BENARLAH apa yang dikatakan Abraham Lincoln dulu, untuk menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan. Indonesia adalah gudang pembuktian terbaik bagi ujaran Presiden Amerika Serikat ke-16 tersebut.
Indonesia memang punya sejarah panjang tentang para politisi moralis yang kemudian tersandung kasus pornografi, zina, hingga korupsi.
Kader-kader dari partai politik nasionalis dan agamis, tersandung pada godaan yang sama, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Demikian pula antara partai politik (parpol) yang baru hadir dalam pemerintahan, seperti Partai Gerindra.
Edhy Prabowo, Ketua Partai Gerindra, adalah contoh terbaru. Belum genap setahun ketika ia menyatakan siap untuk memberantas korupsi di kementerian yang dipimpinnya.
Sebelumnya, Indonesia pernah punya pengalaman dengan Patrice Rio Capella, Sekjen Partai Nasdem, anggota DPR RI. Partai Nasdem saat itu juga hadir sebagai partai pendatang dalam pemerintahan.
Selama masih di luar sistem kekuasaan, parpol beserta kader-kadernya, yang lantang bicara panjang lebar soal reformasi dan restorasi, tetaplah belum teruji, semua masih sebatas wacana belaka.
Perkembangan Partai Politik
Ada beberapa definisi mengenai parpol. Carl J. Friedrich merumuskan, “Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir untuk merebut dan mempertahankan
para pemimpinnya dapat menguasai pemerintahan, dengan tujuan selanjutnya adalah untuk memberi keuntungan pada anggotanya.”
Sigmund Neumann, menjabarkan bahwa parpol adalah organisasi yang mengartikulasikan aktivitas politik masyarakat, dan berkompetisi untuk merebut simpati masyarakat.
Menurut Sartori, parpol adalah organisasi politik yang dapat secara sah hadir dalam pemilihan umum dengan menempatkan wakil-wakilnya untuk menduduki posisi tertentu.
Secara garis besar, parpol adalah jembatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.
Jembatan komunikasi yang menyerap aspirasi serta mensosialisasikan sebuah kebijakan dari pemerintah kepada masyarakat.
Pada titik ini, parpol modern memainkan peran penting dalam proses komunikasi, baik mengadakan diskusi publik, seminar, menulis artikel, mengelola media massa, dan sebagainya.
Baru pada abad 19, parpol mulai berubah menjadi penghubung antara masyarakat awam dengan pemerintah.
Sebagai lembaga politik, kemunculan parpol dapat ditelusuri pada sejarah Eropa Barat abad 18. Pada mulanya, parpol bekerja hanya pada masa pemilihan umum saja (Caucus Party).
Parpol kemudian berubah menjadi lembaga yang disebut Otto Kircheimer sebagai Catch All-Party, yang lebih dapat menyebarkan ide dan mengumpulkan massa berkat teknologi, khususnya televisi.
Partai politik juga berfungsi sebagai institusi rekrutmen, demi kepentingan internal, agar terjadi regenerasi dan mempunyai kader terbaik.
Kader parpol direkrut dan dilatih sedemikian rupa. Karena perbedaan dalam masyarakat membawa potensi konflik, parpol modern merekrut anggotanya dengan pertimbangan multikultural, multietnis, dan multi kepentingan golongan (Arend Lijphart, 1968).
Di sisi lain, terkadang parpol menggunakan konflik di masyarakat untuk mencapai tujuan mereka, meskipun hal tersebut dapat merusak stabilitas politik lokal maupun nasional.
Hal ini menjelaskan mengapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM – Non-Governmental Organization) dalam banyak hal, dianggap lebih mampu mewakili aspirasi kepentingan yang berkembang di masyarakat.
Beberapa kasus terkait pendidikan, perempuan dan anak, kemiskinan perkotaan, hingga lingkungan hidup, lebih banyak diadvokasi oleh kelompok-keleompok LSM ini.
Demikian pula dengan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU), yang merupakan inisiatif dan desakan dari kelompok kepentingan non parpol, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Korupsi
Dalam banyak kajian, setidaknya ada empat penyebab utama persoalan korupsi pejabat tinggi ini, yakni: pembiayaan partai politik di Indonesia;
biaya kontestasi pemilu yang mahal; kaderisasi dengan penekanan pemenangan pemilu dan pilkada; dan gaya hidup mewah.
