29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:25 AM WIB

Tak Masalah Galungan di Pengungsian, PHDI: Tak Bakal Mengurangi Makna

RadarBali.com – Merayakan Galungan dan Kuningan di lokasi pengungsian sama sekali tidak mengurangi makna hari suci tersebut.

Ditilik dari makna, perayaan di pengungsian sama artinya dengan di tempat atau rumah masing-masing. Penegasan ini disampaikan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Prof. I Gusti Ngurah Sudiana, kemarin.

Menyikapi status awas Gunung Agung, Sudiana menyebut PHDI telah mengeluarkan surat edaran terkait tata cara pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan di lokasi pengungsian.

“PHDI Bali mengimbau kepada masyarakat agar jangan ragu merayakan Galungan dan Kuningan di pengungsian,” ucapnya.

Menyoal surat edaran tantang tata cara upacara, Sudiana menjelaskan beberapa poin penting. Pertama, ngadegang Sanggah Surya untuk meletakkan persembahan dan sebagai salah satu sarana doa bersama.

Kedua, membuat penjor dua buah saja di lokasi pengungsian. Tepatnya di kiri-kanan di jalan keluar. Ketiga, pelaksanakan persembahyangan bisa dilakukan di Pura Desa setempat.

Untuk ini diimbau berkoordinasi dengan prajuru desa setempat. Keempat, bila ada sanggah-sanggah yang berkaitan dengan klan yang sama bisa juga berkoordinasi untuk melaksanakan persembahyangan di pura dimaksud.

“Sama sekali tidak kehilangan makna, tak kehilangan bakti, kehilangan sradha atau keyakinan jika melaksanakan upacara di pengungsian,” tegasnya.

Prof. Sudiana mengatakan hal tersebut mengacu pada larangan pemerintah kepada para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

“Kita dari PHDI mengimbau supaya masyarakat di pengungsian jangan pulang dulu ke rumah. Ikuti aturan yang dianjurkan pemerintah

sehingga masyarakat terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Ini yang paling penting diketahui masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa perayakan Galungan dan Kuningan tidak hanya mengutamakan persembahan, melainkan bagaimana mengubah perilaku.

“Dari tidak baik menjadi baik. Dari miskin menjadi kaya. Dari sedih menjadi gembira. Dari susah menjadi bahagia. Dari berseteru menjadi damai. Dari yang sakit menjadi sehat. Ini yang sebenarnya kita maknai,” bebernya.

Terkait sarana persembahyangan, Sudiana memastikan bisa disederhanakan. Merujuk pada tattwa dalam ajaran Hindu diulasnya bahwa sarana persembahyangan bisa disederhanakan.

“Sarana bisa satu untuk semua. Mungkin yang ingin ngaturang sodan (gebogan red) nanti bisa ditaruh di meja para leluhur.

Perayaan Galungan dan Kuningan di pengungsian bisa dilakukan dengan sangat sederhana, tetapi tidak mengurangi makna yang sesungguhnya.

Sudiana menyebut hal serupa terjadi 1963 silam. “1963 banyak warga juga mengungsi. Pas meletusnya itu penyajan Galungan. Sehingga mereka melaksanakan hari raya di pengungsian,” ungkapnya.

Bukti tersebut dirasa cukup untuk menegaskan bahwa tidak pantang melaksanakan Galungan dan Kuningan di pengungsian.

“Sama seperti masyarakat Bali yang merantau. Kan mereka merayakan Galungan dan Kuningan di luar desa. Sama sekali tidak mengurangi makna.

Yang terpenting adalah perubahan pola pikir, perilaku, kata-kata, dan pola hidup; mengarah ke lebih baik,” tegasnya.

RadarBali.com – Merayakan Galungan dan Kuningan di lokasi pengungsian sama sekali tidak mengurangi makna hari suci tersebut.

Ditilik dari makna, perayaan di pengungsian sama artinya dengan di tempat atau rumah masing-masing. Penegasan ini disampaikan Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Prof. I Gusti Ngurah Sudiana, kemarin.

Menyikapi status awas Gunung Agung, Sudiana menyebut PHDI telah mengeluarkan surat edaran terkait tata cara pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan di lokasi pengungsian.

“PHDI Bali mengimbau kepada masyarakat agar jangan ragu merayakan Galungan dan Kuningan di pengungsian,” ucapnya.

Menyoal surat edaran tantang tata cara upacara, Sudiana menjelaskan beberapa poin penting. Pertama, ngadegang Sanggah Surya untuk meletakkan persembahan dan sebagai salah satu sarana doa bersama.

Kedua, membuat penjor dua buah saja di lokasi pengungsian. Tepatnya di kiri-kanan di jalan keluar. Ketiga, pelaksanakan persembahyangan bisa dilakukan di Pura Desa setempat.

Untuk ini diimbau berkoordinasi dengan prajuru desa setempat. Keempat, bila ada sanggah-sanggah yang berkaitan dengan klan yang sama bisa juga berkoordinasi untuk melaksanakan persembahyangan di pura dimaksud.

“Sama sekali tidak kehilangan makna, tak kehilangan bakti, kehilangan sradha atau keyakinan jika melaksanakan upacara di pengungsian,” tegasnya.

Prof. Sudiana mengatakan hal tersebut mengacu pada larangan pemerintah kepada para pengungsi untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

“Kita dari PHDI mengimbau supaya masyarakat di pengungsian jangan pulang dulu ke rumah. Ikuti aturan yang dianjurkan pemerintah

sehingga masyarakat terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Ini yang paling penting diketahui masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa perayakan Galungan dan Kuningan tidak hanya mengutamakan persembahan, melainkan bagaimana mengubah perilaku.

“Dari tidak baik menjadi baik. Dari miskin menjadi kaya. Dari sedih menjadi gembira. Dari susah menjadi bahagia. Dari berseteru menjadi damai. Dari yang sakit menjadi sehat. Ini yang sebenarnya kita maknai,” bebernya.

Terkait sarana persembahyangan, Sudiana memastikan bisa disederhanakan. Merujuk pada tattwa dalam ajaran Hindu diulasnya bahwa sarana persembahyangan bisa disederhanakan.

“Sarana bisa satu untuk semua. Mungkin yang ingin ngaturang sodan (gebogan red) nanti bisa ditaruh di meja para leluhur.

Perayaan Galungan dan Kuningan di pengungsian bisa dilakukan dengan sangat sederhana, tetapi tidak mengurangi makna yang sesungguhnya.

Sudiana menyebut hal serupa terjadi 1963 silam. “1963 banyak warga juga mengungsi. Pas meletusnya itu penyajan Galungan. Sehingga mereka melaksanakan hari raya di pengungsian,” ungkapnya.

Bukti tersebut dirasa cukup untuk menegaskan bahwa tidak pantang melaksanakan Galungan dan Kuningan di pengungsian.

“Sama seperti masyarakat Bali yang merantau. Kan mereka merayakan Galungan dan Kuningan di luar desa. Sama sekali tidak mengurangi makna.

Yang terpenting adalah perubahan pola pikir, perilaku, kata-kata, dan pola hidup; mengarah ke lebih baik,” tegasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/