Menjadi chef di hotel berbintang dengan gaji besar dan berlimpah fasilitas tentu jadi idaman banyak koki. Tapi, kadang ada hal yang lebih dari sekadar gaji, yakni kepuasan batin karena karena mengenalkan berbagai masakan khas Indonesia kepada dunia.
AYATOLLAH ANTONI, Macau
UCAPAN salam berbahasa Indonesia terdengar di Mistral Restaurant di lantai 6 Hotel Sofitel Macau de Ponte 16 pada Rabu pekan lalu (25/10).
“Selamat pagi,” tutur seseorang berbaju chef lengkap dengan topinya. Sosok yang mengucap salam dengan bahasa Indonesia itu adalah Ni Nyoman Siti Suandari.
Perempuan asal Karangasem, Bali itu dipercaya sebagai executive sous chef di Sofitel Macau yang membawahi 50 anak buah, termasuk tiga orang Indonesia. Sebuah profesi bergengsi.
Tapi, pertemuan antara perempuan yang akrab disapa dengan panggilan Chef Nyoman itu dengan rombongan pewarta dari Indonesia tak berlangsung lama.
“Maaf, saya harus memimpin meeting lagi,” ucapnya sembari tersenyum. Hingga akhirnya Chef Nyoman kembali bertemu dengan JPNN pada Minggu (30/10) malam di RendezVous Bar Sofitel Macau.
Meski sedang off dari pekerjaan, perempuan kelahiran 21 Mei 1970 itu tetap mengenakan seragam chef.
Nyoman mengawali obrolannya dengan kisahnya meninggalkan tanah kelahirannya di Banjar Tak, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem saat masih di bangku SMP.
Tujuannya adalah Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB).Nyoman yang di masa muda disapa dengan nama panggilan Suandari menamatkan pendidikan tingginya juga di NTB.
Dia menggengam ijazah sebagai lulusan Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP) Lombok. Begitu lulus dari BPLP Lombok pada 1990, Nyoman lantas bekerja di Intan Laguna Hotel di Senggigi.
“Saya bekerja pertama sebagai cook helper,” katanya mengenang. Namun, Nyoman hanya bertahan di Senggigi hingga 1993. Dia mulai vakum dari pekerjaan karena menikah dan mengandung.
Hingga akhirnya pada 1997, Nyoman merantau ke Jakarta. Tujuannya adalah Dharmawangsa Hotel di Jakarta Selatan.
“Saya masuk sebagai cook helper hingga menjadi demi chef de partie di Dharmawangsa hingga 2001,” ucap ibu dua anak itu.
Setelah empat tahun di Dharmawanga, Nyoman pindah ke JW Marriot Hotel Jakarta yang berada di Mega Kuningan. Posisinya kala itu sudah menjadi chef de partie.
Saat bom bunuh diri di JW Marriot pada 5 Agustus 2003, Chef Nyoman pun terkena imbasnya. Hingga akhirnya pada 2005, Nyoman kembali pindah tempat kerja ke Ritz Carlton Hotel yang tak jauh dari JW Marriot Mega Kuningan.
Tawaran pekerjaan datang lagi. Nyoman melamar untuk lowongan di Four Seasons Hotel Doha. Namun, tragedi tsunami pada 26 Desember 2004 membuat Nyoman batal bekerja di Four Seasons Hotel Doha.
Sebab, kala itu terjadi penutupan operasional Four Seasons Hotel di Maldives yang terkena tsunami sehingga para pegawainya diboyong ke Four Seasons Hotel Doha.
Namun, batal bekerja di Doha justru mengantar Nyoman kepada nasib baik. Tiba-tiba dia dipanggil oleh sebuah agensi untuk ikut seleksi private chef bagi Raja Yordania Abdullah II bin al-Hussein.
Nasib baik berpihak ke Nyoman. Pada 2005, dia lolos seleksi dan menjadi satu dari 12 chef bagi keluarga Raja Abdullah II dan Putri Rania. “Saya chef untuk masakan internasional,” tuturnya.
Praktis, Chef Nyoman harus pindah ke Amman, ibu kota Yordania. Posisinya agak unik. Dia adalah penganut Hindu. Sedangkan yang dilayani adalah Raja Abdullah II yang memiliki garis keturunan Nabi Muhammad.
Tentu saja menjadi chef bagi orang penting di Kerajaan Yordania juga membuat Nyoman harus mengikuti semua aturan yang ditentukan, termasuk dalam menyuguhkan menu.
Bahkan, aturannya sangat ketat. “Misalnya, Ratu Rania tak makan bawang putih. Nasinya pun ditimbang,” katanya mengenang.
Di Yordania, Chef Nyoman juga harus bekerja sesuai protokoler kerajaan. Misalnya ketika Raja Abdullah II hendak menjamu tamu negara di salah satu istananya, maka Chef Nyoman pun harus selalu siap.
“Saya ada koper yang setiap saat bisa langsung saya bawa bila ada panggilan mendadak,” tuturnya. “Biasanya yang paling sering di Istana Laut Merah di Aqaba.”
Menjadi private chef bagi Raja Abdullah II dan keluarganya tentu menambah pengalaman berharga bagi karier Nyoman.
Apalagi raja yang dikenal rendah hati itu juga sering menyambangi dapur tempat para chef bertugas menyiapkan masakan. “Mereka orang-orang yang baik banget,” ujar Nyoman.
