DENPASAR – The Boy with Moving Image (TBWMI) merupakan film pertama dari sutradara Roufy Nasution. Film ini dibuat bersama beberapa sineas muda Bandung Raya dibawah payung Cinemora Pictures dan Aksa Bumi Langit.
Dalam film berdurai103 menit ini, Roufy banyak mencurahkan kegelisahan yang tidak bisa dituangkannya ke dalam film pendek. Film ini menceritakan sosok Vaiyang yang diperankan oleh Bryancini, seorang sutradara yang ingin menyewa sebuah rumah untuk keperluan shooting yang kebetulan ditinggali oleh seorang perempuan bernama Ning (Nithalie Louisza).
Pertemuan cepat itu berujung kepada diperbolehkannya Vaiyang menggunakan rumah Ning. Namun dengan syarat, asalkan sutradara muda tersebut mau menemani Ning hingga hari dimana ajalnya tiba.
Dzikri Maulana sebagai Produser film TBWMI berharap agar film ini bukan hanya menjadi sekadar film biasa.
“Tetapi menjadi sebuah gerakan yang membangkitkan ekosistem film independent di bandung agar dapat terus eksis karena bertahun-tahun belum ada lagi yang berani membuat fitur film independent fiksi di bandung,” katanya saat pemutaran film di Dharma Negara Alaya Art & Creative Hu, tepatnya di ruang Audio Visual, Denpasar, Rabu (17/2).
Film ini diproduksi pada tahun 2020 dan telah masuk dalam Nominasi pada salah satu ajang Festival Film terbesar di Indonesia yakni Piala Maya. TBWMI telah diputar pertama kali pada program Indonesian Splash yang diselenggarakan oleh festival Jogja Asian-NETPAC Film Pacific pada tanggal 27 Desember 2020 lalu. Pada 2021 diharapkan film TBWMI sudah dapat dinikmati di beberapa bioskop Indonesia dan tentunya di berbagai ruang pemutaran alternatif komunitas film Indonesia.
Sementara itu, Anggi Frisca yang juga produser film TBWMI sekaligus sinematografer mengatakan, salah satu alasan mengapa film The Boy with Moving Image menjadi sangat spesial adalah dengan mengusung semangat guerrilla filmmaking. Karena selama beberapa tahun ini, belum adalagi pergerakan sinema di kota Bandung untuk berkolaborasi bersama dalam membuat fitur film.
“Akhirnya melalui film ini, para sineas Bandung yang berasal dari berbagai komunitas film di Bandung tergabung dalam Tim TBWMI memberanikan diri dan percaya untuk membuat sebuah gerakan dengan semangat independensi untuk berkarya dengan sepenuh hati,” terangnya.
Guerilla filmmaking sendiri merupakan pembuatan film dengan cara yang tidak konvensional. Pembuatannya mengacu pada film independen yang bercirikan anggaran, kru dan alat yang sederhana. Namun dengan segala keterbatasan, itu malah menjadi semangat bagi kami kru TBWMI untuk berkarya semaksimal mungkin dalam mewujudkan cita-cita kami bersama dalam film ini.
“Kami bangga sekali bisa merampungkan film ini meskipun dengan keterbatasan yang ada, terlebih kami sangat senang karena film ini dapat di putar pada gelaran festival Jogja AsianNETPAC Film Pacific yang ke-15 yang merupakan salah satu festival film terbesar di Asia,” imbuhnya.