NUSA DUA, Radar Bali – Dalam praktik hubungan internasional, setiap negara sebagai bagian dari masyarakat internasional memiliki hubungan yang saling ketergantungan sehingga perlu untuk saling bekerja sama baik secara bilateral, regional dan multilateral. “Sejarah menunjukkan bahwa negara yang kuat adalah negara yang maju secara ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan, serta didukung oleh keterwakilan kepentingan-kepentingan nasionalnya di forum-forum internasional” kata Cahyo pada sambutannya dalam kegiatan NGOPHI (Ngobrol Bareng OPHI) dengan tema “Sinergitas Kerja Sama Penegakan Hukum Lintas Batas Negara dan Diskusi Publik Isu Kontemporer Hukum Internasional”.
Negara yang kuat dapat dicapai dengan memastikan dan menjaga kedaulatan negara Indonesia. Gubernur Bali, Wayan Koster, yang turut membuka acara NGOPHI menyampaikan bahwa “pengamanan batas negara merupakan wujud eksistensi suatu negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan penduduk dan wilayah dari berbagai jenis ancaman terhadap negara”. “Untuk mempertahankan kedaulatan negara, salah satu caranya adalah dengan kerja sama internasional melalui forum-forum internasional” imbuh Cahyo.
Indonesia dalam memajukan kepentingan nasionalnya perlu menjadi anggota dan ikut serta menentukan arah kebijakan organisasi internasional dimana Indonesia menjadi anggota, seperti pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), ASEAN, G20, UNIDROIT, dan ICSID. “Keterwakilan Indonesia dalam forum-forum tersebut harus dipastikan dapat mendorong kepentingan Indonesia” tambah Cahyo. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kerja sama dan koordinasi antara Kementerian/Lembaga, baik pemerintah pusat maupun daerah, untuk bersinergi memastikan kepentingan Indonesia tersebut dapat terwakilkan di forum-forum internasional tersebut.
Kegiatan NGOPHI ini berasal dari kata OPHI yang merupakan singkatan dari Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, yaitu salah satu direktorat di bawah Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Tugas dan fungsi OPHI adalah memberikan pelayanan publik kepada aparat penegak hukum. Dengan kata lain, OPHI adalah pelayan publik dari instansi penegak hukum pada saat instansi penegak hukum tersebut akan melakukan kerja sama antar negara khususnya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing.
“OPHI membantu ketika penyidik memerlukan informasi atau alat bukti atau upaya-upaya yang sifatnya coersive di luar negeri. Salah satu contohnya adalah kasus ‘kopi sianida’. Kami bersama-sama dengan Polda Metro Jaya membantu penyidik agar dapat,mengumpulkan semua bukti dan informasi untuk kepentingan penuntutan dan juga mencapai keadilan bagi korban. Polda Metro Jaya melalui Bareskrim mengajukan permintaan MLA kepada OPHI untuk mengumpulkan bukti di Australia dan meminta keterangan saksi yang berdomisili dan berkewarganegaraan Australia. Saat ini kasus tersebut telah mencapai putusan yang bersifat inkracht.” jelasnya.
Salah satu keberhasilan OPHI lainnya adalah pada tahun 2013 di Bali, Pemerintah Indonesia berhasil mengekstradisi buronan dari Italia, Antonio Messicati Vitale. Keberhasilan ini merupakan sinergitas yang baik antara Pemerintah Provinsi Bali, Polda Bali, Kejaksaan Tinggi Bali, dan Kementerian Luar Negeri dalam mengekstradisi buronan tersebut kembali ke negaranya.
Lebih lanjut Cahyo juga menyampaikan peran Ditjen AHU dalam mendukung kebijakan Presiden untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia dengan memastikan Indonesia memiliki institutional and legal infrastructure yang mendukung kemudahan berusaha di Indonesia, yang dapat tercermin dalam peringkat Ease of Doing Business (EoDB).
Kegiatan NGOPHI ini menghadirkan narasumber yang berasal dari Bareskrim Polri, Kejaksaan, Babinkum TNI, Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Non-Aligned Movement CSSTC, Universitas Airlangga, Universitas Udayana dan Yayasan Peduli Timor Barat. Adapun tiga topik diskusi yang dibahas, yaitu: “Tantangan Pembuktian dan Kerja Sama Penegakan Hukum Lintas Batas Negara di Masa Pandemi Covid-19”, “Penanganan Kasus Tumpahan Minyak Montara” dan “Tantangan implementasi Hukum Humaniter Internasional pada Konflik Bersenjata Modern”.
Pandemi Covid-19 yang dialami seluruh negara di dunia saat ini memberikan pengaruh yang signifikan termasuk pada sektor penegakan hukum lintas negara. Setiap negara dituntut untuk beradaptasi dalam segala keterbatasan yang timbul dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam mekanisme Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Asisstance in Criminal Matters (MLA) dan Ekstradisi
Terkait penanganan kasus tumpahan minyak Montara, Kementerian Hukum dan HAM sebagai anggota Task Force Percepatan Penyelesaian Tumpahan Minyak Montara bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, terus berupaya untuk menyelesaikan kasus Tumpahan Minyak Montara. Berbagai upaya terus dilakukan termasuk penyusunan strategi kebijakan percepatan penyelesaian baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pengkajian berbagai kemungkinan forum penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh seperti arbitrase internasional merupakan suatu isu yang krusial.
Pada sesi terakhir diskusi dijelaskan mengenai Hukum Humaniter Internasional yang belum banyak dipahami oleh masyarakat luas. Namun, perkembangan yang terjadi di sejumlah kawasan menunjukkan masih relevannya diseminasi Hukum Humaniter Internasional, terutama mengingat Indonesia merupakan pihak pada Konvensi Jenewa 1949.