persidangan,” tutur hakim anggota I Made Psaek menenangkan para pihak.

Gendo kembali memprotes legal standing Suteja sebagai pelapor. Terutama surat kuasa dari PB IDI yang diterima pada tanggal 15 Juni oleh Suteja lewat kantor pos.

Sedangkan Suteja mengaku baru melapor secara lisan pada 15 Juni atau di hari yang sama. Gendo melihat hal itu tidak masuk akal.

Terutama bagaimana mungkin mendapat balasan surat lewat pos dalam tempo sehari. “Saya tidak tahu itu karena sudah ada surat di sekretariat,” jawab Suteja.

Gendo kemudian mencecar Suteja, kenapa IDI tidak menjawab pertanyaan terdakwa ketika meminta penjelasan sebelum memosting “kacung WHO”.

Suteja lagi-lagi menjawab santai. “Saya tidak ada kewajiban menjawab,” ujar Suteja.Gendo kemudian menaikkan tempo bicaranya saat menyinggung rapid test.

Gendo bertanya, apakah rapid test tepat digunakan untuk mengetahui seseorang terkena Covid-19. Menurut Gendo rapid test ini menjadi alasan terdakwa membuat postingan.

Sebab, banyak laporan yang diterima terdakwa, terutama ibu hamil sudah pecah ketuban tapi tidak langsung mendapat pelayanan sebelum rapid test.

“Apakah rapid test ini tepat?!” tanya Gendo dengan nada meninggi. Suteja juga menjawab dengan nada tinggi. Keduanya sama-sama keras.

“Rapid test untuk screening, ya (tepat). Tapi untuk diagnosa tidak tepat. Karena itu, jika hasil rapid positif akan diswab,” tandas Suteja. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/