25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:34 AM WIB

Jadi Cucu Kesayangan Raja Terakhir, Pesan Jaga Puri & Seni Budaya Bali

Maestro tari legong AA Ayu Bulan Trisna berpulang Rabu (24/2) dinihari. Pengabdian kepada seni yang tak pernah lekang, bahkan hingga akhir hayat .

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

PAGI sekitar pukul 05.00, AA Made Kosalya yang merupakan adik sepupu dari AA Ayu Bulan Trisna kaget membuka pesan masuk ponselnya.

Ia menerima kabar dari keluarga di Jakarta, bahwa kakak sepupu perempuan yang ia hormati meninggal sekitar pukul 00.30 Rabu dinihari di Rumah Sakit Siloam, Semanggi, Jakarta.

AA Ayu Bulan Trisna meninggal akibat penyakit kanker pankreas. “Ketika masa kritis, adik kandungnya yang ada di Denpasar kan maunya berangkat ke Jakarta.

Tapi, karena terkendala penerbangan akhirnya adiknya baru bisa berangkat ke Jakarta pagi hari. Itupun saat sampai di Jakarta, beliau (Bulan Trisna) sudah dimakamkan,” ujar AA Made Kosalya.

Bulan Trisna dimakamkan di Sandiego Hills, Karawang. Mendiang meninggal diusia 74 tahun dengan meninggalkan tiga anak dan beberapa cucu.

Di mata AA Made Kosalya, Bulan Trisna banyak menginspirasi anggota keluarga Puri Agung Karangasem yang lainnya. Terutama dalam menggeluti kesenian.

Hingga usianya nenginjak 70 tahun, almarhumah masih mengabdikan hidupnya pada kesenian. Khususnya seni tari. “Beliau ini lembah lembut. Bahasanya halus. Kalau lagi menari, sangat emerjik,” kenangnya.

Bakat menari menurun dari sang kakek AA Agung Anglurah Ketut Karangasem yang merupakan Raja Karangasem terakhir.

Beliau sendiri merupakan putri sulung AA Made Jelantik dan Mekele Asri (seorang wanita Belanda).

“Dari kecil memang pintar menari. Sudah lama juga menggeluti tarian legong keraton. Makanya disayang sama kakek.

Di keluarga hampir semua bisa menari. Tapi setiap ada tamu kehormatan yang berkunjung ke Puri, beliau selalu yang ditunjuk untuk menari,” ujarnya.

Karena kepiawaiannya itu, di zaman Orde Lama kepemimpinan Soekarno, Trisna Bulan sering diminta menari di Istana Presiden untuk menyambut tamu kehormatan.

“Hingga akhirnya belliau ini menjadi penari istana. Selain sebagai seniman tari beliau juga seorang dokter spesialis THT dan meraih gelar doktornya di Jerman,” terang AA Made Kosalya.

Diakui, antara dirinya dengan Bulan Trisna memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Pertemuan terakhir dengan perempuan kelahiran Deventer,  Belanda 8 September 1947 silam ini terjadi sekitar tahun 2017 lalu.

Saat itu, acara pertemuan raja se-Nusantara yang digelar di Puri Agung Karangasem. Namun kedatangannya itu berlangsung singkat.

Hanya satu hari. “Karena beliau ikut dengan rombongan. Di sana beliau menari juga. Masih terlihat enerjik sekali,” ucap Kosalya.

Pesan yang kerap didengungkan kepada keluarga, diminta untuk tetap menjaga adat, budaya dan seni tradisional Bali. Terlebih Puri sebagai pusat seni, budaya dan adat Bali.

“Memberikan pesan kepada generasi dan adik-adiknya di Puri. Makanya ketika pulang ke Puri sering menyempatkan diri untuk mengajari keponakannya bagaimana menari legong yang baik,” kata dia.

 

Hal yang dikagumi AA Made Kosalya adalah semangat dalam berkesenian. Hingga usia tuanya, ia masih tetap aktif mengabdilan hidupnya pada seni dan budaya Bali.

“Biarpun sudah berumur tetapi ketika menari masih sigap dan enerjik,” tukasnya. Penuturan yang sama juga datang dari sepupunya yakni seniman Cok Sawitri.

Berhubungan baik dan cukup dekat sebagai seorang sahabat, di mata Cok Sawitri sosok yang akrab disapanya Bulan ini memang sangat gandrung dengan kesenian khususnya seni tari.

Kedekatan mereka tak hanya pada kesamaan cinta pada kesenian, namun justru di luar itu. “Menjadi teman curhat, berbagi, diskusi dan banyak hal.

Kami sangat dekat. Saling mengunjungi. Berbagi kabar meski dalam posisi jauh sekalipun kami selalu rajin memberi kabar satu sama lain,” akunya.

