28.2 C
Jakarta
21 November 2024, 20:46 PM WIB

Soal Rebutan Hak Asuh Anak, Penyidik dan Kasubdit Diadukan ke Propam

DENPASAR – Laporan kasus perebutan anak yang dialami ibu muda, Ayu PD, 26, dengan suami dan orang tua sang suami Kadek Agus D, hingga kini belum ada kejelasan di Polda Bali. Yang terbaru, Siti Sapurah selaku kuasa hukum Ayu PD melaporkan tiga penyidik dan Kasubdit IV RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Polda Bali ke Propam Polda Bali. 

 

“Laporannya dilakukan pada Senin (5/4),” kata Siti Sapurah di Denpasar, Rabu (7/4).

 

Laporan ini dibuat bermula dari adanya laporan pengaduan yang dilakukan Ayu PD, terhadap suaminya Kadek Agus D serta mertuanya terkait hak asuh anak. Laporan itu dibuat ke Polda Bali.

 

Namun laporan itu terkesan diproses lamban. Sehingga sebagai kuasa hukum, Siti Sapurah menanyakan perkembangan laporan itu ke Polda Bali. 

 

“Tapi Kasubdit IV (RPK) awalnya bilang masih lidik. Tetapi setelah beberapa hari malah klien kami dipanggil. Alasannya untuk meminta bahwa klien kami diminta untuk rujuk dulu dengan suami, urus nikah secara hukum dan urus surat nikah, akta kelahiran anak lalu setelah itu baru gugat perdata, gugat cerai dan meminta hak asuh anak,” terang wanita yang akrab disapa Ipung ini. 

 

Ipung mengaku sangat heran dengan opsi yang ditawarkan oleh pihak penyidik RPK Polda Bali. Ipung menganggap bahwa penawaran itu sungguh tidak masuk akal.

 

“Bayangkan, penyidik Polda Bali yang seorang perwira yang kita anggap semestinya tahu hukum malah memberikan opsi yang tidak masuk akal. Itu menurut saya,” tegasnya. 

 

Menurut Ipung, polisi harusnya menyelamatkan nasib anak yang sedang berada di pusaran kasus ini. Di mana anak tersebut merupakan anak di bawah umur yang kini masih berusia 7 bulan.

 

Namun, bukannya menyelamatkan anak di bawah umur, penyidik dan Kasubdit IV RPK Polda Bali malah berjibaku mencari siapa benar, siapa salah dari kasus ini.

 

Dari sana, Ipung menilai jika para penyidik dalam kasus sangat tidak kompeten dalam mengurusi kasus yang berkaitan dengan masalah anak di bawah umur. 

 

“Maaf, tidak mengurangi rasa hormat saya. Saya menganggap penyidik RPK Polda Bali dalam kasus ini tidak mumpuni tentang ilmu hukum. Tidak tahu tentang hak anak, tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak tahu tentang Undang-Undang Kesehatan dan tidak tahu tentang hukum perkawinan. Semestinya belajar dulu dong,” tegasnya. 

 

Dalam kasus ini, dia mengaku memiliki tiga surat sakti yang bisa jadi acuan bahwa anak yang diperebutkan dalam kasus ini sepatutnya diserahkan kepada ibu kandung, Ayu PD.

 

Yang pertama yakni Prof Wayan Windia yang merupakan ahli hukum adat, lalu surat dari kementerian PPPA,dan Dr. Dewi Bunga ahli hukum pidana UNHI. Di mana secara jelas, ketiga “surat sakti” mengatakan dengan jelas, jika perkawinan secara adat maka anak yang dilahirkan pada saat itu adalah yang punya hubungan perdata dengan ibu kandungnya. 

 

“Artinya apa, legowo dong memberikan anak ini ke orang yang lebih berhak. Tapi Itu tidak dilakukan oleh penyidik RPK Polda Bali. Saya berpikir apakah tidak salah nih Kapolda Bali menaruh seseorang di RPK Polda Bali yang tidak mengerti undang-undang,” tanya Ipung.

 

Sebelumnya, Ayu PD mengaku kerap dianiaya oleh suaminya, Kadek Agus D. Tidak cukup sampai di situ, Ayu kini tidak diizinkan untuk bertemu dengan buah hati mereka yang masih berusia 7 bulan.

