MANGUPURA – Pertanian di Bali sedang dalam keadaan kritis. Bukan saja karena sumber daya manusia (SDM) dan lahan, tapi juga terkait permasalahan air.
Ironisnya, Pulau Dewata yang terkenal dengan sistem irigasi air melalui organisasi subak, justru tak berdaya mengatasi masalah ini.
Seperti yang terjadi di Subak Balangan, Desa Kuwum, Mengwi, Badung, yang tidak mendapatkan aliran air sejak 20 tahun lalu.
Fakta itu diungkap Ketua DPC GMNI Front Marhaenis Denpasar Bung Jody Feriawan saat organisasi gerakan mahasiswa ini berdialog dengan petani setempat dan langsung diajak meninjau lokasi.
“Awalnya kawan kawan GMNI FM Denpasar berdiskusi bersama pelaku petani yang juga selaku pakaseh Subak Balangan di Desa Kuwum, Kecamatan Mengwi, Badung.
Ternyata ada permasalahan di irigasi. Seharusnya pembagian irigasi subak seimbang dan aliran irigasi tersebut seharusnya juga tidak memihak dengan salah satu desa,
bukan saling tutup menutup aliran irigasi untuk kepentingan pribadi namun harus direalisasikan untuk kepentingan bersama,” terangnya.
Jody mengatakan, permasalahan air ini sudah terjadi sejak 20 tahun-an dikarenakan ada permasalahan kompleks.
Namun yang disayangkan, sektor pertanian menjadi korban. Para petani tidak bisa menanam padi sehingga mereka beralih bercocok tanam.
“Permasalahannya sangat kompleks, saya sudah beberapa kali mengirim surat, tapi tidak digubris sama sekali. Saya hanya ingin agar aliran irigasi subak itu sendiri tetap tersebar
untuk semua masyarakat dan debit airnya tidak dibatas-batasi, dan tidak berpihak dengan dengan salah satu kelompok saja” tutur Jody meniru keluh kesah pekaseh (kepala subak).
Mahasiswa Teologi UHN I Gusti Bagus Sugriwa menyatakan, di pusat irigasi ada beton yang menghalangi aliran yang menuju Subak Balangan.
Sedangkan di desa lainnya di berikan aliran irigasi yang kecil, debit airnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pertanian.
“Mereka hanya ingin bisa mengambil air sekadar bisa menyiram kebutuhan tumbuhan mereka bukan untuk kepentingan mereka saja namun air dari alam adalah kebutuhan semua manusia,” tambahnya.
Terpisah, I Ketut Matrayasa selaku pekaseh Subak Balangan Pesedahan Yeh Cangi membenarkan kondisi tersebut.
Ia menyatakan sama sekali tidak ada debit air ke subak Balangan karena ditutup dari sumbernya di Dam Pama Palian.
Diakuinya, perihal penutupan sepihak tanpa ada pemberitahuan. Permasalahan ini sudah berlangsung lama, kurang lebih 20 tahun-an.
“Enggak ada air sama sekali sebenarnya yang kami minta supaya irigasi itu dinormalisasi sehingga pada musim hujan kami dapat air. Kami sudah bersurat ke provinsi menyampaikan hal ini,” terangnya.
Luas lahan subak Balangan sekitar 58 hektare dengan jumlah petani 200 orang. Akibat permasalahan air ini mereka tak bisa menanam padi dan beralih ke bercocok tanam.
“Jadi, kami bercocok tanam mengandalkan anugerah Tuhan yaitu mengandalkan hujan turun. Oh sudah kami sampaikan ke bupati zamannya
bupati Cok Ratmadi (Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi), Anak Agung Gde Agung sampai sekarang belum juga tuntas,” kesal Ketut Matrayasa.
Disinggung mengenai langkah kepala desa, Ia menyebutkan responnya bagus namun pejabat desa juga tidak bisa menyelesaikan.
Tidak hanya pertanian yang terkena dampak, tapi juga sektor peternakan. “Terutamanya para petani sudah sejak penutupan itu enggak pernah bisa tanam padi,” pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Badung, Ida Bagus Surya Suamba malah mengakui tidak tahu.
“Apalagi hujan-hujan ini full airnya,” ucapnya. Dia mengatakan selama ini belum dapat informasi tersebut. “ Saya akan cek dulu,” ucapnya singkat.