33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 12:49 PM WIB

Diinisiasi Seorang Transgender, Anak dan Orang Tua Antusias Belajar

Masa pandemi memaksa lembaga pendidikan formal tutup untuk sementara waktu. Proses pendidikan dan pembelajaran dilakukan secara daring.

Seorang transgender, memutuskan membuka les Bahasa Inggris gratis. Warga pun antusias. Keberadaan sekolah dadakan itu, seolah menjadi oase bagi orang tua yang kesulitan membantu pendidikan anak-anaknya.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

BANGUNAN berukuran 4×2 meter yang berada di tepi Tukad Buleleng itu terlihat biasa saja. Seolah seperti bangunan yang terbengkalai.

Sore itu, belasan anak tengah bermain di sekitar bangunan tersebut. Sayup-sayup dari dalam bangunan, terdengar suara anak-anak yang tengah belajar Bahasa Inggris.

Mereka tengah mempelajari Bahasa Inggris dasar. Seperti good morning yang berarti selamat pagi, thank you yang berarti terima kasih.

Termasuk beberapa kata ganti untuk merepresentasikan orang. Bangunan itu rupanya digunakan sebagai ruang kelas belajar bahas inggris.

Kelas belajar itu dibentuk oleh seorang transgender, Sisca Dharma De Panggabean, 42. Kelas baru didirikan pada Senin (19/10) pekan lalu.

Dalam waktu singkat, kelas belajar itu menjadi magnet bagi anak-anak yang tinggal di sekitar Kelurahan Banjar Bali. Utamanya yang tinggal di Lingkungan Kalibaru dan Tegal Mawar.

Total sudah ada 60 orang anak yang bergabung dalam kelas tersebut. Mereka dibagi kedalam 5 kelas berbeda.

Masing-masing disebut apple class (kelas yang paling dasar), mango class, strawberry class, jackfruit class, dan youth class.

Masing-masing kelas berisi maksimal 15 orang anak. Mereka akan mengikuti proses pembelajaran tiga kali dalam sepekan.

Jelang proses pembelajaran dilakukan, seperti biasa standar protokol kesehatan harus diberlakukan. Anak-anak diwajibkan membawa masker.

Kalau toh ada yang tak mengenakan masker, Sisca sudah menyiapkan masker cadangan. Sisca mengatakan, dirinya mengajar Bahasa Inggris pada anak-anak setempat, karena merasa terpanggil.

Selama masa pandemi, ia melihat banyak anak-anak yang bermain di dekat rumahnya. Sementara orang tua mereka tak bisa berbuat banyak.

Lantaran kewalahan mengurus rumah tangga, pontang-panting mencari penghasilan saat ekonomi sulit, ditambah lagi harus membantu proses pembelajaran sang anak.

Proses pembelajaran secara daring juga dianggap kurang efektif. Hampir tiap malam, ada saja anak dan orang tua datang ke rumahnya meminta akses internet gratis.

Saat orang tua mendampingi anaknya, orang tua kerap kurang sabar. Bahkan ada pula orang tua yang tak begitu paham dengan materi yang dipelajari sang anak.

“Makanya dari sana yang berpikir, bagaimana kalau saya juga membantu mengajar. Kalau pelajaran lain mungkin saya tidak terlalu mampu.

Tapi, saya bisanya Bahasa Inggris yang saya pelajari otodidak, ya sudah itu saja yang saya ajarkan,” kata Sisca.

Ia pun berbicara dengan para orang tua, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintahan setempat. Semuanya memberikan respons positif.

Lewat bendera Mami Sisca Centre, ia bergerilya mencari donatur. Sejumlah nama memberikan bantuan berupa materi, alat pembelajaran, papan tulis, spidol, hingga tenaga untuk menata bangunan tersebut.

Tepat pada Senin, 16 Oktober lalu, kelas pertama dibuka. Anak-anak pun antusias datang. Orang tua pun semangat mengantarkan anak-anaknya ke kelas belajar itu.

Tak jarang anak-anak datang dengan membawa sebuah kado yang diberikan pada Sisca. Kado itu berisi permen dan cokelat.

Saat Sisca mengajar, anak-anak pun bersedia mengikuti dengan serius. Lazimnya mengajar anak-anak, kelas selalu riuh dengan canda anak-anak.

Namun, saat Sisca berkata “fokus”, kelas langsung sepi. Anak-anak akan tenang dan kembali menyimak pelajaran.

Apabila masih membandel, Sisca akan mengeluarkan suara baritone. Bila sudah begitu, kelas sudah pasti tenang.

“Namanya ngajar anak-anak ya memang harus ekstra sabar. Tapi selama ini sih anak-anak selalu nurut sama mami. Karena memang mereka selama ini sering main di sekitar rumah mami,” ujarnya.

