SEMARAPURA – Melanggar Perarem Pura Dalem Digde dan Perarem Desa Adat Gelgel, dua bangunan semi permanen yang berada
di Jalan Raya Gandamayu, Dusun Minggir, Desa Adat Gelgel diminta untuk dibongkar dan dikembalikan fungsinya sebagai lahan hijau.
Pembongkaran bangunan warung dan gudang rongsokan itu diberikan batas waktu hingga dua bulan. Bila tidak diindahkan, maka pemilik bangun akan dikena sanksi adat.
Sekretaris Desa Adat Gelgel I Gede Eka Sumaya Putra menuturkan, berdasar Perarem Pura Dalem Digde dan Perarem Desa Adat Gelgel, dilarang ada bangunan yang berdiri kurang 50 meter dari Pura Dalem Digde.
Meski lupa kapan perarem itu dibuat, menurutnya perarem itu sudah ada cukup lama dan para pemilik lahan yang ada di sekitar pura telah mengetahui hal itu.
“Dan tanah itu bukan tanah peruntukan untuk pembangunan rumah. Itu ada suratnya dari PU yang tidak mengizinkan untuk alih fungsi lahan untuk pembangunan rumah,” terangnya.
Hanya saja ada pemilik lahan yang lahannya berjarak kurang 50 meter dari Pura Dalem Digde mengontrakkan tanahnya ke pihak lain.
Oleh pihak yang mengontrak itu, akhirnya dibangun gudang rongsokan sehingga tampak kumuh.
“Sehingga dengan adanya surat dari PU tersebut dan juga adanya perarem, pemilik bangunan diminta untuk membokar bangunannya. Itu juga sudah sesuai dengan kesepakatan para pihak yang sudah hadir dua hari lalu (17/11),” ungkapnya.
Sesuai kesepakatan, pemilik bangunan diberikan batas waktu dua bulan untuk melakukan pembongkaran.
Bila pemilik bangunan membandel maka akan diberikan sanksi adat. Lebih lanjut diungkapkannya, sebenarnya pemilik lahan telah ditegur saat pembangunan baru dimulai yang diawali dengan pemasangan patok.
Namun, teguran itu tidak diindahkan dan pemilik lahan tetap menyewakan lahannya sehingga bangunan semi permanen itu akhirnya berdiri dan telah dimanfaatkan selama satu bulan.
“Selain bangunan bedeng pemulung itu. Ada warung semi permanen yang juga berdiri di lahan kurang 50 meter dari pura itu sehingga kami juga minta untuk dibongkar dengan batas waktu dua bulan,” jelasnya.
Sementara itu, pemilik gudang rongsokan, Ketut Sukiarta, 60 asal Desa Sidemen, Karangasem menuturkan pihaknya tidak tahu sama sekali tentang peram itu.
Mengingat pemilik lahan yang ia kontrak itu tidak pernah menjelaskan hal tersebut dan bahkan mengizinkan ia untuk membangun sehingga berdirilah bangunan seperti saat ini.
Bila ia tahu tidak boleh membangun di tanah itu, tentunya ia tidak akan mengontrak tanah itu dan mendirikan bangunan di sana.
Sebab untuk mengontrak tanah yang luasnya dua ari itu ia harus mengeluarkan uang Rp 3 juta setahun.
“Saya juga masang listrik dengan biaya Rp 1,8 juta. Belum lagi biaya membangun. Dan uang itu saya dapatkan dari berhutang,” ungkapnya.
Meski berat, ia mengaku akan berusaha membongkar gudang rongsokannya itu sesuai batas waktu yang diberikan.
Namun, dia belum tahu akan pindah ke mana. Selain belum memiliki tempat pengganti, ia juga belum memiliki uang untuk pindah.
Sehingga besar harapannya ada kompensasi atau uang pengganti atas kerugian yang ia dapatkan itu.
“Saya, istri dan dua anak saya tinggal di sini (gudang rongsokan). Kalau mandi, biasanya saya ke sungai,” tandasnya.
Terkait keluhan pemilik bangunan itu, menurut Eka, pihak desa adat tidak bisa memberikan kompensasi itu.
Untuk itu ia mengharapkan pemilik lahan yang telah mendapatkan manfaat dari sewa lahan tersebut mengembalikan uang sewa sesuai dengan bulan yang tersisa.