DENPASAR – Setelah kasusnya diblejeti penyidik Satreskrim Polres Badung dan Ditreskrimum Polda Bali, pengusaha sukses asal Sulawesi Selatan berinisial ZT yang sukses membangun bisnis wisata di Bali akhirnya angkat bicara.
ZT, melalui kuasa hukumnya, Mila Tayeb Sedana membongkar ihwal awal kasus yang melilit kliennya.
Versi ZT, kasus tersebut bermula sekira tahun 2013, pelapor Hendar Giacomo Boy Syam datang menemui ZT di rumahnya untuk membicarakan rencana kerja sama mengelola tanah seluas 17.302 m2, yang terletak di Desa Cemagi.
Hasil pembicaraan disepakati antara lain dari luas tanah 17.302 M2, yang dikerjasamakan hanya seluas 13.700 M2, dengan catatan luas tanah yang tidak dijual adalah 1.700 M2,
yang terbagi menjadi dua blok, yakni Blok Beach Club seluas 900 M2 dan Blok A seluas 800 M2 dan satu tanah lagi seluas 1.700 M2.
Total tanah yang tidak dijual kurang lebih seluas 3.400 M2, yang kemudian kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam Akte No. 33
Pembangunan dan Penjualan Properti Ombak Luxury Residence, yang diterbitkan oleh Notaris BF. Harry Prastawa di Badung, tertanggal 27 September 2017.
Dalam pembuatan draft perjanjian Yuri Pranatomo mengadopsi contoh yang pernah ada di PT. Mirah Bali Kontruksi.
Setelah dokumen perjanjian tersebut sudah dianggap selesai dan lengkap selanjutnya Notaris membawa Perjanjian tersebut untuk dibacakan
dihadapan ZT dan pelapor, Hendar Giacomo Boy Syam yang dimana para pihak sudah mengetahui isi perjanjian tersebut.
Mengenai harga per 1 meter tanah seluas 13.700 M2 ditetapkan sebesar Rp 4.500.000 sehingga nilai tanah total keseluruhan adalah Rp 61.650.000.000 dengan termint pembayaran sesuai perjanjian kerjasama pembangunan.
“Pembangunan tersebut adalah berasal dari klien kami yang diperoleh dari pinjaman pribadi di Bank CIMB NIAGA sebesar Rp.20.000.000.000, dan terhadap uang tersebut
PT. Mirah Bali Konstruksi telah melakukan pembayaran dengan cara mengangsur namun sampai saat ini belum dibayarkan kembali oleh pelapor Hedar Giacomo Boy kepada klien kami sebesar Rp 6 M,” beber Mila Tayeb.
Pemasaran dan penjualan pun dilakukan oleh PT tersebut. Dimana semua perencanaan dan pelaksanaannya diatur langsung oleh pelapor selaku direktur.
Menurut Mila Tayeb Sedana, selain uang Rp 6 M belum dibayar, ternyata tanah seluas 1.700 M2 tidak termasuk dalam perjanjian tapi dijualkan ke pihak ketiga Chisyopher Edward Kidd oleh pelapor.
“Uang hasil penjualan tanah, hingga kini tidak pernah diserahkan kepada Klien kami,” papar Mila Tayeb lagi.
Tekait itu, pihaknya telah melaporkan ke Ditrreskrimum Polda Bali, tertanggal 20 Okrober 2020. Alih-alih mengembaikan uang sebesar Rp 6 M
dan hasil penjualan tanah seluas 1.700 M2 , Hendar Giacomo Boy Syam malah melaporkan kliennya ke Polres Badung 5 Februari 2020.
“Ironisnya mendapat dukungan dari oknum penyidik dan JPU sehingga klien kami ZT ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Mila Tayeb Sedana.
Berdasar fakta hukum, kata dia, tidak ada perbuatan pidana yang dilakukan kliennya ZT, sehingga sangat nyata kalau penetapan ZT sebagai tersangka oleh Tim Penyidik
Satreskrim Polres Badung adalah bertentangan hukum, tindakan yang semena-mena (obuse of power) dan kesesatan dalam menjalankan hukum acara pidana (misbruik van rect process).
“Rekayasa dan kriminalisasi yang dilakukan oknum Tim Penyidik Satreskrim Polres Badung tidak mencerminkan Polri yang Presisi,” kilahnya.
Pun tidak mengindahkan statement Presiden Joko Widodo yang mengultimatum akan mencopot para penegak hukum yang terlibat mafia,
yang kerap “menggigit” orang yang benar, serta melindungi orang yang bersalah, yang hendaknya menjadi perhatian Kapolri dan Jaksa Agung RI.
Terkait dengan respons kuasa hukum ZT, Mila Tayeb, dengan santai kuasa hukum Hendar Giacomo Boy Syam bernama Bernadin sebut bahwa polisi menetapkan status tersangka bagi seorang itu berdasarkan alat bukti yang cukup.
“Ya, kami percayakan kepada penyidik polri, tentu saja penyidik menentukan langkah secara profesional,” papar Bernadin.