Sisca menuturkan dalam proses pembelajaran itu, ada 5 kelas yang berbeda. Masing-masing memiliki tingkatan yang berbeda.

Untuk apple class misalnya. Kelas ini diisi oleh anak berusia 7-8 tahun. Untuk kelas ini, anak-anak hanya diajari kata-kata dasar.

Tiap kali pertemuan, seorang anak ditargetkan bisa memahami 5 kata dan bisa hapal 2 kata diantaranya. Semakin tinggi kelas yang diampu, maka tuntutannya akan makin tinggi juga.

Kelas tertinggi ialah youth class. Kelas ini biasanya diisi oleh anak-anak yang duduk di bangku SMP. Siswa pada kelas ini sudah diajari konsep percakapan secara sederhana.

“Harapannya nanti kan mereka ini bisa paham dan bicara Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada kok turis suka main kesini. Biar anak-anak ini bisa ngomong juga kalau diajak bicara sama turis,” ujarnya.

Selama dua pekan terakhir membuka kelas belajar, Sisca mengaku belum menghadapi kesulitan yang berarti.

Operasional kelas belajar, ia sisihkan dari jasa membaca kartu tarot yang ia buka. Namun untuk jangka panjang, ia sangat berharap ada guru pendamping.

“Siapa tahu ada relawan, dengan sangat senang hati saya terima. Rencananya sih saya mau ajak mahasiswa bahasa inggris di Undiksha, biar mau membantu juga di sini. Bisa membantu satu atau dua kelas, itu membantu sekali,” harap Sisca.

Salah seorang siswa di kelas belajar itu ialah Putu Zivara, 8. Pelajar yang kini menempuh pendidikan di SD Dana Punia Singaraja itu, mengaku nyaman belajar di sana. “Iya senang. Soalnya, gurunya baik,” kata Zivara.

Orang tua Zivara, Dwi Handayani pun mendukung anaknya belajar di sana. Ia menyempatkan waktu mengantar dan menjemput anaknya, ke kelas sederhana itu.

Kelas belajar itu dianggap sangat membantu proses pembelajaran saat pandemi. “Memang sih ada kelas online.

Tapi, anak kadang agak lama menangkap pelajaran. Belum lagi masalah sinyal. Ini baru dua minggu ikut kelas, sudah ada lah perkembangan,” tuturnya. (*)

Masa pandemi memaksa lembaga pendidikan formal tutup untuk sementara waktu. Proses pendidikan dan pembelajaran dilakukan secara daring.

Seorang transgender, memutuskan membuka les Bahasa Inggris gratis. Warga pun antusias. Keberadaan sekolah dadakan itu, seolah menjadi oase bagi orang tua yang kesulitan membantu pendidikan anak-anaknya.

 

EKA PRASETYA, Singaraja

BANGUNAN berukuran 4×2 meter yang berada di tepi Tukad Buleleng itu terlihat biasa saja. Seolah seperti bangunan yang terbengkalai.

Sore itu, belasan anak tengah bermain di sekitar bangunan tersebut. Sayup-sayup dari dalam bangunan, terdengar suara anak-anak yang tengah belajar Bahasa Inggris.

Mereka tengah mempelajari Bahasa Inggris dasar. Seperti good morning yang berarti selamat pagi, thank you yang berarti terima kasih.

Termasuk beberapa kata ganti untuk merepresentasikan orang. Bangunan itu rupanya digunakan sebagai ruang kelas belajar bahas inggris.

Kelas belajar itu dibentuk oleh seorang transgender, Sisca Dharma De Panggabean, 42. Kelas baru didirikan pada Senin (19/10) pekan lalu.

Dalam waktu singkat, kelas belajar itu menjadi magnet bagi anak-anak yang tinggal di sekitar Kelurahan Banjar Bali. Utamanya yang tinggal di Lingkungan Kalibaru dan Tegal Mawar.

Total sudah ada 60 orang anak yang bergabung dalam kelas tersebut. Mereka dibagi kedalam 5 kelas berbeda.

Masing-masing disebut apple class (kelas yang paling dasar), mango class, strawberry class, jackfruit class, dan youth class.

Masing-masing kelas berisi maksimal 15 orang anak. Mereka akan mengikuti proses pembelajaran tiga kali dalam sepekan.

Jelang proses pembelajaran dilakukan, seperti biasa standar protokol kesehatan harus diberlakukan. Anak-anak diwajibkan membawa masker.

Kalau toh ada yang tak mengenakan masker, Sisca sudah menyiapkan masker cadangan. Sisca mengatakan, dirinya mengajar Bahasa Inggris pada anak-anak setempat, karena merasa terpanggil.

