29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:37 AM WIB

Korupsi Rp 1,6 M, Kembalikan Rp 5 Juta, Artini Dituntut Paling Tinggi

DENPASAR – Trio koruptor LPD Desa Adat Kekeran, Abiansemal, Badung, yang merugikan negara Rp 5,2 miliar menjalani sidang tuntutan.

Ni Ketut Artani, eks sekretaris atau kolektor LPD mendapat tuntutan paling berat, yakni empat tahun penjara. 

Artani juga dituntut pidana denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan. Pertimbangan memberatkan tuntutan karena Artani menggunakan uang LPD sebesar Rp 1,6 miliar, tapi hanya mengembalikan Rp 5 juta. 

“Terdakwa Artani berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya,” ujar JPU Luh Heny F. Rahayu dalam sidang daring kemarin (22/12). 

Selain itu, terdakwa Artani juga dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara sekitar Rp 1,9 miliar.

Apabila tidak membayar dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang.

Jika tidak memiliki harta benda diganti dengan pidana penjara selama dua tahun. Sedangkan mantan ketua LPD periode 1997-2017, I Wayan Suamba dan I Made Winda Widana selaku sekretaris dituntut lebih ringan, hanya 1,5 tahun penjara. 

Keduanya mendapat tuntutan ringan karena mengaku bersalah dan menyesal. Selain itu, terdakwa Suamba juga telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 1.013.000.000,

meskipun terdapat tunggakan sebesar Rp 754.303.171, dari nilai kerugian Rp 1,7 miliar yang dinikmati Suamba. 

Terdakwa Widana juga telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar. Keduanya juga tidak dituntut lagi pertanggungjawabannya oleh krama Desa Adat Kekeran. 

“Para terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP,” tandas JPU Heny. 

Ketiga terdakwa menilap keuangan LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung tahun 2016-2017. Para terdakwa mengambil uang dengan cara membuat kredit fiktif. 

Terhadap tuntutan jaksa, para terdakwa yang didampingi penasihat hukumnya menyatakan akan mengajukan pembelaan tertulis.

Hakim Angeliky Handajani Day yang memimpin persidangan memberi waktu tiga pekan. Kasus ini muncul saat digelar paruman agung atas laporan pertanggungjawaban pengurus LPD periode 1 Januari 2016 – 31 Mei 2017.

Namun, masyarakat menolak laporan yang dibuat terdakwa Suamba bersama Artani dan Winda Widana.

Masyarakat menolak lantaran laporan tersebut tidak ditandatangani seluruh pengurus LPD dan Ketua Badan Pengawas periode sebelumnya, yaitu Ida Bagus Made Widnyana.

Sementara bendesa adat yang baru, I Made Wardana meminta I Gusti Komang Pernawa Pandit membuat sistem komputerisasi terkait administrasi LPD.

Di luar dugaan, Pandit menemukan selisih atau ketimpangan antara neraca yang dibuat menggunakan aplikasi komputer dengan pencatatan neraca manual.

Ketimpangan tersebut meliputi tabungan, kredit, deposito, dan kas bank. Buku tabungan yang dipegang oleh nasabah berbeda jumlahnya dengan kartu primanota yang ada di LPD.

Nominal pada buku tabungan yang dipegang nasabah rata-rata lebih besar daripada kartu primanota LPD. 

Sementara pada kredit ditemukan pemberian kredit tidak sesuai prosedur, baik dari administrasi, jaminan, dan tandatangan.

Selain itu, adanya kredit fiktif, di mana ada nama nasabah yang tertera dalam daftar pinjaman di LPD. Namun saat dilakukan pengecekan lapangan ternyata yang bersangkutan tidak pernah mengajukan kredit. 

DENPASAR – Trio koruptor LPD Desa Adat Kekeran, Abiansemal, Badung, yang merugikan negara Rp 5,2 miliar menjalani sidang tuntutan.

Ni Ketut Artani, eks sekretaris atau kolektor LPD mendapat tuntutan paling berat, yakni empat tahun penjara. 

Artani juga dituntut pidana denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan. Pertimbangan memberatkan tuntutan karena Artani menggunakan uang LPD sebesar Rp 1,6 miliar, tapi hanya mengembalikan Rp 5 juta. 

“Terdakwa Artani berbelit-belit dalam memberikan keterangan dan tidak mengakui perbuatannya,” ujar JPU Luh Heny F. Rahayu dalam sidang daring kemarin (22/12). 

Selain itu, terdakwa Artani juga dibebankan membayar uang pengganti kerugian negara sekitar Rp 1,9 miliar.

Apabila tidak membayar dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang.

Jika tidak memiliki harta benda diganti dengan pidana penjara selama dua tahun. Sedangkan mantan ketua LPD periode 1997-2017, I Wayan Suamba dan I Made Winda Widana selaku sekretaris dituntut lebih ringan, hanya 1,5 tahun penjara. 

Keduanya mendapat tuntutan ringan karena mengaku bersalah dan menyesal. Selain itu, terdakwa Suamba juga telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 1.013.000.000,

meskipun terdapat tunggakan sebesar Rp 754.303.171, dari nilai kerugian Rp 1,7 miliar yang dinikmati Suamba. 

Terdakwa Widana juga telah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 1,7 miliar. Keduanya juga tidak dituntut lagi pertanggungjawabannya oleh krama Desa Adat Kekeran. 

“Para terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP,” tandas JPU Heny. 

Ketiga terdakwa menilap keuangan LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung tahun 2016-2017. Para terdakwa mengambil uang dengan cara membuat kredit fiktif. 

Terhadap tuntutan jaksa, para terdakwa yang didampingi penasihat hukumnya menyatakan akan mengajukan pembelaan tertulis.

Hakim Angeliky Handajani Day yang memimpin persidangan memberi waktu tiga pekan. Kasus ini muncul saat digelar paruman agung atas laporan pertanggungjawaban pengurus LPD periode 1 Januari 2016 – 31 Mei 2017.

Namun, masyarakat menolak laporan yang dibuat terdakwa Suamba bersama Artani dan Winda Widana.

Masyarakat menolak lantaran laporan tersebut tidak ditandatangani seluruh pengurus LPD dan Ketua Badan Pengawas periode sebelumnya, yaitu Ida Bagus Made Widnyana.

Sementara bendesa adat yang baru, I Made Wardana meminta I Gusti Komang Pernawa Pandit membuat sistem komputerisasi terkait administrasi LPD.

Di luar dugaan, Pandit menemukan selisih atau ketimpangan antara neraca yang dibuat menggunakan aplikasi komputer dengan pencatatan neraca manual.

Ketimpangan tersebut meliputi tabungan, kredit, deposito, dan kas bank. Buku tabungan yang dipegang oleh nasabah berbeda jumlahnya dengan kartu primanota yang ada di LPD.

Nominal pada buku tabungan yang dipegang nasabah rata-rata lebih besar daripada kartu primanota LPD. 

Sementara pada kredit ditemukan pemberian kredit tidak sesuai prosedur, baik dari administrasi, jaminan, dan tandatangan.

Selain itu, adanya kredit fiktif, di mana ada nama nasabah yang tertera dalam daftar pinjaman di LPD. Namun saat dilakukan pengecekan lapangan ternyata yang bersangkutan tidak pernah mengajukan kredit. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/