Perbedaan usia 20 tahun bukan menjadi jarak antarkeduanya. Justru kata dia, Bulan sendiri lah yang mendekatkan diri kepada Cok Sawitri hingga mereka bisa bersahabat dekat.

Bahkan ketika Cok Sawitri mengalami sakit, karena sahabatnya itu merupakan dokter ahli THT, ia kerap meminta saran rekomendasi dokter THT di Bali yang bagus.

“Sampai segitu dekatnya saya sama dia. Sangat banyak hal berkesan. Bulan ini tidak bisa diam, selalu ingin melakukan sesuatu. Kami sering bertukar kado kalau sedang ulang tahun.

Saya dengan dia itu sama-sama lahir bulan September. Dia sempat mengado saya patung durga, tas gandong karena dia tau saya senang memakai tas ransel,” kenang Cok Sawitri.

Ada banyak hal kata Cok Sawitri yang ingin diselami oleh Bulan untuk Bali. Diakui, kebanyakan sanak saudaranya berada di luar Bali, bahkan justru banyak juga dj luar negeri.

“Dia ini berusaha kembali lewat seni. Sempat ada wacana ingin menulis buku tentang pelegongan, kami sempat diskusi.

Dia juga senang berbagi jaringan. Menurut saya, Bulan itu tidak hanya pintar menari, tetapi juga seorang pemikir,” ujarnya.

Pertemuan terakhir mereka itu terjadi di tahun 2019 sebelum pandemi. Tepatnya saat peluncuran novel Cok Sawitri yang berjudul Sitayana.

Saat itu kata dia sudah ada indikasi sakit kanker. Dan sejak satu setangah tahun ini menjalani terapi.

“Tapi setelah itu kami lebih banyak ngobrol lewat telepon kadang video call tanya kabar. Cuma beberapa bulan karena kondisi.

Mulai mengurangi penggunaan telepon agar tidak terdampak radiasi. Terakhir WA itu bulan Oktober 2020 saat paman kami meninggal.

Dia sempat membaik. Dua minggu lalu katanya pingsan terus dibawa ke rumah sakit. Saya berpikir, dia ini kan ajaib, saya tetap mengharap dia sembuh,” tuturnya.

Antara dirinya dengan Bulan Trisna sepakat bahwa keduanya tidak akan berhenti menari, berkesenian. Di kuar hubungan sebagai sepupu, kedekatan juga terjalin dari hati dan pemikiran.

“Sebagai seorang keluarga, sahabat, bila ada sesuatu dalam tidak laku beliau. Kami memohon maaf,” tandasnya. (*)

 

Maestro tari legong AA Ayu Bulan Trisna berpulang Rabu (24/2) dinihari. Pengabdian kepada seni yang tak pernah lekang, bahkan hingga akhir hayat .

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

PAGI sekitar pukul 05.00, AA Made Kosalya yang merupakan adik sepupu dari AA Ayu Bulan Trisna kaget membuka pesan masuk ponselnya.

Ia menerima kabar dari keluarga di Jakarta, bahwa kakak sepupu perempuan yang ia hormati meninggal sekitar pukul 00.30 Rabu dinihari di Rumah Sakit Siloam, Semanggi, Jakarta.

AA Ayu Bulan Trisna meninggal akibat penyakit kanker pankreas. “Ketika masa kritis, adik kandungnya yang ada di Denpasar kan maunya berangkat ke Jakarta.

Tapi, karena terkendala penerbangan akhirnya adiknya baru bisa berangkat ke Jakarta pagi hari. Itupun saat sampai di Jakarta, beliau (Bulan Trisna) sudah dimakamkan,” ujar AA Made Kosalya.

Bulan Trisna dimakamkan di Sandiego Hills, Karawang. Mendiang meninggal diusia 74 tahun dengan meninggalkan tiga anak dan beberapa cucu.

Di mata AA Made Kosalya, Bulan Trisna banyak menginspirasi anggota keluarga Puri Agung Karangasem yang lainnya. Terutama dalam menggeluti kesenian.

Hingga usianya nenginjak 70 tahun, almarhumah masih mengabdikan hidupnya pada kesenian. Khususnya seni tari. “Beliau ini lembah lembut. Bahasanya halus. Kalau lagi menari, sangat emerjik,” kenangnya.

Bakat menari menurun dari sang kakek AA Agung Anglurah Ketut Karangasem yang merupakan Raja Karangasem terakhir.

Beliau sendiri merupakan putri sulung AA Made Jelantik dan Mekele Asri (seorang wanita Belanda).

“Dari kecil memang pintar menari. Sudah lama juga menggeluti tarian legong keraton. Makanya disayang sama kakek.

Di keluarga hampir semua bisa menari. Tapi setiap ada tamu kehormatan yang berkunjung ke Puri, beliau selalu yang ditunjuk untuk menari,” ujarnya.

Karena kepiawaiannya itu, di zaman Orde Lama kepemimpinan Soekarno, Trisna Bulan sering diminta menari di Istana Presiden untuk menyambut tamu kehormatan.

