RadarBali.com – Keputusan Pengadilan Niaga Surabaya mempailitkan PT Hardys Retailindo, Kamis (9/11) lalu mengagetkan publik Bali.
Masyarakat bertanya-tanya, apa penyebab perusahaan retail lokal besar ini pailit. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Ternyata faktor utama yang menyebabkan Hardys Retailindo dinyatakan pailit lantaran tidak sanggup membayar utang kepada pihak perbankan (kreditur) sebesar Rp 2,3 triliun.
Mantan owner PT Hardys Retailindo Gede Agus Hardiawan mengatakan, ada berapa faktor yang membuat Hardys gagal membayar utang kepada pihak bank.
Mulai dari turunnya daya beli masyarakat, kemudian menjamurnya toko berjejaring nasional yang merambah hampir ke seluruh daerah di Bali.
“Dengan keberadaan minimarket, masyarakat enggan belanja ke supermarket. Konsep berbelanja konsumen jadi berubah,” ujar Gede Agus Hardiawan, Sabtu (18/11) lalu.
Selain itu, kata dia, keberadaan toko online dan perkembangan transportasi online memberi pengaruh signifikan.
Di Denpasar sendiri, bisnis retail mulai tergerus e-commerce. Masyarakat yang berbelanja di retail untuk bulanan kini hanya membeli seperlunya saja.
“Jadi, dengan adanya transportasi online tinggal pesan, datang ke rumah. Tidak perlu lagi capek-capek,” jelas dia.
Dia mengakui, Hardys Retailindo selama ini belum memiliki rencana masuk ke bisnis online, sesuatu yang telah dilakukan kompetitor.
Namun namanya dunia usaha, siapapun bisa mengalami kondisi yang sama. “Nanti aset akan dijual oleh Kurator yang ditunjuk oleh pengadilan niaga, saat ini sedang proses,” bebernya.
Gede Agus Hardiawan menuturkan, ekspansi ke sektor properti juga membawa pengaruh keterpurukan yang dialami Hardys.
Ada sembilan lokasi mulai dari tanah dan juga hotel yang mangkrak seperti di kawasan Ubud, Batubulan dan beberapa daerah lain.
Lantaran, dari sektor tersebut dana tidak berputar yang berbuntut pada kemacetan pembayaran bunga ke bank.
Pasalnya, 70 persen pembiayaan usaha tersebut melalui bank. “Akhirnya kami gagal bayar bank dan mempailitkan kami,” kata pria asal Jembrana ini.
Usaha yang dibangun sejak tahun 1997 ini sempat berencana akan masuk bursa saham untuk go public di tahun 2020 mendatang. Saat ini aset yang dimiliki mencapai Rp 4,1 triliun.
Dengan nilai hutang mencapai Rp 2,3 triliun, masih ada sisa aset senilai Rp 1,8 triliun. “Sisa dana ini yang akan kami gunakan untuk bangkit, dan akan merambah bisnis e-commerce. Tidak lagi toko pinggir jalan,” tandasnya.
Dia berharap kepada pemilik baru, bisnis ritel Hardys ini bisa diteruskan dengan baik dan lebih berkembang agar bisa melayani masyarakat di Bali.