DENPASAR – Penggunaan GeNose C-19 sebagai patokan di bandara kembali dipertanyakan oleh sejumlah golongan. Karena untuk akurasi genose sendiri masih rendah.
Pengakuan ini diungkapkan langsung oleh salah seorang sumber saat ditemui Radarbali.id, Minggu (20/6). Sumber Radarbali.id ini mengatakan, saat hendak terbang dari Bandara Kupang menuju Bali, dia di tes menggunakan GeNose C-19.
“Saya disuruh niup itu (alat tes GeNose). Terus hasilnya positif. Petugas lalu nyuruh minum air putih,” ujarnya.
Ditemani oleh sejumlah keluarganya, dia lantas minum air putih satu botol. Setelah itu, dia kembali daftar dan membayar untuk tes GeNose.
Hasilnya, ternyata negatif covid 19 dan kemudian diijinkan terbang ke Bali. “Awalnnya positif (covid-19) kan. Disuruh minum air putih, kemudian tes ulang pakai GeNose juga,
eh hasilnya jadi negatif,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala menceritakan pengalamannya tersebut saat hendak akan terbang ke Bali.
Penggunaan GeNose C-19 sebagai syarat untuk bisa ke Bali memang dianggap belum akurat. Terlebih, penggunaan tersebut masih berlaku bila pariwisata di Bali kembali di buka pada bulan Juli 2021.
Perlu ada cara lain yang mesti dilakukan bila pariwisata Bali di buka. Salah satunya adalah penerapan test PCR.
Artinya, kata ahli virologi dan molekuler biologi Universitas Udayana Prof. I Gusti Ngurah Mahardika, jika pariwisata Bali mau dibuka, wisatawan yang ke Bali harus sudah di vaksinasi dan membawa hasil tes PCR.
“Iya, harus sudah di vaksin dan hasil PCR nya negative. Baru boleh masuk Bali, sehingga Bali ini aman di buka,” tegas Prof. Mahardika saat diskusi bersama awak media di Denpasar.
Hal ini penting, karena selama ini penanganan Covid 19 di Indonesia, termasuk Bali masih belum maksimal.
“Ukurannya itu bagaimana bisa mengendalikan Covid 19. Untuk dikatakan mampu dikendalikan, ada beberapa yang harus dilihat, salah satunya adalah hunian rumah sakit,” sebutnya.
Yang menarik, sejatinya tak masalah bila kasus harian meningkat, asalkan pengujian melalui PCR juga meningkat. Ini penting.
Namun, faktanya data jumlah PCR di Bali yang dilakukan dalam setiap harinya di Bali sangat sulit dicari.
Radarbali.id beberapa kali mencoba meminta data jumlah harian PCR di Bali ke Dinas Kesehatan, namun tak pernah mau ditanggapi.
Padahal, jika melihat kapasitas Laboratorium pemeriksaan di Bali sebanyak 2120, seharusnya jumlah ini sudah dapat memenuhi target jumlah pemeriksaan dalam setiap harinya.
Bila dihitung dengan standarisasi WHO 1:1000, maka dari 4 juta penduduk Bali, dalam per pekan Bali harus melakukan 4.000 uji PCR warganya.
“Sekarang ada berapa yang positif per hari? Di bawah seratus?, yang sekarang angka itu tinggal dikali tiga saja untuk test PCR (tracing).
Dengan jumlah kapasitas laboratorim sebanyak itu, harusnya itu sudah over kapasitas. Apalagi kalau pemerintah mau mengembangkan teknologinya dengan PCR robot, nggak pake manual lagi,” saran Prof. Mahardika.
Baginya, saat ini pemerintah telah gagal mengendalikan Covid 19. Terlebih, pemerintah lebih banyak PHP (Pemberi Harapan Palsu), dibanding mengedepankan keilmuan dalam menghadapi pandemi seperti ini.
“Kita belum mengatasi Covid 19 dengan benar. Pemerintah lebih banyak memberikan PHP aja. Seperti penggunaan jamu, arak dan lainnya yang sejatinya tak ada dasar ilmiahnya,” sebutnya.
“Arak? Sebenarnya itu nggak ada fakta pendukung sama sekali (jadi obat covid-19). Arak tidak akan mampu menekan itu. Harusnya, letakan science dulu, baru politik dan ekonomi,” tutupnya.