Tentu saja sudah banyak tokoh dunia yang mengecap masakan Nyoman. “Seingat saya Condoleezza Rice dan Pak SBY (Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, red) ketika mengunjungi Raja Abdullah juga kami yang masak,” tutur Nyoman.
Selama melayani Raja Abdullah dan keluarganya, Chef Nyoman tak sakelek dalam hal menu. Bahkan, sesekali dia juga memasukkan makanan-makanan khas Indonesia di luar menu yang akan disajikan ke Raja Abdullah II dan Putri Rania.
“Teman-teman sih bilang saya suka iseng,” ujarnya sembari tertawa. Chef Nyoman lantas menyebut sejumlah masakan yang sering dia selipkan di menu bagi Raja Abdullah dan Putri Rania.
Ada perkedel, sate lilit, hingga tahu isi. “Raja Abdullah doyan banget dengan perkedel, sekali bisa sepuluh butir,” kata Nyoman mengenang.
Dia juga sering kali memodifikasi menu khas Indonesia. “Saat Pak SBY masih jadi presiden ke Yordania, saya kebagian bikin ketan hitam dikombinasi dengan es krim dan potongan cake,” tuturnya.
Tapi, bekerja di royal family tak menghentikan keinginan Chef Nyoman untuk mencari pengalaman lain.
Setelah dua tahun bekerja sebagai private chef Raja Abdullah II, pada Agustus 2007, Nyoman lantas hijrah ke Dubai. Posisinya adalah chef di Shangri-La Hotel.
Hanya dua tahun di Dubai, ibu dari Claudia Murti Andari dan Diaz Murti Sadewa itu lantas pindah ke Maldives. Pada 2009, dia menjadi chef di sebuah resorts terpencil di Samudra Hindia.
Di Maldives pula Nyoman yang dibantu seorang cook helper lokal pernah menjadi chef bagi permaisuri seorang petinggi negeri kerajaan di Timur Tengah.
“Kami bekerja sembilan hari, tapi tips-nya melebihi kerja sebulan he he he,” tuturnya. Tapi, pada 2011, Nyoman kembali ke tanah air.
Dia bekerja sebagai chef di Montigo Resorts Nongsa, Batam yang baru dibuka. “Saya ikut tim yang menge-set kitchen dan merekrut staf di Montigo Batam,” kata perempuan yang pernah terlibat dalam Indonesian Food Promotion di Marriott Hotel Lisabon, Portugal itu.
Hanya dua tahun di Batam, Nyoman lantas pindah ke tujuan yang lebih jauh. Pada Mei 2013, dia mulai bekerja di Harry’s Restaurant, Bermuda.
Selanjutnya pada Desember 2014, Nyoman sudah pindah lagi ke Maldives. “Saya bawa dua anak buah dari Indonesia, satu dari Balikpapan, satunya dari Bandung.” kenangnya.
Hingga pada Februari 2016, Nyoman resmi bergabung dengan Hotel Sofitel Macau de Ponte 16. Dia punya alasan tersendiri sehingga nyaman bekerja di Macau.
Lantas, berapa gaji sebagai executive sous chef di Sofitel Macau? Chef Nyoman lantas menyebut angka beserta tunjangan lainnya. Namun, dia tak mau angka itu diumbar ke publik.
Tapi, ada alasan lain yang membuatnya betah di Macau. “Paling tidak lebih dekat kalau mau pulang. Anak saya yang kecil cowok masih SMA di Denpasar, sedangkan yang sulung ikut saya di sini,” katanya.
Putri Nyoman yang sulung, Claudia Murti Andari adalah dokter hewan lulusan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Sempat bekerja di pet shop di Macau, namun Claudia mengalami kendala bahasa. Kini, Claudia bekerja juga di Sofitel Macau sembari kursus Bahasa Mandarin di akhir pekan.
Meski sudah melanglang buana, Nyoman yang segera memasuki usia 50 belum punya rencana pensiun. Dia tetap ingin menjadi chef sembari mengenalkan masakan nusantara ke lidah mancanegara.
Menurutnya, untuk rendang dan nasi goreng memang sudah cukup mendunia. Tapi, Nyoman juga ingin memopulerkan masakan lainnya.
“Saya cantumkan masakan khas Indonesia ke dalam daftar menu. Sop buntut itu banyak banget yang suka. Nasi goreng dan soto ayam juga banyak penyukanya. Kalau rendang memang sudah diakui,” katanya.
Tapi, bagi lidah Chef Nyoman, yang terenak tetap masakan ibu. “Saya memang dekat dengan ibu,” tutur perempuan yang saat menjadi pegawai pernah mengikuti US Meat Training dan kerap menyabet predikat employee of the month itu.
Selain itu, Nyoman juga punya pesan untuk anak-anak muda yang ingin menjadi chef andal di level global.
Menurutnya, sumber daya manusia Indonesia tak kalah dibandingkan Eropa ataupun Amerika Serikat (AS)
Dia juga mendorong cewek-cewek muda yang ingin jadi chef kondang tak perlu minder bersaing.
“Jangan takut bersaing di dunia international, yang penting ada kemauan, disiplin dan tekun, itu kunci suksesnya.
Khususnya para cewek-cewek generasi muda di Indonesia masih jarang jadi chef, hayo jangan mau kalah dengan chef-chef cowok dari negara mana pun,” ujarnya memberi saran.