RadarBali.com – PT Hardys Retailindo dinyatakan pailit 9 November lalu oleh Pengadilan Niaga Surabaya lantaran mengalami berbagai permasalahan.
Faktor utama yang paling menggerus core bisnis Hardys adalah terlalu ekspansif di bisnis properti. Pendanaan ikut memberi pengaruh retail raksasa yang dibangun sejak 1997 ini tumbang.
Namun beberapa faktor, seperti lesunya daya beli masyarakat serta pesatnya perkembangan bisnis e-commerce, tak bisa dinafikan mempercepat “kematian” bisnis retail Hardys.
Saat menggelar jumpa pers di kantor PT Hardys Retailindo di Jalan Danau Tempe, Perumahan By Pass Garden, eks Owner Hardys Retailindo, I Gede Agus Hardyawan mengungkapkan, bukan kali ini saja usaha yang dibangun mengalami kemerosotan.
Pasang susut usaha sudah beberapa kali terjadi. Pertama tahun 2004. Tapi, dia bisa bangkit. Terparah sempat mengalami kondisi surut di tahun 2008.
“Akibat hutang saat itu, saya tidak bisa membayar hutang pakaian yang melekat di badan. Tapi, karena ada pengajuan perdamaian akhirnya bisa bangkit. Setelah itu juga sempat bangkrut, tapi bisa bangkit lagi,” tuturnya.
Dia mengakui kesalahan terbesar hingga membuat PT Hardys Retailindo bangkrut lantaran terlalu ekspansif di bisnis properti.
Di lain sisi, bisnis tersebut tidak memberi dampak untuk bisa menutupi hutang pada 18 kreditur. Mulai dari bank lokal dan juga bank asing.
Kesalahan kedua, pendanaan usahanya 70 persen diambil dari perbankan. 30 persen dana baru dimiliki perusahaan.
“Jika pendanaan investasi pengusaha dengan porsi seperti ini akan sangat berbahaya. Sedikit saja salah, pasti akan meledak, jadi gagal bayar ke kreditur,” kata pria asal Jemberana ini.
Lanjut alumni ITB Bandung ini, mengacu aturan perbankan, Hardys sudah diputuskan pailit pada Januari lalu.
Namun lantaran berbagai upaya yang dilakukan, salah satunya menempuh cara perdamaian dan negosiasi, pihak perbankan memberikan toleransi.
“Kami road show ke 18 kreditur ini untuk menempuh jalur damai, namun tidak berhasil,” beber Gede Agus Hardyawan.
Melalui hasil voting yang dihadiri 18 kreditur, ada dua bank yang tidak menyetujui langkah perdamaian untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Akhirnya, 16 bank lain mengikuti untuk mempailitkan Hardys. Sedangkan sesuai aturan minimal ada 51 persen yang menyetujui.
“Akhirnya kami dinyatakan pailit dengan memiliki total hutang Rp 2,3 triliun. Dan ini mungkin karma buat saya sendiri,” tuturnya.