SURGA wisata dunia itupun takluk dihantam ganasnya virus dari Wuhan-China. Dari rilis kondisi perekonomian tahun 2020 oleh BPS (Badan Pusat Statistik), Bali tercatat mengalami pertumbuhan negatif terdalam yaitu minus 9,31 persen.
Kontraksi yang terjadi pada ekonomi Bali, hampir 5 kali lipat lebih parah dibanding ekonomi Indonesia yang hanya minus 2,07 persen.
Bali memang menjadi provinsi yang paling terdampak di Indonesia, karena struktur perekonomiannya didominasi oleh kategori lapangan usaha yang terkait erat dengan aktivitas pariwisata.
Kondisi Bali Kini
Ibarat pecandu yang sedang sakau, kira-kira seperti itulah kondisi Bali saat ini. Kedatangan wisatawan sudah bagai candu dalam menggerakkan ekonomi Bali selama berpuluh-puluh tahun.
Sejak Maret 2020, Bali mulai menelan pil pahit dengan kehadiran Virus Corona yang mulai menggerogoti.
Indikasi sudah terlihat pada kuartal awal 2020, dimana kunjungan wisatawan asing ke Bali mengalami penurunan sampai minus 21,82 persen.
Ditutupnya akses transportasi serta pembatasan pergerakan yang semakin masif pada bulan-bulan berikutnya, semakin memperparah penurunan kunjungan wisatawan.
Menurut data BPS, kunjungan wisatawan asing ke Bali pada tahun 2020 merosot sampai minus 83,26 persen.
Berdasar KBBI, sakau didefinisikan sebagai kondisi seorang pecandu yang ketagihan. Sehingga tidak salah jika Bali diibaratkan seperti pecandu, yang mana candunya adalah kunjungan wisatawan.
Dan layaknya sedang sakau, performa Bali pun menjadi terganggu. Jumlah wisatawan asing yang ke Bali pada 2020 hanya 1,05 juta kunjungan, jauh meleset dari target 7 juta wisatawan yang ditetapkan pemerintah.
Usaha perhotelan mendapat pukulan telak, terkonfirmasi dari tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang yang tidak lebih dari 20 persen.
Sehingga tak terbantahkan bahwa ekonomi Bali kontraksi sampai minus 9,31 persen, berlipat kali lebih parah dibanding wilayah lain yang tidak bergantung penuh pada pariwisata.
Dua lapangan usaha yang terkait erat dengan pariwisata tercatat mengalami penurunan paling dalam, yaitu kategori transportasi (-31,79 persen) serta penyediaan akomodasi dan makan minum (-27,52 persen).
Tidak hanya bandara dan hotel/restoran saja yang terimbas, tapi seluruh lapangan usaha pun terdampak mulai dari pertanian, industri pengolahan sampai tempat rekreasi/hiburan.
Perbedaan Bali saat ini akan sangat terasa bagi orang-orang yang sudah biasa ke Bali sebelum Pandemi Covid-19.
Sejak Pandemi Covid-19 merebak, di sepanjang jalan protokol terlihat deretan mobil yang menjajakan aneka barang mulai dari telur, tissue sampai tanaman hias.
Para pengusaha melakoninya bukan sekadar aji mumpung, namun untuk menyambung hidup keluarganya.
Kasat mata memang bisa dilihat ada banyak usaha yang gulung tikar, mulai dari mall, toko sampai restoran.
Imbasnya jelas tercermin dari tingkat pengangguran Bali yang menyentuh angka tertinggi selama satu dasawarsa terakhir, yaitu pada level 5,63 persen.
Pada Agustus 2020, jumlah pengangguran mencapai 144.500 orang, meningkat 105.212 orang dibandingkan kondisi Agustus 2019 yang hanya sebesar 39.288 orang.
Rilis angka kemiskinan oleh BPS pada 15 Januari 2021, selanjutnya menggenapi catatan kelam terkait efek pandemi covid-19.
Secara nasional penduduk miskin pada September 2020 mencapai 10,19 persen, meningkat 1,13 juta dibandingkan Maret 2020.
Penduduk miskin di Bali juga tercatat mengalami peningkatan 31,73 ribu orang, sehingga secara total ada 196,92 ribu orang miskin di Bali pada September 2020.
