SINGARAJA – Warga di Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak mengajukan gugatan perdata class action ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja.
Gugatan itu dilayangkan sebagai buntut protes warga terhadap aktivitas pengerukan yang dilakukan oleh PT. Tekad Andhika Dharma (TAD) yang sempat dilakukan pada bulan November 2020 lalu.
Gugatan Nomor 758/Pdt.G/2020/PN Sgr itu sebenarnya telah didaftarkan ke PN Singaraja pada 18 Desember 2020 lalu.
Total ada 4 orang yang mengajukan gugatan. Mereka adalah Koordinator Kelompok Tani Alam Lestari I Wayan Darma, Koordinator Pokdarwis Desa Pejarakan I Ketut Sarka,
Koordinator Kelompok Konservasi Putri Menjangan Abdul Hari, serta Direktur Eksekutif Lembaga Kelautan dan Perikanan Indonesia (LKPI) Ayub Faidiban.
Para penggugat ini lantas memberikan kuasa pada para advokat di firma hukum Nyoman Rae and Partners.
Mereka menyatakan menggugat PT. Tekad Andhika Dharma selaku penguggat I, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng selaku tergugat II,
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali selaku tergugat III, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng selaku tergugat.
Kuasa hukum penggugat, Syair Abdulmutalib mengatakan, pihaknya sengaja melakukan gugatan class action, karena menemukan perusakan lingkungan yang terjadi di Banjar Dinas Marga Garuda, Desa Pejarakan.
Tepatnya di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 7 Desa Pejarakan seluas 30 hektare, dan HGU Nomor 8 Desa Pejarakan seluas 39,27 hektare.
Menurutnya, PT. Tekad Andhika Dharma telah melakukan aktivitas di luar perizinan yang dikantongi.
Dalam masa perpanjangan HGB selama 30 hari terakhir, perusahaan justru melakukan pengerukan pantai.
Hal itu dianggap merusak lingkungan. Terlebih lagi di atas HGU Nomor 7 Desa Pejarakan terdapat areal hutan mangrove yang telah mendapat penghargaan kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018 lalu.
“Masyarakat jelas dirugikan. Karena kegiatan perusahaan tidak hanya merusak eksositem mangrove, juga merusak biota laut yang ada di sana.
Ini berdampak pada masyarakat nelayan serta ekowisata di Desa Pejarakan,” tegas Syair Abdulmutalib saat ditemui di PN Singaraja kemarin.
Abdulmutalib juga menyebut aktivitas yang dilakukan oleh tergugat I tergolong kegiatan illegal. Karena tidak sesuai dengan izin peruntukan.
Ia menyebut izin awal yang dikantongi perusahaan ialah tambak udang, yang kemudian beralihfungsi menjadi tambak garam. Aktivitas pengerukan yang dilakukan, dinilai tidak sesuai dengan perizinan yang dikantongi.
Atas tindakan perusahaan itu, masyarakat pun sepakat melakukan gugatan class action. Masyarakat mendesak agar HGU yang sempat dikantongi tergugat I tak diperpanjang lagi.
“Kami harap kantor pertanahan tidak memperpanjang HGU. Kami juga meminta agar Dinas Perikanan tidak menerbitkan izin lagi pada tergugat I.
Kami juga menuntut tergugat I membayar kompensasi senilai Rp 25 miliar karena telah melakukan penelantaran lahan dan perusakan lingkungan,” tegasnya.
Kemarin sejatinya persidangan memasuki persidangan pertama. Majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Gede Angga Karangyasa yang didampingi hakim anggota Nyoman Dipa Rudiana dan A.A. Ngurah Budhi Dharmawan sudah membuka sidang.
Namun sidang hanya dihadiri oleh kuasa hukum penggugat, Kantor Pertanahan Buleleng selaku tergugat II, dan DLH Buleleng selaku turut tergugat.
Majelis hakim akhirnya memutuskan menunda sidang hingga 28 Januari mendatang. Majelis hakim juga menyatakan akan memanggil kembali Tergugat I dan Tergugat III secara patut untuk hadir dalam persidangan tersebut.