SINGARAJA – Satuan Tugas (Satgas) Penenganan Covid-19 Buleleng membuka peluang membuka proses pembelajaran tatap muka lebih cepat dari rencana semula.
Menyusul terbitnya surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh empat menteri dalam Kabinet Indonesia Maju.
SKB itu ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes), Menteri Agama (Menag), serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng I Made Astika mengatakan, secara umum lembaga pendidikan di Buleleng sudah siap melaksanakan pertemuan tatap muka.
Hanya ada beberapa sekolah yang masih belum siap. Penyebabnya tempat cuci tangan yang belum memenuhi syarat.
“Kalau jumlah siswanya banyak, tempat cuci tangan kan harus banyak juga. Paling tidak satu wastafel itu untuk 20-30 orang siswa. Biar tidak berkerumun,” kata Astika.
Dengan terbitnya SKB 4 Menteri itu, otomatis tak harus menunggu zona kuning atau zona hijau untuk membuka sekolah. Namun tergantung dari kesiapan fasilitas yang tersedia di sekolah.
Hal itu juga dipengaruhi dengan temuan kasus di desa/kelurahan tempat sekolah itu berada.
“Kalau sekolah dibuka, yang jelas tidak ada istirahat. Pertemuan tatap muka paling lama itu 2 jam. Setelah itu sudah selesai, pergantian shift.
Jarak antara shift pertama dengan shift kedua itu juga sekitar 2-3 jam. Agar tidak terjadi kerumunan orang tua saat antar-jemput,” imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Satgas Penanganan Covid-19 Buleleng Gede Suyasa mengatakan, Pemkab Buleleng siap mengikuti regulasi terbaru dari pusat.
“Tentu kami Satgas Kabupaten akan mengambil kebijakan berdasarkan analisa di lapangan,” kata Suyasa.
Suyasa menyebut, SKB 4 Menteri memberikan kewenangan penuh pada pemerintah daerah untuk menggelar pertemuan tatap muka atau tidak.
Menurutnya, pertemuan tatap muka bisa saja tak dilakukan secara serentak di seluruh kecamatan.
“Banyak desa tidak ada kasus selama ini. Mungkin saja bisa lebih awal. Secara regulasi ini kan ditetapkan oleh daerah. Ini bisa dipahami karena gerakan masyarakat dari satu desa ke desa lain sangat tinggi,” demikian Suyasa.