DENPASAR – Akademisi dan ilmuwan meminta Pemprov Bali tidak setengah hati dalam mencegah penyebaran Delta varian baru Covid-19 ke Bali.
Kebijakan meniadakan rapid test antigen dan GeNose untuk pelaku perjalanan udara, tapi mengizinkan rapid test antigen untuk perjalan darat dinilai tidak tepat.
Pakar virologi Universitas Udayana (Unud) Prof I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan, jika tujuannya Pemprov Bali mencegah masuknya virus dari luar Bali,
maka kebijakan mengizinkan penggunaan rapid test antigen bagi pelaku perjalanan darat tidak ada gunanya.
Semestinya syarat masuk Bali bai pelaku perjalanan darat dan pesawat disamakan, yakni wajib negatif swab-PCR.
“Percuma pintu masuk lewat udara diperketat, tapi lewat laut dan darat masih longgar. Apalagi penumpang pesawat udara lebih kecil dibandingkan lewat darat atau laut,” tegas Mahardika kepada Jawa Pos Radar Bali, kemarin.
Ilmuwan asal Jembrana itu kembali menegaskan keyakinannya, bahwa Delta sudah masuk ke Bali.
“Saya meyakini pasti, pasti, pasti Delta sudah masuk ke Bali karena filter masuk ke Bali sangat longgar. Cukup dengan rapid test antigen dan GeNose, sementara kedua alat tes itu tidak bisa mendeteksi Delta,” paparnya.
Mahardika mengusulkan kebijakan yang menurutnya lebih efektif dalam mencegah potensi penularan virus dari luar Bali.
Ia mengusulkan setiap orang yang masuk ke Bali wajib menunjukkan bukti sudah menerima vaksin dosis lengkap atau dua kali.
Dengan demikain, meski tidak dites swab-PCR risiko menularkan lebih rendah daripada yang tidak divaksin.
Memang, lanjut Mahardika, terlalu dini seperti untuk menjadikan vaksin sebagai syarat perjalanan, Sebab, hingga kini persentase penduduk yang sudah divaksin masih kecil.
“Jika tidak bisa menunjukkan bukti sudah divaksin, maka pilihannya menunjukkan tes negatif swab-PCR baik perjalanan lewat udara, darat, maupun laut,” tukasnya.
Ditanya pemerintah apakah harus segera membuka data jika Delta sudah masuk ke Bali, Mahardika mengatakan pemerinta harus jujur.
Apalagi sesuatu yang berpotensi membahayakan keselamatan warga. Maka, pemerintah wajib mengumumkan ke publik.
Kendati demikian, pihaknya tidak yakin Pemprov Bali memiliki kapasaitas untuk melacak varian virus baru dengan cepat.
Sampel yang diambil sekarang harus dikirim ke Jakarta untuk diteliti. Untuk mendapatkan hasil perlu waktu sebulan, bahkan bisa empat bulan. Hal itu tentu telat.
Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya lembaga khusus yang ditugaskan gubernur untuk mengkaji berbagai varian Covid-19.
“Sekarang diambil sampelnya, empat bulan kemudian baru keluar hasilnya. Tentu itu tidak ada artinya. Sebab virus terus bermutasi,” bebernya.