SINGARAJA – Rencana pembangunan bandara Bali Utara seperti yang digolkan Pemprov Bali, tampaknya, tak berjalan dengan mulus.
Setelah sebelumnya polemik lokasi bandara di Desa/Kecamatan Kubutambahan menuai kontroversi, opsi kedua lokasi bandara di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, menuai hal serupa.
Masyarakat Desa Sumberklampok menolak rencana pembangunan bandara Bali Utara di wilayah mereka lantaran lahan yang akan digunakan masih berstatus konflik agraria.
Untuk meredam penolakan warga, Gubernur Bali Wayan Koster mengundang perwakilan warga ke rumah jabatan Jaya Saba di Denpasar.
Yang aneh, semua undangan tak boleh bawa HP di dalam ruangan. HP diharus dititip agar tidak ada pengambilan gambar foto dan merekam isi pertemuan.
Ketua Tim 9 Penyelesaian Tanah di Desa Sumberklampok, Putu Artana mengakui beberapa tokoh desa dan anggota tim 9 memang diundang oleh Gubenur Bali pada Selasa (13/10) lalu.
Dalam pertemuan tersebut, kata Artana, Gubenur Bali Wayan Koster menegaskan bahwa lokasi bandara Bali Utara bakal berada di Desa Sumberklampok.
Keputusan tersebut diambil menindaklanjuti instruksi Presiden Jokowi. Sebelumnya terlontar beberapa alasan lokasi bandara tidak lagi di Desa Kubutambahan.
Salah satunya lantaran adanya konflik. “Maka lokasinya di pindah ke barat di Desa Sumberklampok. Ya, kami tolak rencana itu sebelum permohonan masyarakat
kami diselesaikan yakni janji gubernur akan memberikan komposisi pembagian lahan 70 untuk warga dan 30 provinsi,” papar Artana.
Artana mengaku tim sembilan adalah bentukan kepala desa setempat yang dibentuk untuk mendata persoalan terkait persoalan lahan di Desa Sumberklampok.
Anggotanya terdiri dari Misnawi, Kadek Sukaradana, Ketut Witra, Putu Artana, Wayan Wira, Abusyairi, Jro Nengah Nadia (Kelian Adat), Syahrawi dan Ketut Gendra.
Mewakili warga, tim 9 kompak menolak pembangunan bandara di Desa Sumberklampok. “Kami tegas menolak,” bebernya.
Menurut Artana, lahan di Desa Sumberklampok seluas 600 hektare yang berasal dari lahan eks HGU dengan luas 200 hektare.
Unit dua dikuasai PT. Margarana seluas 267 hektare dan unit 3 seluas 151 hektare. Versi Gubernur Koster, lahan untuk bandara seluas 360 hektare.
Dengan ketentuan warga akan direlokasi kesisi selatan dari lahan yang ditempati sekarang. “Yang kami sayangkan gubernur menyebut keberadaan kami
di Desa Sumberklampok ilegal. Padahal PT Margarana berdiri tahun 1982 jauh setelah warga mendiami lahan tersebut,” sesalnya.
Intinya menurut Artana, suara penolakan dari masyarakat sudah mulai terdengar meluas dan ini akan membesar sesuai perkembangan yang berlangsung.
Artana menambahkan, warga menyesalkan tak ada sosialisasi soal pembangunan Bandara Bali Utara di wilayah barat.
“Di desa tadi pagi, sudah ribut-ribut lantaran ada sejumlah pekerja yang mengambil foto udara lahan milik warga tanpa ada surat ijin dari dinas terkait. Bahkan, tidak meminta ijin ke desa,” katanya.
“Kami tanya petugas tersebut soal ijin dari dinas atau BPN. Malah surat tugas diberikan dari PT. PP (Persero) Tbk tempat asal mereka bekerja. Ya terpaksa kami usir, karena main ukur lahan kami tanpa persetujuan warga,” ungkapnya.
Selain itu, ternyata ada juga petugas lainnya yang datang dari PT. Tata Guna Patria Konsultan yang ingin melakukan pengeboran tanah di lahan milik warga.
Mungkin mereka ingin mengetahui struktur dan kondisi tanah. Petugas tersebut hanya menunjukkan surat tugas. Namun, tak mengantongi ijin resmi dari dinas terkait lainnya.
“Kami juga lakukan pengusiran. Ini mau bangun Bandara Bali Utara sosialisasi sama sekali tak ada kepada warga, tapi main ukur dan bor lahan garapan warga,” tukasnya.