SINGARAJA – Kasus illegal logging merajalela di kawasan hutan Bali Barat. Aparat polisi hutan pun tak berkutik karena aksi itu dilakukan beramai-ramai.
Aparat bahkan pernah diancam menggunakan senjata tajam (sajam) jenis celurit. Mereka akhirnya meminta bantuan dari aparat keamanan, termasuk TNI untuk menangani pembalakan liar di kawasan tersebut.
Terakhir kali aksi pembalakan liar terindikasi berlangsung pada 7 Mei dan 27 Mei lalu. Petugas dari Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bali Utara
sempat memergoki empat unit sepeda motor mengangkut kayu sonokeling dari hutan di kawasan Tegal Muara, Desa Pejarakan.
Ketika itu polhut hanya berhasil mengamankan satu unit sepeda motor saja. “Dua lagi masuk ke dalam hutan, yang satu berhasil lari sampai ke jalan raya.
Sepeda motor yang kami dapat itu sekarang diamankan di RPH Gerokgak di Desa Banyupoh,” ungkap Kepala KPH Bali Utara I Ketut Suastika.
Belakangan pada 27 Mei aparat kembali mendapat informasi adanya aksi pengangkutan kayu sonokeling ilegal dari kawasan Tegal Muara.
Polhut pun berusaha menindaklanjuti informasi tersebut. Benar saja, ditemukan aktivitas bongkar muat kayu dengan menggunakan satu unit truk. Polhut keder melakukan penyergapan.
“Waktu itu ada 45 orang. Sedangkan petugas kami hanya 3 orang saja. Sehingga kami hanya mengintai saja. Akhirnya kami minta bantuan ke aparat terkait, termasuk ke TNI mengungkap masalah ini,” kata Suastika.
Rupanya ini bukan pertama kalinya polhut gentar melakukan penyergapan. Sudah berkali-kali Polhut urung melakukan penyergapan, karena mempertimbangkan keselamatan personil.
Acap kali petugas yang melakukan penyergapan, justru diancam oleh oknum warga yang melindungi aksi pembalakan liar.
“Kami nangkap satu orang, sebentarnya datang ramai-ramai. Langsung disuruh kembalikan orang yang kami tangkap.
Kalau nggak, celurit di leher. Sering kejadian begitu. Terakhir ya tanggal 26 dan 27 Mei itu,” kata Ngurah Gede, personel Polhut Provinsi Bali.
Sore kemarin (2/6), pihak terkait pun menggelar pertemuan khusus di DPRD Buleleng. Pertemuan itu dihadiri institusi penegak hukum seperti TNI, Polri, dan Kejaksaan.
Hadir pula unsur dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali, Taman Nasional Bali Barat (TNBB), serta masyarakat sekitar hutan.
Dalam pertemuan tersebut, Komandan Kodim 1609/Buleleng Letkol Inf Muhammad Windra Lisrianto sempat dibuat meradang.
Penyebabnya adalah tindakan arogan dari oknum masyarakat yang melindungi aksi pembalakan liar. Letkol Inf Windra Lisrianto mengatakan pihaknya sudah menerjunkan tim intelijen untuk menelusuri aksi pembalakan itu.
Diduga ada oknum warga di sekitar hutan yang menjadi backing aksi tersebut. Letkol Inf Windra Lisrianto menyebutnya sebagai ‘preman hutan’.
“Saya tahu orang-orangnya. Tapi kami di militer tidak punya wewenang menangkap sipil. Kami minta orang-orang ini menyerahkan diri saja.
Kalau terjadi lagi aksi-aksi preman seperti itu, aparat pasti akan melakukan tindakan sesuai kondisi lapangan,” tegasnya.