Selama masa pandemi, ia melihat banyak anak-anak yang bermain di dekat rumahnya. Sementara orang tua mereka tak bisa berbuat banyak.

Lantaran kewalahan mengurus rumah tangga, pontang-panting mencari penghasilan saat ekonomi sulit, ditambah lagi harus membantu proses pembelajaran sang anak.

Proses pembelajaran secara daring juga dianggap kurang efektif. Hampir tiap malam, ada saja anak dan orang tua datang ke rumahnya meminta akses internet gratis.

Saat orang tua mendampingi anaknya, orang tua kerap kurang sabar. Bahkan ada pula orang tua yang tak begitu paham dengan materi yang dipelajari sang anak.

“Makanya dari sana yang berpikir, bagaimana kalau saya juga membantu mengajar. Kalau pelajaran lain mungkin saya tidak terlalu mampu.

Tapi, saya bisanya Bahasa Inggris yang saya pelajari otodidak, ya sudah itu saja yang saya ajarkan,” kata Sisca.

Ia pun berbicara dengan para orang tua, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintahan setempat. Semuanya memberikan respons positif.

Lewat bendera Mami Sisca Centre, ia bergerilya mencari donatur. Sejumlah nama memberikan bantuan berupa materi, alat pembelajaran, papan tulis, spidol, hingga tenaga untuk menata bangunan tersebut.

Tepat pada Senin, 16 Oktober lalu, kelas pertama dibuka. Anak-anak pun antusias datang. Orang tua pun semangat mengantarkan anak-anaknya ke kelas belajar itu.

Tak jarang anak-anak datang dengan membawa sebuah kado yang diberikan pada Sisca. Kado itu berisi permen dan cokelat.

Saat Sisca mengajar, anak-anak pun bersedia mengikuti dengan serius. Lazimnya mengajar anak-anak, kelas selalu riuh dengan canda anak-anak.

Namun, saat Sisca berkata “fokus”, kelas langsung sepi. Anak-anak akan tenang dan kembali menyimak pelajaran.

Apabila masih membandel, Sisca akan mengeluarkan suara baritone. Bila sudah begitu, kelas sudah pasti tenang.

“Namanya ngajar anak-anak ya memang harus ekstra sabar. Tapi selama ini sih anak-anak selalu nurut sama mami. Karena memang mereka selama ini sering main di sekitar rumah mami,” ujarnya.

Sisca menuturkan dalam proses pembelajaran itu, ada 5 kelas yang berbeda. Masing-masing memiliki tingkatan yang berbeda.

Untuk apple class misalnya. Kelas ini diisi oleh anak berusia 7-8 tahun. Untuk kelas ini, anak-anak hanya diajari kata-kata dasar.

Tiap kali pertemuan, seorang anak ditargetkan bisa memahami 5 kata dan bisa hapal 2 kata diantaranya. Semakin tinggi kelas yang diampu, maka tuntutannya akan makin tinggi juga.

Kelas tertinggi ialah youth class. Kelas ini biasanya diisi oleh anak-anak yang duduk di bangku SMP. Siswa pada kelas ini sudah diajari konsep percakapan secara sederhana.

“Harapannya nanti kan mereka ini bisa paham dan bicara Bahasa Inggris. Kadang-kadang ada kok turis suka main kesini. Biar anak-anak ini bisa ngomong juga kalau diajak bicara sama turis,” ujarnya.

Selama dua pekan terakhir membuka kelas belajar, Sisca mengaku belum menghadapi kesulitan yang berarti.

Operasional kelas belajar, ia sisihkan dari jasa membaca kartu tarot yang ia buka. Namun untuk jangka panjang, ia sangat berharap ada guru pendamping.

“Siapa tahu ada relawan, dengan sangat senang hati saya terima. Rencananya sih saya mau ajak mahasiswa bahasa inggris di Undiksha, biar mau membantu juga di sini. Bisa membantu satu atau dua kelas, itu membantu sekali,” harap Sisca.

Salah seorang siswa di kelas belajar itu ialah Putu Zivara, 8. Pelajar yang kini menempuh pendidikan di SD Dana Punia Singaraja itu, mengaku nyaman belajar di sana. “Iya senang. Soalnya, gurunya baik,” kata Zivara.

Orang tua Zivara, Dwi Handayani pun mendukung anaknya belajar di sana. Ia menyempatkan waktu mengantar dan menjemput anaknya, ke kelas sederhana itu.

Kelas belajar itu dianggap sangat membantu proses pembelajaran saat pandemi. “Memang sih ada kelas online.

Tapi, anak kadang agak lama menangkap pelajaran. Belum lagi masalah sinyal. Ini baru dua minggu ikut kelas, sudah ada lah perkembangan,” tuturnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/