DENPASAR – Permasalahan taksi di Bandara I Gusti Ngurah Rai tak pernah usai. Kali ini, Koperasi Taxi Ngurah Rai Bali bertemu dengan Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama didampingi Ketua Komisi III DPRD Bali AA Ngurah Adhi Ardhana.
Permasalahannya mereka merasa didiskriminasi oleh pihak PT. Angkasa Pura terkait keberadaan mereka karena tidak mendapatkan legal standing (kerjasama kontrak).
Ketua Koperasi Taxi Ngurah Rai Bali, I Kade Ari Sucitha, mengatakan bahwa keberadaan mereka di Bandara Ngurah Rai sudah selama 40 tahun. Tepatnya sejak 1979.
Pertama kali kerjasama terjalin tahun 1979 hingga 1997. Setelah itu kerjasama berubah, koperasi Taxi malah dibawah Kokapura (Koperasi Karyawan) bandara.
Tak bisa berbuat banyak sampai tahun 2018 Koperasi Taxi Ngurah Rai berada di Kokapura, tak sesuai hukum yang mana Kokapura tidak memiliki izin operasional penyelenggaraan transportasi.
“Itu koperasi hanya koperasi karyawan biasa. Kami membawa permasalahan di Taxi Ngurah Rai Bali terkait legalitas. Keberadaan kami statusnya quo perjanjian terakhir 2018.
Sampai saat ini tidak pernah ada niat memperbaiki kesalahan Angkasa Pura karena perjanjian itu awalnya tahun 1979 sampai 1997 perjanjian langsung ke manajemen.
“Setelah tahun 1997 kami tidak tahu diarahkan perjanjian ke Kokapura (Koperasi Karyawan ) notabene tidak sejalan dengan Koperasi Taxi, jadi hanya dipakai batu loncatan,” ujarnya.
Kadek Ari menjelaskan Kokapura ini kerap lepas tanggung jawab kalau ada masalah, sedangkan jika ada pungutan Kokapura menaikkan nilai pungutan supaya mendapat lebih.
Berapa kali Koperasi Taxi Ngurah Rai mencoba berkomunikasi dengan pihak bandara maupun Angkasa Pura sayangnya tidak direspons.
Ketika dipertanyakan, pihak Angkasa Pura menjawab bahwa sudah menjadi keputusan Direksi Pusat.
“Kalau ada masalah mereka lepas karena satu manajemen dan kalau ada pungutan mereka menaikkan untuk mereka dapatkan.
Ini menurut kami tidak benar, 2018 kami berusaha merevisi perjanjian itu direct APK tidak ada respon namun demikian pelayanan dari GM kami minta tetap melayani. Jadi, ini tidak fair,” ucapnya.
Di sisi lain, mereka menghembuskan aturan terbaru transportasi di bandara harus memakai listrik. Bagi Koperasi Taxi Ngurah Rai konyol karena tidak mungkin karena kondisi pandemi dan ekonomi sedang terpuruk.
“Untuk makan susah apalagi mobil listrik yang harganya fantastis. Kalau tidak salah harganya Rp 600 juta,” cetusnya.
Maka dari itu mereka berharap setelah mengadu ke DPRD Bali, bisa memberikan solusi dan memecahkan permasalahan ini.
“Kami tidak pernah dihiraukan. Maka kami ke DPRD Bali untuk meminta pertolongan karena mereka wakil rakyat. Apapun itu kami siap memberikan data dengan benar,” tegas Kadek Ari.
Hal yang dituntut, mereka mendapat kejelasan kedudukan hukum yakni kontrak kerjasama. Dengan adanya kontrak tertulis memudahkan mereka mendapatkan dana sponsor atau pinjaman dari bank.
Pinjaman ini dijelaskan untuk persiapan new normal setelah pandemi yang tentu sopir membutuhkan banyak biaya untuk perawatan mobil taxi mereka.