DENPASAR – Sidang lanjutan kasus dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Aryastina, 43, alias JRX SID kembali digelar secara tatap muka atau offline.
Dalam sidang kemarin, JPU menghadirkan empat saksi ahli. Yang menarik, Wahyu Aji Wibowo, 41, saksi ahli bahasa yang merupakan saksi kunci dalam kasus ini tak berdaya saat dicecar tim kuasa hukum JRX yang dimotori I Wayan “Gendo” Suardana.
Wahyu kerap kelabakan saat diberondong berbagai pertanyaan tentang bahasa, majas, dan makna kata. Sejak awal sidang, Gendo dkk juga sudah mempermasalahkan keahlian Wahyu sebagai saksi ahli.
Sebab, latar belakang Pendidikan S1 Wahyu adalah sastra Inggris, bukan bahasa Indonesia. Namun, hakim yang diketuai Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi tetap memberikan kesempatan pada Wahyu.
Alasannya Wahyu yang berstatus sebagai PNS di Balai Bahasa Provinsi Bali sudah sering menjadi saksi ahli di persidangan.
Sementara itu, JPU Otong Hendra Rahayu meminta keterangan Wahyu tentang postingan atau unggahan JRX pada 13 Juni yang menyebut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai kacung WHO.
“Berkaitan dengan rasa, apakah ada dampak subyektif dari kata kacung WHO,” tanya JPU Otong.
“Makna kacung yaitu pelayan atau pesuruh. Sedangkan makna pesuruh adalah orang yang disuruh-suruh. Sekarang kembali ke makna kata tersebut,” jelas Wahyu.
Menurut Wahyu, dari frasa “kacung WHO”, pihak yang dituju terdakwa yaitu IDI. Selain itu, “kacung WHO” juga bermakna menganggap bahwa IDI hanya sebagai pihak yang disuruh-suruh, sehingga ada unsur penghinaan dan pencemaran nama baik.
JPU Otong kemudian menanyakan makna kata “bubarkan IDI” yang ada dalam postingan JRX. Dijelaskan Wahyu, bubarkan adalah kata perintah atau keinginan dari penulis.
“Kata bubarkan bermakna IDI dibubarkan karena tidak penting,” tutur Wahyu. “Kalau makna emoticon babi?” lanjut Otong memancing ahli.
Wahyu mengungkapkan, jika dilihat dari postingan sebelumnya, ada rasa tidak menyukai terdakwa terhadap IDI, kemudian muncul emoticon babi.
“Karena babi selain bermakna binatang, juga menunjukkan ungkapan kasar,” beber pria asal Banyumas, Jawa Tengah, itu.
Akibat postingan itu bisa menimbulkan atau membangkitkan kebencian atau rasa tidak suka terhadap sesuatu.
Jaksa kemudian menyoal postingan JRX pada 15 Juni yang menyebut ada konspirasi kematian dokter. Jaksa menanyakan makna konspirasi pada ahli.
“Konspirasi adalah persekongkolan. Terdakwa memiliki tujuan bahwa Covid-19 tidak setakut yang dibayangkan,” terang Wahyu.
“Apakah ini bermakna pencemaran nama baik?” sambung Otong. “Iya,” jawab Wahyu singkat. JPU kemudian menyoal kalimat tidak akan berhenti menyerang IDI yang ditulis terdakwa.
Dikatakan Wahyu, menyerang bermakna sebagai pihak yang harus dilawan. Namun, giliran ditanya oleh Sugeng Teguh Santoso, anggota pengacara JRX, Wahyu tidak selancar saat menjawab pertanyaan JPU.
“Coba ahli sebutkan, makna selain kacung yang memiliki nilai rasa lebih tinggi. Apakah pembantu?” tanya Sugeng memancing.
Wahyu menggelengkan kepala. Katanya, kata pembantu tidak memiliki makna dan nilai rasa lebih tinggi dari kacung.
“Lalu apa?” kejar Teguh. Wahyu terdiam. “Saya tidak bisa menjelaskan sinonim (padanan kata) dari kacung,” jawab Wahyu.
Sontak hal itu langsung menjadi pintu masuk Sugeng menggempur Wahyu. Termasuk kredebilitas Wahyu sebagai ahli. Namun, Wahyu memiliki argumen.
Dikatakan, dirinya melihatnya makna postingan terdakwa secara kronologi dari postingan sebelumnya. “Selain itu, kata juga harus dimaknai sesuai konteks,” dalih Wahyu.
Sugeng menanyakan gaya bahasa seseorang berbeda karena latar belakangnya berbeda. Terdakwa terkesan kasar karena sebagai musisi aliran cadas.
“Terdakwa ini meminta penjelasan karena gayanya cadas sebagai musisi yang cadas,” tegas Sugeng.
Tapi, Wahyu tidak melihat sebagai gaya bahasa. Namun melihatnya secara kontekstual. Terdakwa memiliki rasa benci atau tidak suka terhadap IDI.
Gendo kemudian menanyakan jenis majas atau gaya bahasa. Di antaranya majas hiperbola dan ironi. Namun, Wahyu tidak bisa menjelaskan detail.
Wahyu mengaku terus terang tidak menguasai majas karena majas biasanya digunakan dalam sastra. Sedangkan dirinya mendalami linguistik.
“Kalau emoticon babi apakah kasar? Babinya ini cute (lucu). Wajah saya lebih seram daripada emoticon babi ini,” seloroh Gendo disambut tawa seisi ruangan. “Kembali lagi sesuai konteks,” jawab Wahyu.