Mungkin jumlah itu relatif sedikit, namun disinilah terlihat peran bantuan sosial yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Berbagai program bantuan sosial itu terbukti sangat membantu masyarakat bertahan untuk tidak terperosok lebih dalam.
Untaian Cinta untuk Bali
Jika biasanya kondisi fisik pecandu yang sedang sakau terdampak, namun tidak begitu halnya dengan keindahan alam Bali.
Hantaman pandemi boleh tersurat dalam setiap indikator statistik, bandara dan hotel-hotel boleh sepi, namun alam Bali tetap indah.
Lalu bagaimana dengan wisata budayanya? Kearifan lokal masyarakat Bali dengan adat budayanya yang Adiluhung masih tetap berlangsung meskipun dengan balutan yang sedikit berbeda.
Gemulai cantik tarian masih bisa kita nikmati, begitupun riuhnya upacara Pernikahan ataupun Ngaben masih tetap berlangsung dengan tetap menerapkan Prokes yang ketat.
Bagi traveller yang penat dengan suasana ibukota, Bali tentu masih menjadi pilhan yang tepat. Sebagai daerah dengan kontribusi wisatawan mancanegara terbesar, tidak salah kiranya Bali mendapat perhatian ‘lebih’ ketika dihantam Pandemi Covid-19.
Di tahun 2019, wisatawan asing yang berkunjung ke Bali mencapai 38,96 persen terhadap total wisatawan asing yang ke Indonesia.
MenParekraf RI, Sandiaga Uno, memutuskan untuk ‘berkantor’ di Bali pada akhir Januari 2021.
Mengadopsi prinsip melihat, mendengar dan merasakan langsung, Sandiaga ingin memperoleh berbagai masukan sehingga bisa kembali menggerakkan Bali sebagai lokomotif pariwisata Indonesia.
Let’s Go to Bali
Bisa dipastikan, sakau Bali tidak akan terobati sampai pintu masuk wisatawan mancanegara dibuka kembali.
Namun sembari menunggu dosis yang tepat, kedatangan para wisatawan domestik untuk berlibur ke Bali setidaknya dapat menjadi pelepas dahaga bagi dunia pariwisata.
Dosis candu yang dinikmati oleh Bali tentu akan jauh berkurang, karena harga yang ditawarkan cukup ‘lokal friendly’.
Tapi, minimal membantu pelaku usaha dalam rangka merawat dan mempertahankan asetnya. Dari sisi traveller tentu bagai angin surga untuk dapat menikmati fasilitas-fasilitas luxury dengan budget terjangkau.
Para traveller tinggal memanfaatkan kelihaian jari jemarinya untuk mencari promo-promo menarik yang ditawarkan melalui berbagai platform online.
Sesungguhnya Pemerintah Daerah dan para pelaku usaha pun mempunyai mimpi besar untuk memajukan industri pengolahan, sehingga ekonomi Bali tidak perlu kolaps ketika diterpa kondisi yang membatasi pergerakan wisatawan.
Para pemilik modal dan investor datanglah ke Bali, mengusung ide-ide kreatif untuk membangun industri dengan memanfaatkan produk lokal.
Kekayaan Bali tidak hanya terfokus pada keindahan Pantai Kuta dan Jimbaran, Bali pun menyimpan segudang potensi pertanian yang siap dikembangkan.
Sebut saja manisnya Jeruk Bali, legitnya Salak Gula Pasir, gurihnya Kopi Kintamani, Cokelat Jembrana sampai butiran garam di Amed-Karangasem yang kualitasnya tidak perlu diragukan lagi.
Produk olahan yang berlabel ‘made in Bali’ tentu akan lebih menjual dan niscaya mendatangkan cuan berlimpah.
Layaknya pacar yang setia menunggu pasangannya sedang direhabilitasi, hal itu pulalah yang dibutuhkan Bali saat ini.
Ke(m)Bali-lah wahai para traveller dan investor, sebagai bentuk cinta terhadap surga wisata dunia itu. Untuk mengurangi kekhawatiran berwisata di tengah pandemi,
berbagai fasilitas wisata telah berbekal sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety dan Environment Sustainability). Namun sebelum Ke(m)Bali, ada pesan cinta dari Pulau Dewata: tetap patuhi persyaratan serta Prokes yang berlaku. (*)
Ni Nyoman Jegeg Puspadewi, SST., MM
Statistisi Ahli Muda di BPS Provinsi Bali