 

Kejadian itu bermula pada Oktober 2019 lalu. Saat itu, karena rasa cinta, Ayu PD memutuskan menikah dengan Kadek Agus D. Pernikahan itu dilakukan secara adat Bali. Pasalnya keduanya bertarbelakang agama berbeda. Di mana Ayu beragama Budha, sedangkan Kadek beragama Hindu. 

 

Di awal pernikahan, semuanya berjalan baik. Ayu bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan sang suami tidak bekerja. Hingga akhirnya, Ayu masuk ke fase hamil besar. Kadek Agus mulai menunjukan sisi kasarnya. “Pas hamil besar mulai ada kekerasan. Saya sering ditinggal malam-malam untuk mabuk dan judi. Saya didorong diusir dari rumah gara-gara saya gak mau diajak ke kampungnya. Karena saat itu saya sering kontraksi,” ujar Ayu mengisahkan kejadian itu sambil bercucur air mata beberapa waktu lalu. 

 

Lalu saat buah hati pertama mereka lahir tepat di usianya 7 bulan, Ayu masih mendapatkan perlakuan keras dari suami. Puncaknya Oktober tahun 2020, Ayu memutuskan keluar dari rumah sang suami di Jalan Ahmad Yani, Denpasar karena tidak tahan dengan aksi kekerasan yang secara berulang dialaminya. Ayu kembali ke rumah orang tuanya di Lukluk Badung. 

 

Ayu sempat melapor ke Polresta Denpasar atas kasus penganiayaan oleh sang suami. Ayu sempat kembali ke rumah sang suami untuk mengambil barang-barang pribadinya. Di dampingi polisi, Ayu berangkat ke rumah sang suami. Setibanya di sana, ternyata semua barang pribadinya telah disimpan di luar rumah dan dikemas menggunakan kantong kresek. Tidak cukup sampai di situ, Ayu tidak diizinkan bertemu dengan buah hatinya. 

 

Bahkan, dia menceritakan jika ayah dari suaminya melarang dia untum bertemu sang buah hati. “Saat saya ingin bertemu, mereka selalu beralasan sedang berada di Karangasem,” ujar Ayu.

DENPASAR – Laporan kasus perebutan anak yang dialami ibu muda, Ayu PD, 26, dengan suami dan orang tua sang suami Kadek Agus D, hingga kini belum ada kejelasan di Polda Bali. Yang terbaru, Siti Sapurah selaku kuasa hukum Ayu PD melaporkan tiga penyidik dan Kasubdit IV RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Polda Bali ke Propam Polda Bali. 

 

“Laporannya dilakukan pada Senin (5/4),” kata Siti Sapurah di Denpasar, Rabu (7/4).

 

Laporan ini dibuat bermula dari adanya laporan pengaduan yang dilakukan Ayu PD, terhadap suaminya Kadek Agus D serta mertuanya terkait hak asuh anak. Laporan itu dibuat ke Polda Bali.

 

Namun laporan itu terkesan diproses lamban. Sehingga sebagai kuasa hukum, Siti Sapurah menanyakan perkembangan laporan itu ke Polda Bali. 

 

“Tapi Kasubdit IV (RPK) awalnya bilang masih lidik. Tetapi setelah beberapa hari malah klien kami dipanggil. Alasannya untuk meminta bahwa klien kami diminta untuk rujuk dulu dengan suami, urus nikah secara hukum dan urus surat nikah, akta kelahiran anak lalu setelah itu baru gugat perdata, gugat cerai dan meminta hak asuh anak,” terang wanita yang akrab disapa Ipung ini. 

 

Ipung mengaku sangat heran dengan opsi yang ditawarkan oleh pihak penyidik RPK Polda Bali. Ipung menganggap bahwa penawaran itu sungguh tidak masuk akal.

 

“Bayangkan, penyidik Polda Bali yang seorang perwira yang kita anggap semestinya tahu hukum malah memberikan opsi yang tidak masuk akal. Itu menurut saya,” tegasnya. 

 

Menurut Ipung, polisi harusnya menyelamatkan nasib anak yang sedang berada di pusaran kasus ini. Di mana anak tersebut merupakan anak di bawah umur yang kini masih berusia 7 bulan.

