Maestro seni rupa Bali, Made Wianta telah tutup usia Jumat lalu (13/11). Namun, sosok perupa kelahiran 20 Desember 1949 tergolong diperhitungkan di kancah medan global.
Tak heran, karya-karya perupa asal Apuan, Baturiti, Tabanan ini kerap meramaikan sejumlah pameran di kancah lokal, nasional dan bahkan internasional. Seperti apa?
MADE DWIJA PUTRA, Denpasar
SOSOK Made Wianta adalah seniman yang sangat disiplin dan juga tegas. Ia berkarya tidak hanya sekadar berkarya, melainkan karya-karyanya memiliki nilai, kekuatan dan keunggulan.
Tak heran, karya-karyanya juga kerap dipamerkan di dalam maupun luar negeri. Selain itu juga kerap diberikan berbagai penghargaan.
Seperti penghargaan Honorary Professor dari Academico Internationale Greci-Marino, Italia (1996), The Most Admired Man of Decade dari American Biographical Institute (1997),
penghargaan “Dharma Kusuma” dari Pemerintah Provinsi Bali (1998), The Longest Handwritten Poem Writer Award dari MURI (2000), serta Ajeg Bali Figure Award dari HIPMI (2003) dan masih banyak lagi.
Kadisbud Bali Prof Dr I Wayan Kun Adnyana mengatakan, sering diajak diskusi, sering juga menulis resensi dan artikel terkait karya-karya Made Wianta.
Ia sosok ramah dan luwes dalam bergaul. Kekuatan dan keteguhan kesenimanan Made Wianta juga karena kehadiran sosok istrinya Ibu Intan Wianta.
“Made Wianta merupakan sosok avant garde, dengan bangunan konsep dan praktik seni yang universal sekaligus lokal Bali.
Telah berproses sangat panjang, dari periode Karangasem yang berangkat dari tradisi rajah, geometrik, kaligrafi, hingga seni media baru dan seni konsep,” jelas Kun Adnyana.
Kata dia, Made Wianta banyak menghasilkan karya monumental, seperti Art and Peace, Dream Land (refleksi Bom Bali), dan Run tentang kekayaan rempah Nusantara.
“Dia juga merupakan sosok yang utuh dalam kesenimanan yakni kreatif, produktif, cerdas dalam membangun konsep, dan luas dalam merajut jaringan medan seni dunia, tidak saja lokal, nasional, tetapi juga internasional, ” bebernya.
Hal serupa dilontarkan kurator seni rupa Wayan Seriyoga Parta. Menurutnya, sosok Wianta adalah seorang maestro seni rupa Bali yang sangat eksplorasinya sangat kompleks.
Menyelami nilai-nilai tradisi Bali menjadikannya representasi yang melampaui batasan konvensi seni rupa.
Karya – karyanya melintasi batas medium dan estetika, melampaui kategori seni rupa modern dan kontemporer.
“Terobosan Wianta membawa seni rupa Bali mencapai apresiasi global. Dia penuh dengan inisiatif tidak mau menunggu untuk dibaca,
bahkan mengundang kritikus internasional dari Amerika untuk membaca dan membedah karya-karyanya, ” jelasnya.
Begitu juga dari sastrawan, I Wayan “Jengki” Sunarta. Jengki mengatakan, Wianta adalah sosok maestro yang ramah dan bersahabat kepada semua kalangan seniman, tidak hanya seni rupa.
Wianta peduli pada bidang seni lain seperti sastra, musik, teater, dan lainnya. Bahkan juga sering membantu penerbitan buku puisi atau pementasan teater.
Bahkan, juga suka menyemangati anak-anak muda untuk tekun berkesenian dan eksplorasi bidang seni yang digelutinya.
“Beliau kawan diskusi yang asik dan menginspirasi bagi kalangan seniman. Pergaulan beliau lintas seni dan pengetahuannya sangat luas dalam bidang seni, ” bebernya.
Kerabat dekatnya, Yudha Bantono mengatakan, Wianta itu orang yang tidak bisa diam. Selalu hidupnya penuh kegelisahan tapi gelisahnya kreatif.
Ia sudah mendampingi di berbagai tempat dan berbagai proyek. Misalnya bagaimana Wianta meneliti tentang air yakni air di Bali sampai air di Eropa. Jadi dia meneliti peradaban air.
“Dia betul-betul sebagai seorang saintis. Itu yang mendidik kedekatan seni dan ilmu Wianta. Dia tidak membuat proyek seni sebatas omong kosong dan tidak hanya mengejar
keindahan tetapi karyanya memiliki nilai, kekuatan dan keunggulan. Dia orang yang ingin tahu, dia membaca buku, melihat dan mengunjungi, ” beber Yudha Bantono.
Ia mencontohkan, misalnya tentang garis dan bidang, dia belajar tentang arsitektur. Begitu juga berbicara rempah-rempah nusantara langsung dipelajari rempah-rempah.
Bahkan, jauh sebelumnya telah membuat instalasi kapal sehingga menghasilkan proyek dan bukunya akan dilaunching tahun tentang sejarah perdagangan rempah Nusantara di Pulau Run.
Selain itu, dia selalu berkarya atas nama Indonesia, nasionalisme yang luar biasa. Ketika diundang pameran di Jepang, pameran di Tokyo station gallery, Wianta membawa nama Indonesia.
Selain itu, Wianta pernah menyumbangkan karyanya yang harganya miliaran rupiah di New York untuk peduli HIV/AIDS.
“Dia sudah menyumbang, dia bagian orang Indonesia yang peduli terhadap korban HIV/AIDS. Secara nasionalis dia betul-betul ingin membawa bangsanya sejajar dengan seniman yang lain.
Pertarungannya dia buktikan dengan reputasi dan pameran internasional. Dari semua yang dilakukan semua dikemas melalui buku-buku yang dihasilkan.
Dia sudah sadar ruang literasi, dia sudah melakukan lebih awal. Hebatnya lagi buku Wianta di publish Times Edition. Itu tidak gampang di publish Times Edition, ” jelasnya.
Lebih lanjut, dari jejak Wianta di medan seni rupa, tentu ini seharusnya dapat menginspirasi bagi pelukis muda.
Ketika berkarya jangan hanya menjadi sebuah keindahan dan membanggakan diri tapi juga membanggakan bangsanya.
“Saya rasa perlu dicontoh oleh seniman muda, pencapaian tidak seperti membalikkan tangan tapi kerja keras.
Sampai menjelang hanyatnya dia masih berkarya, dia tetap berkarya. Sebab dia seorang disiplin dan tegas,” tandasnya.
Namun, sebelum akhir hayatnya, ia sejatinya menginginkan dua proyeknya bisa terealisasi yakni memamerkan dan mempublikasikan proyek tentang Sungai Rhein di Basel, Swiss.
Ini adalah pemikiran Wianta terhadap peradaban air. Sebab, di Bali air sebuah kesucian atau bagian penting dalam ritual serta bagi umat manusia.
Proyek kedua, yakni ingin memamerkan dan mempublish buku Buried In Oblivion The Lost History Of Indonesia’s Spice Islands tentang sejarah rempah Nusantara.
“Sebelum akhir hayat dia ingin memamerkan dan mempublikasikan proyek itu. Ini amanah buat saya dan keluarganya untuk merealisasikan itu, ” pungkasnya. (*)