“Hingga akhirnya belliau ini menjadi penari istana. Selain sebagai seniman tari beliau juga seorang dokter spesialis THT dan meraih gelar doktornya di Jerman,” terang AA Made Kosalya.

Diakui, antara dirinya dengan Bulan Trisna memiliki perbedaan umur yang cukup jauh. Pertemuan terakhir dengan perempuan kelahiran Deventer,  Belanda 8 September 1947 silam ini terjadi sekitar tahun 2017 lalu.

Saat itu, acara pertemuan raja se-Nusantara yang digelar di Puri Agung Karangasem. Namun kedatangannya itu berlangsung singkat.

Hanya satu hari. “Karena beliau ikut dengan rombongan. Di sana beliau menari juga. Masih terlihat enerjik sekali,” ucap Kosalya.

Pesan yang kerap didengungkan kepada keluarga, diminta untuk tetap menjaga adat, budaya dan seni tradisional Bali. Terlebih Puri sebagai pusat seni, budaya dan adat Bali.

“Memberikan pesan kepada generasi dan adik-adiknya di Puri. Makanya ketika pulang ke Puri sering menyempatkan diri untuk mengajari keponakannya bagaimana menari legong yang baik,” kata dia.

 

Hal yang dikagumi AA Made Kosalya adalah semangat dalam berkesenian. Hingga usia tuanya, ia masih tetap aktif mengabdilan hidupnya pada seni dan budaya Bali.

“Biarpun sudah berumur tetapi ketika menari masih sigap dan enerjik,” tukasnya. Penuturan yang sama juga datang dari sepupunya yakni seniman Cok Sawitri.

Berhubungan baik dan cukup dekat sebagai seorang sahabat, di mata Cok Sawitri sosok yang akrab disapanya Bulan ini memang sangat gandrung dengan kesenian khususnya seni tari.

Kedekatan mereka tak hanya pada kesamaan cinta pada kesenian, namun justru di luar itu. “Menjadi teman curhat, berbagi, diskusi dan banyak hal.

Kami sangat dekat. Saling mengunjungi. Berbagi kabar meski dalam posisi jauh sekalipun kami selalu rajin memberi kabar satu sama lain,” akunya.

Perbedaan usia 20 tahun bukan menjadi jarak antarkeduanya. Justru kata dia, Bulan sendiri lah yang mendekatkan diri kepada Cok Sawitri hingga mereka bisa bersahabat dekat.

Bahkan ketika Cok Sawitri mengalami sakit, karena sahabatnya itu merupakan dokter ahli THT, ia kerap meminta saran rekomendasi dokter THT di Bali yang bagus.

“Sampai segitu dekatnya saya sama dia. Sangat banyak hal berkesan. Bulan ini tidak bisa diam, selalu ingin melakukan sesuatu. Kami sering bertukar kado kalau sedang ulang tahun.

Saya dengan dia itu sama-sama lahir bulan September. Dia sempat mengado saya patung durga, tas gandong karena dia tau saya senang memakai tas ransel,” kenang Cok Sawitri.

Ada banyak hal kata Cok Sawitri yang ingin diselami oleh Bulan untuk Bali. Diakui, kebanyakan sanak saudaranya berada di luar Bali, bahkan justru banyak juga dj luar negeri.

“Dia ini berusaha kembali lewat seni. Sempat ada wacana ingin menulis buku tentang pelegongan, kami sempat diskusi.

Dia juga senang berbagi jaringan. Menurut saya, Bulan itu tidak hanya pintar menari, tetapi juga seorang pemikir,” ujarnya.

Pertemuan terakhir mereka itu terjadi di tahun 2019 sebelum pandemi. Tepatnya saat peluncuran novel Cok Sawitri yang berjudul Sitayana.

Saat itu kata dia sudah ada indikasi sakit kanker. Dan sejak satu setangah tahun ini menjalani terapi.

“Tapi setelah itu kami lebih banyak ngobrol lewat telepon kadang video call tanya kabar. Cuma beberapa bulan karena kondisi.

Mulai mengurangi penggunaan telepon agar tidak terdampak radiasi. Terakhir WA itu bulan Oktober 2020 saat paman kami meninggal.

Dia sempat membaik. Dua minggu lalu katanya pingsan terus dibawa ke rumah sakit. Saya berpikir, dia ini kan ajaib, saya tetap mengharap dia sembuh,” tuturnya.

Antara dirinya dengan Bulan Trisna sepakat bahwa keduanya tidak akan berhenti menari, berkesenian. Di kuar hubungan sebagai sepupu, kedekatan juga terjalin dari hati dan pemikiran.

“Sebagai seorang keluarga, sahabat, bila ada sesuatu dalam tidak laku beliau. Kami memohon maaf,” tandasnya. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/