SINGARAJA – Sengketa aset di Rumah Sangat Sederhana (RSS) Kayubuntil akhirnya tuntas. Kemarin (31/3), Kantor Pertanahan Buleleng akhirnya menyerahkan sertifikat hak milik (SHM) pada para penghuni RSS Kayubuntil.
Sertifikat itu mengakhiri penantian panjang warga RSS Kayubuntil yang mendambakan SHM selama puluhan tahun.
Penyerahan sertifikat itu dilakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng. Sebelum diberikan SHM, mereka harus menyerahkan uang sebagai pengganti aset senilai Rp 8.447.000.
Pembayaran dilakukan melalui bank milik daerah, dan langsung disetorkan ke kas daerah. Setelah pembayaran tuntas, warga baru diizinkan masuk ke Aula Kejari Buleleng guna menerima SHM yang telah terbit.
Kasi Intel Kejari Buleleng A.A. Jayalantara mengatakan, penyerahan sertifikat ini merupakan tahap pertama. Sementara baru ada 43 orang penghuni yang melakukan pembayaran ganti rugi aset.
Sementara 55 orang lainnya belum melakukan pembayaran. Mereka diberikan tenggat waktu pembayaran hingga hari ini.
“Selama ini kami kan mendampingi pemerintah untuk menyelesaikan masalah aset RSS ini. Sekarang sudah ada titik temu, sesuai dengan regulasi, sudah dilakukan apraisal juga.
Paling penting kan sekarang sudah ada kata sepakat dari warga. Sehingga hari ini warga menerima SHM. Tentu setelah mereka menyelesaikan kewajibannya,” kata Jayalantara.
Sementara itu Kepala Bidang Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng, Made Pasda Gunawan mengatakan,
pihaknya berupaya masalah aset di RSS Kayubuntil segera tuntas. Namun bila hingga batas waktu terakhir, masih ada yang belum selesai, maka pihaknya akan mencarikan jalan keluar.
“Untuk penghuni yang sama sekali tidak bisa membayar, kami akan carikan solusi apakah sertifikat ini bisa dijaminkan. Kalau dijaminkan, masyarakat nanti tinggal membayar cicilannya ke bank,
jadi pihak bank yang nantinya akan membayar tunai ke Pemkab. Sebab di pemerintahan itu, dalam proses penjualan barang milik daerah tidak ada istilah pencicilan, jadi harus disetor utuh ke kas daerah,” kata Pasda.
Sekadar diketahui, sengketa RSS Kayubuntil sudah berlangsung sejak 1994 silam. Awalnya Bupati Buleleng Ketut Wirata Sindhu menerbitkan SK Nomor 580 Tahun 1994.
Dalam SK itu pemerintah memfasilitasi pembangunan RSS sebanyak 98 unit. Warga diberi hak untuk menghuni rumah itu, dengan biaya sewa sebanyak Rp 4.000 per bulan.
Setelah menyewa selama 20 tahun, warga dijanjikan mendapat hak kepemilikan atas rumah tersebut. Faktanya saat itu tak ada warga yang membayar biaya sewa.
Pada tahun 2015, warga pun memperjuangkan agar rumah itu dapat dialihkan hak kepemilikannya pada warga.
Belakangan pada tahun 2016, BPK RI Perwakilan Bali memasukkan RSS Kayubuntil dalam salah satu catatan pengelolaan aset yang harus segera diselesaikan.
Pemerintah mengklaim sudah melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan catatan tersebut. Akhirnya pemerintah memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK)
pada Kejari Buleleng untuk memberikan pendampingan hukum dalam penyelesaian masalah RSS tersebut.