 

Namun, bukannya menyelamatkan anak di bawah umur, penyidik dan Kasubdit IV RPK Polda Bali malah berjibaku mencari siapa benar, siapa salah dari kasus ini.

 

Dari sana, Ipung menilai jika para penyidik dalam kasus sangat tidak kompeten dalam mengurusi kasus yang berkaitan dengan masalah anak di bawah umur. 

 

“Maaf, tidak mengurangi rasa hormat saya. Saya menganggap penyidik RPK Polda Bali dalam kasus ini tidak mumpuni tentang ilmu hukum. Tidak tahu tentang hak anak, tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak tahu tentang Undang-Undang Kesehatan dan tidak tahu tentang hukum perkawinan. Semestinya belajar dulu dong,” tegasnya. 

 

Dalam kasus ini, dia mengaku memiliki tiga surat sakti yang bisa jadi acuan bahwa anak yang diperebutkan dalam kasus ini sepatutnya diserahkan kepada ibu kandung, Ayu PD.

 

Yang pertama yakni Prof Wayan Windia yang merupakan ahli hukum adat, lalu surat dari kementerian PPPA,dan Dr. Dewi Bunga ahli hukum pidana UNHI. Di mana secara jelas, ketiga “surat sakti” mengatakan dengan jelas, jika perkawinan secara adat maka anak yang dilahirkan pada saat itu adalah yang punya hubungan perdata dengan ibu kandungnya. 

 

“Artinya apa, legowo dong memberikan anak ini ke orang yang lebih berhak. Tapi Itu tidak dilakukan oleh penyidik RPK Polda Bali. Saya berpikir apakah tidak salah nih Kapolda Bali menaruh seseorang di RPK Polda Bali yang tidak mengerti undang-undang,” tanya Ipung.

 

Sebelumnya, Ayu PD mengaku kerap dianiaya oleh suaminya, Kadek Agus D. Tidak cukup sampai di situ, Ayu kini tidak diizinkan untuk bertemu dengan buah hati mereka yang masih berusia 7 bulan.

 

Kejadian itu bermula pada Oktober 2019 lalu. Saat itu, karena rasa cinta, Ayu PD memutuskan menikah dengan Kadek Agus D. Pernikahan itu dilakukan secara adat Bali. Pasalnya keduanya bertarbelakang agama berbeda. Di mana Ayu beragama Budha, sedangkan Kadek beragama Hindu. 

 

Di awal pernikahan, semuanya berjalan baik. Ayu bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga, sedangkan sang suami tidak bekerja. Hingga akhirnya, Ayu masuk ke fase hamil besar. Kadek Agus mulai menunjukan sisi kasarnya. “Pas hamil besar mulai ada kekerasan. Saya sering ditinggal malam-malam untuk mabuk dan judi. Saya didorong diusir dari rumah gara-gara saya gak mau diajak ke kampungnya. Karena saat itu saya sering kontraksi,” ujar Ayu mengisahkan kejadian itu sambil bercucur air mata beberapa waktu lalu. 

 

Lalu saat buah hati pertama mereka lahir tepat di usianya 7 bulan, Ayu masih mendapatkan perlakuan keras dari suami. Puncaknya Oktober tahun 2020, Ayu memutuskan keluar dari rumah sang suami di Jalan Ahmad Yani, Denpasar karena tidak tahan dengan aksi kekerasan yang secara berulang dialaminya. Ayu kembali ke rumah orang tuanya di Lukluk Badung. 

 

Ayu sempat melapor ke Polresta Denpasar atas kasus penganiayaan oleh sang suami. Ayu sempat kembali ke rumah sang suami untuk mengambil barang-barang pribadinya. Di dampingi polisi, Ayu berangkat ke rumah sang suami. Setibanya di sana, ternyata semua barang pribadinya telah disimpan di luar rumah dan dikemas menggunakan kantong kresek. Tidak cukup sampai di situ, Ayu tidak diizinkan bertemu dengan buah hatinya. 

 

Bahkan, dia menceritakan jika ayah dari suaminya melarang dia untum bertemu sang buah hati. “Saat saya ingin bertemu, mereka selalu beralasan sedang berada di Karangasem,” ujar Ayu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/