33.4 C
Jakarta
20 November 2024, 15:13 PM WIB

Pandemi, Tradisi “Nyakan Diwang” di Banjar Buleleng Tetap Lestari

SINGARAJA – Sejumlah tradisi yang muncul di Buleleng usai hari raya Nyepi, tetap berlangsung. Salah satunya tradisi nyakan diwang yang digeluti warga di Kecamatan Banjar.

Meski digelar dalam suasana terbatas lantaran pandemi, suasana itu tak mengurangi makna kekeluargaan yang ada.

Seperti yang terjadi di Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar. Warga sudah bersiap melaksanakan tradisi ini sejak pukul 03.00 Senin (15/3) dini hari.

Semakin subuh, makin banyak warga yang melakukan tradisi ini. Salah satu warga setempat, Putu Sosiawan menuturkan, meski suasana sedang pandemi, warga tetap melaksanakan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad itu.

Tradisi ini pun selalu dinanti oleh warga setempat. Baik orang tua, remaja, hingga anak-anak.

Sosiawan menyebut nyakan diwang menjadi momentum bagi masyarakat setempat untuk bercengkrama lebih akrab dengan anggota keluarga.

Biasanya warga akan membuat tungku perapian di depan pintu masuk ke halaman rumah. Proses memasak makanan itu pun menggunakan kayu bakar.

Aneka jenis makanan yang dibuat. Mulai dari nasi, kue tradisional, sate, nasi goreng, atau berbagai panganan lainnya.

Bahkan ada pula yang sekadar menggunakan tungku untuk membuat air panas, demi segelas kopi yang hangat di pagi hari.

“Memang suasananya penuh kekeluargaan. Apalagi di Kayuputih itu kan dingin sekali. Tungku itu jadi tempat berkumpul cari hawa yang hangat. Ngobrol dan bercanda dengan keluarga, sekalian ngopi,” ujar Sosiawan.

Ia mengaku tak tahu secara pasti sejak kapan tradisi itu muncul. Pria yang kini berusia 28 tahun itu, menyebut dirinya sudah tahu keberadaan  tradisi itu secara turun temurun.

“Kakek saya bilang tradisi ini sudah ada dari dulu. Pas kakek saya anak-anak, sudah ketemu tradis ini. Jadi ya warga sudah menganggap ini tradisi sekaligus momen untuk kumpul keluarga,” katanya.

Warga lainnya Putu Dedi Lastika mengatakan, momentum pandemi yang terjadi sejak tahun lalu, membuat pelaksanaan  tradisi sedikit berbeda.

Biasanya tiap tradisi dilakukan, warga akan saling mengunjungi rumah tetangga. Baik itu untuk bertukar panganan, atau sekadar bertegur sapa usai hari raya Nyepi.

“Sekarang juga yang keluar rumah hanya yang muda-muda saja. Yang usia di atas 50 tahun, sudah tinggal di dalam rumah saja,” ungkapnya. 

SINGARAJA – Sejumlah tradisi yang muncul di Buleleng usai hari raya Nyepi, tetap berlangsung. Salah satunya tradisi nyakan diwang yang digeluti warga di Kecamatan Banjar.

Meski digelar dalam suasana terbatas lantaran pandemi, suasana itu tak mengurangi makna kekeluargaan yang ada.

Seperti yang terjadi di Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar. Warga sudah bersiap melaksanakan tradisi ini sejak pukul 03.00 Senin (15/3) dini hari.

Semakin subuh, makin banyak warga yang melakukan tradisi ini. Salah satu warga setempat, Putu Sosiawan menuturkan, meski suasana sedang pandemi, warga tetap melaksanakan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad itu.

Tradisi ini pun selalu dinanti oleh warga setempat. Baik orang tua, remaja, hingga anak-anak.

Sosiawan menyebut nyakan diwang menjadi momentum bagi masyarakat setempat untuk bercengkrama lebih akrab dengan anggota keluarga.

Biasanya warga akan membuat tungku perapian di depan pintu masuk ke halaman rumah. Proses memasak makanan itu pun menggunakan kayu bakar.

Aneka jenis makanan yang dibuat. Mulai dari nasi, kue tradisional, sate, nasi goreng, atau berbagai panganan lainnya.

Bahkan ada pula yang sekadar menggunakan tungku untuk membuat air panas, demi segelas kopi yang hangat di pagi hari.

“Memang suasananya penuh kekeluargaan. Apalagi di Kayuputih itu kan dingin sekali. Tungku itu jadi tempat berkumpul cari hawa yang hangat. Ngobrol dan bercanda dengan keluarga, sekalian ngopi,” ujar Sosiawan.

Ia mengaku tak tahu secara pasti sejak kapan tradisi itu muncul. Pria yang kini berusia 28 tahun itu, menyebut dirinya sudah tahu keberadaan  tradisi itu secara turun temurun.

“Kakek saya bilang tradisi ini sudah ada dari dulu. Pas kakek saya anak-anak, sudah ketemu tradis ini. Jadi ya warga sudah menganggap ini tradisi sekaligus momen untuk kumpul keluarga,” katanya.

Warga lainnya Putu Dedi Lastika mengatakan, momentum pandemi yang terjadi sejak tahun lalu, membuat pelaksanaan  tradisi sedikit berbeda.

Biasanya tiap tradisi dilakukan, warga akan saling mengunjungi rumah tetangga. Baik itu untuk bertukar panganan, atau sekadar bertegur sapa usai hari raya Nyepi.

“Sekarang juga yang keluar rumah hanya yang muda-muda saja. Yang usia di atas 50 tahun, sudah tinggal di dalam rumah saja,” ungkapnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/