Tanaman porang makin berkembang di Tabanan. Memanfaatkan lahan tidur, para petani Tabanan mencoba bercocok tanam porang. Mereka makin bersemangat lantaran peluang ekspor yang masih terbuka lebar. Seperti apa?
JULIADI, Tabanan
MENURUT Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perkumpulan Petani Penggiat Porang Nusantara (P3N) Tabanan Putu Yasa, saat ini ada 50 petani porang yang tergabung dalam P3N.
Para petani melakukan budidaya porang sejak pandemi Covid-19 merebak. “Total luas lahan di Tabanan yang ditanami porang kami masih lakukan pendataan.
Karena luas lahan pertanian yang ditanami porang bervariasi. Mulai dari 2 are, 5 are bahkan ada yang mencapai 1 hektare,” tutur Putu Yasa.
Menurutnya, tanaman porang sebenarnya sudah ada sejak tahun 2006 lalu di Tabanan. Bahkan, sempat dikembangkan petani setempat. Tapi, meredup lantaran pemasaran yang sulit.
Geliat budidaya tanaman porang kembali muncul setelah pandemic Covid-19 datang. Apalagi keren ekspor dibuka lebar-lebar oleh pemerintah.
Kebutuhan pasar luar negeri cukup tinggi. Pasalnya, selain sebagai bahan makanan, porang juga dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik, lem dan lain sebagainya.
“Saat ini di Tabanan yang menanam porang sudah merata. Yang terbesar ada di Kecamatan Selemadeg Barat yang mencapai puluhan hektare. Sisanya berada di Selemadeg, Selemadeg Timur,
Pupuan, Kerambitan dan Baturiti. Sementara untuk wilayah perkotaan Tabanan karena lahan sempit tanaman porang sangat sedikit,” ungkapnya.
Yasa menambahkan, bahwa pihaknya tidak memasang target berapa luas lahan pertanian Tabanan yang ditanami porang.
Terpenting saat ini pihaknya bersama petani lainnya tetap melakukan sosialisasi dan edukasi kepada petani perihal pertanian porang yang berkualitas dan mampu menembus pasar eksport.
Mulai dari memberikan pemahaman bagaimana melakukan budidaya tanaman porang, pemahanan soal bibit porang yang ditanam, kapan musim panen, dan cara penanamannya.
Termasuk pula jenis pupuk apa yang akan digunakan jangan sampai menggunakan bahan kimia. Karena porang yang diminta oleh pabrik dan pasar eksport adalah porang organik.
“Sehingga kami tekankan ke petani untuk bertani porang dengan menggunakan sistem pertanian organik,” tegasnya.
Meski porang begitu diminati petani Tabanan, namun tidak ada keharusan mereka untuk merubah tanaman yang mereka tanam sebelumnya.
Alih fungsi tanaman oleh petani Tabanan tidak dilakukan. Petani bertani porang lebih mengedepankan pertanian dengan sistem tumpang sari.
Pasalnya, bertani porang tidak sulit, sama hal dengan menanam ubi. Porang akan panen semusim setiap satu tahun sekali. Bahkan, ada 2-3 tahun tergantung dari jenis porang yang ditanam.
“Jadi, tidak ada yang merubah tanaman yang ditanam. Porang ditanam petani Tabanan disela-sela tanaman kopi, cengkeh dan tanaman lainnya,” pungkasnya.
Sementara itu petani porang Tabanan lainnya, Dewa Ketut Kartono, yang juga Ketua Divisi Pemasaran P3N DPW Wilayah Bali mengaku kebutuhan porang yang dikirim pabrik untuk pasar eksport memang tinggi.
Sehingga ini menjadi peluang besar bagi petani porang di Bali. Selama ini pabrik di Indonesia melakukan pengiriman porang yang sudah diolah menjadi tepung. Barulah kemudian di eksport ke negara Tiongkok, Thaliand, Jepang dan Australia,
“Negara-negara tujuan eksport porang inilah yang akan merubah porang menjadi makanan dan barang lainnya,” ungkap Dewa Ketut Kartono.
Sejauh ini beberapa pabrik yang sudah pihaknya kunjungi dan sudah melakukan kerjasama untuk mengambil hasil porang petani di Bali.
Di antaranya PT. Siligati, pabrik porang yang berada di daerah Seririt, Buleleng. Kebutuhan porang setiap harinya untuk produksi pabrik tersebut mencapai 15 ton. Dan, mereka sudah sanggup membeli hasil porang petani.
Pihaknya juga telah melakukan kerjasama untuk porang dengan pabrik di luar Bali yang untuk kebutuhan pasar eksport yakni PT. Rajawali Penta Nusantara di Gresik,
PT. Bangsal Teknologi Mojokerto, PT. Asia Prima Konjac Madiun Jawa Timur dan PT. Ambiko yang berlokasi di Pasuruan Jawa Timur.
“Pabrik-pabrik ini dengan rata-rata produksi porang setiap harinya mencapai 60 ton,” tandasnya. (*)