Pertama, soal pembiayaan parpol, sebagai persoalan hulu. Sesuai aturan, ada tiga sumber pendanaan parpol; bantuan negara, iuran anggota, dan sumbangan pihak luar yang tidak mengikat.
Namun, ketiga sumber ini dirasa tak mencukupi kebutuhan parpol. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri menganggap pendanaan negara kepada parpol (sebagai institusi demokrasi yang paling strategis yang melakukan rekrutmen politik) sangatlah penting.
Bagi KPK, pembiayaan parpol oleh negara sangat diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan dan kepemimpinan parpol dari individu pemilik uang (oligarki elit parpol).
Kedua, soal biaya pemilu yang mahal. Ada dua sisi dalam konteks ini; sisi penyelenggara pemilu dan sisi peserta pemilu.
Pada sisi peserta pemilu, politik uang di lapangan dan mahar untuk dapat berkontestasi dalam pilkada, serta untuk mendapatkan nomor urut tertentu dalam pemilihan legislatif, cukup menguras kantong para peserta pemilu.
Sementara, dari sisi penyelenggara pemilu, sudah diupayakan untuk membuat proses kontestasi lebih murah dalam bentuk pemilu serentak.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak terhadap UU No 42/2008 tentang Pilpres, dengan alasan pemilu serentak lebih efisien dari segi waktu dan biaya.
Hal ini didukung pernyataan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, bahwa pemilu serentak bisa menghemat anggaran negara hingga 10 triliun rupiah.
Sedang berdasar hitungan politisi PDI Perjuangan, Arif Wibowo, keserentakan dapat menghemat hingga Rp 150 triliun atau sepersepuluh APBN dan APBD. Ini alasan dasar dari pemilu dan pilkada serentak.
Ketiga, soal kaderisasi yang lebih banyak menekankan pemenangan pemilu. Tak banyak kader parpol hadir dalam persoalan publik seperti dalam kasus pelecehan seksual dan perkosaan.
Juga pada kasus intoleransi pada pemeluk kepercayaan tertentu, dan kasus lainnya seperti lingkungan hidup.
Mereka seringkali absen pada proses advokasi, tidak hadir juga dalam proses pembentukan wacana (artikel, naskah akademik, dsb.) di media, sebagaimana fungsi parpol modern.
Parpol di Indonesia biasanya cepat tanggap hanya dalam keadaan darurat bencana. Parpol lebih banyak melakukan rekrutmen dari kalangan yang mempunyai dana besar dan popular (artis, selebritis, dsb.).
Tak heran jika kontestan pemilu diisi oleh mereka dari kalangan yang nihil pengalaman advokasi masyarakat, malahan sebaliknya, mempunyai rekam jejak hitam seperti korupsi dan pornografi.
Keempat, soal gaya hidup mewah. Di Indonesia, kepercayaan bahwa ganjaran gaji tinggi dapat mengecilkan potensi korupsi juga tak terbukti.
Fakta menunjukkan hal sebaliknya, koruptor berasal dari kalangan dengan gaji tinggi dan sederet fasilitas lainnya. Dari beberapa kasus korupsi, biasanya melibatkan barang-barang mewah, seperti jam tangan Rolex.
Meskipun ada banyak kekecewaan pada parpol dan kader-kadernya, tapi menghilangkan eksistensi parpol tidak membuat situasi demokrasi berjalan lebih baik.
Salah satu pilihan yang bisa diambil oleh publik yang kecewa dan tak percaya pada partai politik yang sudah ada ialah dengan membentuk partai politik, dengan visi misi serta komitmen pada gerakan anti korupsi dan isu advokasi lainnya.
Namun, sekali lagi, ibarat lingkaran setan, sebaik apapun platform partai baru, mereka harus terlebih dulu diuji dalam lingkungan kekuasaan yang penuh godaan. Dan dibutuhkan banyak biaya untuk dapat masuk ke dalam kekuasaan.
Joaquim Rohi
Political Science, RUDN University, Moscow – Russia